Libur Murid Seharusnya Libur Guru

 

Berdasarkan aturan, hak cuti itu memang ada, tetapi sulit benar disentuh, karena guru terikat langsung dengan ritme pembelajaran murid di kelas.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Libur sekolah selalu menjadi momen yang paling dinanti murid. Kalender akademik dipelototi, tanggal merah dilingkari, rencana liburan disusun rapi. Namun di balik euforia itu, ada satu pihak yang sering terlupakan: guru. Pertanyaannya sederhana tapi penting: kalau murid libur, bukankah seharusnya guru juga benar-benar libur? Bukan sekadar libur di atas kertas, tetapi istirahat yang nyata, tanpa diwajibkan hadir setiap hari hanya untuk mengisi dua bukti presensi saat datang dan pulang.

Secara status, guru PNS adalah bagian dari Pegawai Negeri Sipil yang hak cutinya diatur dalam PP No. 11 Tahun 2017. Di sana tertulis berderet jenis cuti: cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting, cuti bersama, hingga cuti di luar tanggungan negara. Jika membaca aturan, tampaknya negara sudah adil. Namun di lapangan, cerita para guru tidak sesederhana itu. Hak cuti itu ada, tetapi sulit benar disentuh, karena guru terikat langsung dengan ritme pembelajaran murid di kelas.

Berbeda dengan banyak PNS lain yang bekerja di kantor, kerja guru melekat pada kehadiran murid. Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga merancang pembelajaran, menilai, membimbing, mendengar curhat, menjadi “orang dewasa yang ada” setiap hari di hadapan murid. Tanggung jawabnya bukan sekadar administratif, tetapi juga emosional dan sosial. Ironisnya, ketika bicara soal jam kerja dan presensi, guru sering saja disamakan dengan PNS lain dengan beban kerja 37 jam 30 menit per pekan: wajib datang, wajib absen dua kali, meski ruang kelas sedang kosong karena murid libur.

Di beberapa sekolah, situasinya menjadi janggal: saat murid libur akhir semester, guru tetap diwajibkan datang setiap hari. Padahal tidak ada pembelajaran, tidak ada interaksi langsung dengan murid. Hari-hari libur yang mestinya bisa dipakai untuk berkumpul dengan keluarga, menyegarkan pikiran, atau mengembangkan kompetensi, berubah menjadi rutinitas “ngantor tanpa murid” yang miskin makna. Secara hukum, PP 11/2017 bahkan menyamakan libur sekolah yang diatur peraturan perundang-undangan dengan guru yang dianggap sudah menggunakan hak cuti tahunan. Artinya, libur sekolah sesungguhnya adalah “cuti kolektif” guru. Tapi apa artinya cuti, kalau tetap harus hadir demi presensi?

Hak cuti tahunan 12 hari kerja dan cuti besar 3 bulan memang terdengar ideal. Namun, bagi guru, dua hak ini nyaris mustahil dinikmati leluasa. Mengajukan cuti tahunan sering dianggap mengganggu jadwal mengajar. Cuti besar hampir tak terdengar, karena langsung menimbulkan pertanyaan: siapa yang akan mengajar kelas selama berbulan-bulan? Kekhawatiran akan terganggunya layanan pembelajaran pada akhirnya dibayar dengan dikorbankannya hak istirahat guru. Guru diminta selalu ada, selalu siap, tetapi jarang diberi ruang untuk benar-benar rehat.

Di tengah realitas itu, Surat Edaran Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 14 Tahun 2025 membawa secercah harapan. SE ini secara jelas menyebut bahwa libur sekolah adalah kesempatan istirahat bagi murid, pendidik, dan tenaga kependidikan, sekaligus ruang untuk berkumpul dengan keluarga. Pesan moralnya kuat: istirahat bukan kemewahan, melainkan bagian penting dari ekosistem pendidikan yang sehat.

Namun, SE ini juga menyisakan ruang abu-abu. Di satu sisi, ia mengakui hak istirahat guru, meskipun juga tidak menyebutkan secara tegas ketentuan libur bagi guru. Di sisi lain, ia tetap membuka ruang adanya petugas piket dan tidak mengatur secara tegas soal presensi guru selama libur. Celah inilah yang sering dimanfaatkan untuk menerapkan kebijakan teknis di daerah atau sekolah yang kembali mewajibkan guru hadir setiap hari, meski murid sedang libur. Akhirnya, guru seolah diakui hak istirahatnya dalam wacana, tetapi dibatasi dalam praktik.

Karena itu, gagasan bahwa “libur murid seharusnya menjadi libur guru” bukanlah tuntutan manja, tetapi logika keadilan yang sangat wajar. Jika secara regulasi guru dianggap sudah memakai hak cuti tahunannya melalui libur sekolah, maka masa libur itu harus benar-benar bebas dari kewajiban hadir rutin. Sekolah tentu tetap perlu menjaga keamanan aset dan pelayanan minimal, sehingga piket tetap bisa diatur. Tetapi piket seharusnya bersifat bergiliran, manusiawi, dan tidak menghapus esensi libur. Yang perlu dihilangkan adalah praktik “wajib ngantor demi presensi” yang tidak berkaitan dengan layanan langsung kepada murid.

Guru juga manusia. Mereka butuh waktu untuk menjadi orang tua sepenuhnya bagi anaknya sendiri, bukan hanya bagi murid; untuk menjadi pasangan, anak, dan anggota masyarakat; untuk menyembuhkan lelah setelah menghadapi berbagai dinamika kelas; untuk membaca buku, mengikuti pelatihan, atau sekadar duduk tenang tanpa dikejar target administrasi. Libur yang utuh dan diakui negara adalah investasi jangka panjang untuk kualitas guru, dan pada akhirnya kualitas pendidikan Indonesia.

Di titik inilah pemerintah perlu melangkah lebih jauh. Bukan hanya mengakui secara normatif di dalam PP dan Surat Edaran, tetapi juga menghadirkan payung hukum yang tegas dan operasional: masa libur murid adalah masa libur guru PNS, dengan pengecualian terbatas pada piket yang diatur secara adil. Dengan demikian, tidak ada lagi guru yang harus “hadir tanpa murid” demi mengisi bukti presensi semata. Guru yang hak istirahatnya dihormati akan kembali ke kelas dengan hati lebih lapang, pikiran lebih jernih, dan energi lebih penuh.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 JOMBANG

Posting Komentar

0 Komentar