MUI dan Ikhtiar Menjaga Moral Bangsa

 

Kehadiran MUI di tengah masyarakat bukan semata simbol keulamaan. Ia adalah pelita di tengah gelapnya zaman yang kian rumit. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Sabtu, 24 Mei 2025. Sebuah siang yang sederhana di Desa Trawasan, Sumobito, namun berisi peristiwa yang sarat makna. Di Masjid Nahdlatul Ulama, para ulama dan tokoh umat dari wilayah Timur Kabupaten Jombang berkumpul dalam satu majelis—bukan hanya untuk bertukar kabar atau menyusun agenda, melainkan untuk memperkuat jalinan ruhani dan misi perjuangan dakwah. Ini bukan forum biasa. Ini adalah bagian dari rangkaian roadshow Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang ke seluruh wilayah kecamatan: Selatan, Utara, Timur, dan Barat. Sebuah gerakan menyapa, mendekat, dan merangkul.

Kehadiran MUI di tengah masyarakat bukan semata simbol keulamaan. Ia adalah pelita di tengah gelapnya zaman yang kian rumit. Ketika nilai-nilai moral mulai tergerus oleh arus pragmatisme, ketika suara kebenaran sering tenggelam oleh gemuruh kepentingan duniawi, maka para ulama perlu tampil bukan hanya di atas mimbar, tetapi juga di tengah kehidupan umat. Maka roadshow ini menjadi jawaban: bahwa MUI bukan hanya hadir di atas kertas, melainkan nyata di tengah masyarakat.

Agenda utama dari pertemuan ini adalah sosialisasi program kerja MUI Kabupaten yang kini diarahkan lebih aktif di tingkat kecamatan. Selain itu, materi sosialisasi fatwa-fatwa MUI menjadi menu penting yang disampaikan langsung dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Langkah ini tidak hanya strategis, tetapi mendesak. Sebab fatwa, yang selama ini sering dianggap “jauh dan berat”, sejatinya adalah panduan hidup yang ringan dan menenteramkan, jika disampaikan dengan cara yang membumi.

Ketua Umum MUI Kabupaten Jombang, Dr. KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, Lc., M.A., dalam sambutannya menyampaikan pesan yang lebih dari sekadar kata-kata. Beliau berbicara tentang misi besar para Nabi yang diwariskan kepada para ulama: menjaga umat dari dua musuh besar yang kerap tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, yaitu setan dan para pelaku kejahatan (mujrim). Dua kekuatan destruktif ini tidak hanya bekerja di medan spiritual, tetapi juga sosial. Mereka merusak dari dalam—diam-diam namun menghancurkan.

Setan, kata beliau, tidak selalu hadir dalam rupa yang menyeramkan. Justru sering tampil dalam bentuk godaan yang lembut namun mematikan: membisikkan keburukan, menyuburkan rasa pelit dengan ancaman kemiskinan, menghasut permusuhan dan kebencian, menjauhkan manusia dari dzikir dan shalat, bahkan menyisipkan kesedihan yang menggerogoti semangat orang-orang beriman. Pesan ini bukan retorika. Ia bersumber dari firman-firman Allah dalam Al-Qur’an yang disampaikan dengan ketenangan dan ketegasan seorang ulama yang matang secara keilmuan dan spiritual.

Apa makna semua ini bagi kita hari ini?

Pertama, bahwa masyarakat tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri di tengah kompleksitas zaman. MUI hadir untuk membimbing, bukan menggurui; untuk menguatkan, bukan mendikte. Kedua, bahwa ulama bukan hanya pemegang ilmu, tapi penjaga nurani umat. Sosialisasi program dan fatwa MUI adalah bagian dari tanggung jawab untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap menjadi cahaya penuntun, bukan sekadar hiasan dalam buku pelajaran agama.

Ketiga, bahwa umat harus diajak kembali untuk menyadari siapa musuh sejatinya. Bukan hanya kemiskinan atau keterbelakangan, tetapi tipu daya setan yang begitu rapi bekerja lewat media, budaya konsumtif, bahkan lewat kelengahan kita sendiri. MUI tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan. Ia harus hadir dalam ruang diskusi, dalam masjid-masjid desa, dalam obrolan warga, bahkan dalam ruang digital. Dan semua itu tidak bisa dilakukan dari balik meja kantor. Harus turun ke lapangan. Harus menyapa langsung.

Silaturahmi yang terbangun dalam roadshow ini menjadi kekuatan tersendiri. Ia bukan hanya menyambung ukhuwah, tetapi juga menumbuhkan kembali kepercayaan umat kepada ulama. Sebab di zaman di mana kebenaran sering dipertanyakan, ulama yang jujur, ilmiah, dan ikhlas menjadi oase. Dan forum ini membuktikan, bahwa kita masih punya banyak ulama seperti itu.

Yang lebih mengharukan, acara ini bukan sekadar kerja organisasi. Ia adalah kerja hati. Dari para pengurus MUI Kabupaten hingga kecamatan, semua bergerak dengan satu semangat: menata kehidupan umat agar lebih terarah, tenang, dan bermartabat. Dan dari sinilah kita belajar, bahwa membangun umat tidak selalu harus dengan proyek besar. Kadang, cukup dengan sebuah forum yang hangat, secangkir teh, dan percakapan dari hati ke hati tentang masa depan umat.

KH. Afifuddin menutup pesannya dengan ayat yang memberi harapan besar: bahwa tipu daya setan tidak akan bisa menyakiti orang-orang beriman kecuali dengan izin Allah. Maka tugas kita bukan takut, tapi waspada. Bukan lari, tapi berdiri teguh dan bergerak bersama.

Hari itu, Masjid Nahdlatul Ulama di Trawasan, Sumobito menjadi saksi bahwa ulama dan umat bisa duduk bersama, menyusun langkah, dan menjaga cahaya. Roadshow ini bukan akhir, tapi awal dari langkah panjang menjaga moral bangsa. MUI sedang menulis ulang makna keulamaan di abad ini: bukan hanya tentang memberi fatwa, tetapi hadir sebagai pelita, pengayom, dan penjaga nurani umat.[pgn]

 

Baca juga!

Dari Roadshow Menuju Gerakan Nyata di Akar Rumput

Menyulam Sinergi Ulama, Meneguhkan Arah Umat


Posting Komentar

0 Komentar