Murabathah : Menjaga Barisan Ulama di Tengah Tipu Daya Setan

 

Murabathah bukan sekadar berjaga di perbatasan fisik, tapi menjaga barisan ulama agar tetap kokoh menghadapi musuh-musuh perjuangan yang tidak kasat mata: setan dan para pelaku kejahatan moral.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Sabtu siang, 24 Mei 2025, angin semilir berhembus lembut di pelataran Masjid NU Terawasan, Sumobito, Jombang. Bangunan masjid yang megah itu menjadi saksi hadirnya para pengurus Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan se-Kawedanan Mojoagung dalam sebuah Rapat Koordinasi yang sarat makna. Saya duduk di samping Ketua Umum KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi dan Sekretaris Umum KH. Ilham Rohim. Tugas saya sederhana—mendokumentasikan dan mempublikasikan acara ini. Namun, seperti biasa, bukan hanya kamera yang saya bawa pulang hari itu, tapi juga hikmah-hikmah dalam kalimat yang menggetarkan batin.

Dalam sesi pembukaan, KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi menyampaikan pidato yang tidak hanya memberi arah organisasi, tetapi juga menggugah kesadaran spiritual kami semua yang hadir. Kalimat pembukanya begitu tegas, “Di antara tugas MUI adalah membentuk masyarakat yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan akhlak yang baik.” Satu kalimat yang tampak sederhana, namun berat untuk diwujudkan di tengah masyarakat yang terus diguncang derasnya arus informasi, krisis nilai, dan godaan materialisme.

Gus Awis, demikian sapaan populer Ketua Umum DP MUI Kabupaten Jombang, mengajak kami semua untuk menjaga satu kata kunci dalam pergerakan ini: murabathah. Sebuah kata yang diambil dari QS. Ali Imran ayat 200. Allah SWT memerintahkan kaum beriman untuk bersabar, memperkuat kesabaran, dan tetap siaga menjaga perbatasan, lalu bertakwa agar meraih keberuntungan. Dalam konteks MUI, murabathah bukan sekadar berjaga di perbatasan fisik, tapi menjaga barisan ulama agar tetap kokoh menghadapi musuh-musuh perjuangan yang tidak kasat mata: setan dan para pelaku kejahatan moral.

Peringatan ini bukanlah fiksi. Dalam QS. Al-An’am ayat 112, Allah sudah mengabarkan bahwa setiap nabi memiliki musuh dari kalangan setan—baik dari jin maupun manusia. Mereka merangkai kata-kata indah untuk menipu dan menggoyahkan kebenaran. Mereka adalah penyusup yang merusak akidah lewat tayangan viral, tren sesat pikir, bahkan budaya konsumtif yang menggoda. Sedangkan di QS. Al-Furqan ayat 31, musuh para nabi juga datang dari kalangan mujrimîn—para pendosa dan kriminal yang menjadikan penyimpangan sebagai gaya hidup.

Di sinilah letak tantangan berat MUI. Kita tidak sedang berhadapan dengan musuh yang jelas wujudnya, tetapi dengan sistem, narasi, dan kebiasaan yang perlahan menumpulkan nurani. Karena itulah, menurut Gus Awis, setan tidak datang secara frontal. Ia hadir lewat godaan yang nyaris tak terasa, seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 168–169. Setan memulai langkahnya dengan mengajak manusia memakan yang haram, mengumbar aurat, dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Kesemuanya itu—sadarkah kita?—semakin marak justru di zaman sekarang.

Tidak hanya itu. Dalam ayat yang sama, setan juga menawarkan janji palsu: menakut-nakuti manusia dengan kefakiran dan menyuruh berbuat keji. Dalam budaya hari ini, itu menjelma dalam bentuk ketamakan, pelit berbagi, hingga sikap tidak percaya pada rezeki Allah. Ironis, karena semakin tinggi pendidikan, semakin terasa kegelisahan akan masa depan, bukannya keyakinan.

Setan pun pandai memecah belah. Di QS. Al-Maidah ayat 91, Allah menggambarkan bagaimana minuman keras dan judi menjadi alat bagi setan untuk menumbuhkan permusuhan dan kebencian. Bahkan, dalam tradisi pesantren, beberapa kiai salaf sampai mengharamkan sepak bola karena rawan memicu konflik dan kekerasan antar suporter. Di sinilah kita diuji: bisakah kita mengelola budaya dan hiburan agar tidak melupakan dzikir dan salat?

Lebih jauh, Gus Awis mengingatkan bahwa setan juga menanamkan kesedihan di hati orang-orang beriman (QS. Al-Mujadilah: 10). Kesedihan, katanya, bisa menjadi jalan rusaknya rasa syukur. Maka solusinya bukan hanya sabar, tetapi bersyukur—selalu mencari sisi positif dari setiap takdir. Dalam bahasa beliau yang jenaka namun dalam, “Doakan aku agar bersyukur, jangan hanya sabar. Karena meminta sabar itu sama dengan siap menerima ujian!”

Ucapan ini tampak seperti guyonan, tapi justru menjadi tamparan lembut bagi kita semua. Betapa sering kita lebih suka menampilkan kesedihan kepada sesama daripada kebahagiaan. Padahal, orang yang bersyukur adalah orang yang pandai melihat nikmat sekecil apa pun sebagai anugerah besar.

Pesan-pesan ini mengakar kuat dalam jiwa saya sepanjang hari. Dan ketika saya melihat para pengurus MUI kecamatan bersalaman di akhir acara, tersenyum dan saling menyemangati, saya sadar: inilah murabathah itu. Bukan sekadar hadir di forum formal, tetapi hadir dengan tekad yang sama untuk menjaga umat dari rusaknya nilai.

Rapat hari itu mungkin hanya satu dari sekian banyak agenda organisasi. Tapi di balik foto-foto dokumentasi dan berita yang saya tulis, saya percaya ada ruh perjuangan yang tumbuh. Bahwa MUI bukan sekadar lembaga penentu halal dan haram, tetapi garda depan peradaban. Menjadi pelita di tengah gelapnya arah moral bangsa. Menjadi benteng di tengah kaburnya batas kebenaran.

Dan sebagaimana pesan terakhir Gus Awis, mari kita tetap gembira. Tetap bersyukur. Karena wajah ulama yang penuh syukur adalah wajah yang memancarkan ketenangan dan kepercayaan diri. Di dunia yang penuh kegaduhan, barangkali wajah seperti itulah yang paling dibutuhkan umat hari ini.[pgn]


Baca juga!

MUI dan Ikhtiar Menjaga Moral Bangsa

 


Posting Komentar

0 Komentar