Nyuwun Pangapunten, Nyuwun Pangestunipun

 

Di dalam ruang kerja Kepala MTsN 3 Jombang.


[Jombang, Pak Guru NINE]

“Pak, ngapunten bolehkah saya selfi dengan Njenengan”, dengan agak malu-malu saya minta perkenan pak Muhammad Masrul untuk berfoto bersama sebelum meninggalkan ruang kantornya. Ternyata permintaan saya disambut dengan senang hati oleh Kepala MTsN 3 Jombang itu. “Monggo. Silakan!”, jawabnya dengan nada suaranya yang khas.

“Tapi, kita di situ pak, berlatar belakang tulisan identitas madrasah ini.”, pinta saya lagi. “Oke. Gak papa!”, jawabnya singkat.

Kami pun beranjak ke lokasi yang dituju. Kami pun mengambil pose khas. Tangan kiri saya terkepal, sedangkan tangan kanan saya memainkan kamera handphone. Awalnya, pose pak Masrul adalah mengacungkan jari jempol, namun karena saya lebih dulu berpose dengan tangan terkepal, beliaupun secara spontan mengikuti pose saya.

“Cekrek. Cekrek”. Dua kali saya menyentul tombol rekam gambar foto. Setelah itu, saya pun beranjak pamit untuk kembali ke SMAN 2 Jombang (Kamis, 2/3/2023).

Sebagai alumnus MTsN Tambakberas, saya merasa tidak asing lagi dengan wajah pak Muhammad Masrul. Tapi, dulu saya tidak mengenalnya secara langsung. Seingat saya, beliau tidak mengajar di madrasah ini. Saya menduga kuat beliau mengajar di MAN Tambakberas, karena saya sering berpapasan dengannya di depan warung pecel Lele Bu Jujuk yang berada di sebelah utara gedung MTsN Tambakberas (lama).   

Kalau sekarang beliau menjadi Kepala MTsN 3 Jombang, maka saya yakin hal itu karena prestasi beliau sebagai abdi negara dan juga karena dedikasinya yang tinggi kepada yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. Sah-sah saja Kementerian Agama menempatkannya sebagai Kepala MTsN, padahal sebelumnya ia berkhidmat di MAN. Hal itu adalah sesuatu yang biasa saja, apalagi secara normatif setiap abdi negara pasti telah menandatangani komitmen kesediaan ditempatkan di seluruh wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Beberapa menit sebelum menghadap Pak Masrul di ruang dinasnya, saya menyempatkan diri menyapa dan mendekati dan sedikit berbincang dengan Bu Zumrotus Sholihah. Beliau adalah Waka Kesiswaan di madrasah ini. Sayangnya saya tidak sempat berfoto bersama beliau.  

Saya sedikit mengenalnya sebagai salah satu putri KH Nasrulloh Abdur Rohim. Panggilan akrabnya adalah Neng Lik. Beliau adalah istri KH. Abdul Kholiq (almarhum). Beliau memiliki putri yang suaranya merdu sekali. Saya termasuk yang sering menikmati merdu suaranya saat melantunkan nashid atau qashidah yang bisa diakses melalui channel Youtube.

Dulu ketika saya masih kuliah di Yogyakarta, saya pernah menemui Neng Lik bersama rombongan keluarga besarnya yang berziarah kepada leluhurnya yang ada di sekitar daerah Kauman. Dari situlah saya mendapatkan informasi bahwa ternyata Ibu beliau berasal dari Yogyakarta dan  memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat dekat dan erat dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyyah.

Informasi ini semakin menegaskan bagi saya bahwa Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama memang ibarat kakak-adik yang memiliki nasab kekeluargaan yang menyambung. Setidak-tidaknya keluarga pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas terikat hubungan kekeluargaan yang erat dengan keluarga besar KH Ahmad Dahlan.

“Kulo Adien bu, ayahnya Caraka Shankara!”, sapa saya kepada Ning Lik yang sedang duduk di lorong depan pintu masuk madrasah ini. Beliau pun mengenali saya, sehingga memberi respon penerimaan. Saya mendekat dan duduk di sebelahnya.

“Nyuwun pangapunten bu, bilih putra kulo sering melakukan pelanggaran tata tertib dan kedisiplinan.”, ucap saya mengawali pembicaraan dengan pengasuh ribath Al-Wardiyah itu. Beliau pun kemudian bercerita tentang dinamika kesiswaan di madrasah ini, termasuk mengenai putra saya yang kurang disiplin. Lagi-lagi saya pun meresponnya dengan ungkapan “nyuwun pangapunten” sebagai permohonan maaf selaku wali murid. Tidak hanya itu, saya juga berkali-kali menyampaikan “Nyuwun pangestunipun” kepadanya, sebagai pengharapan kebaikan untuk putra saya yang sangat khas tersebut.

“Nyuwun pangapunten” dan “Nyuwun pangestunipun” adalah dua ungkapan yang paling sering saya sampaikan kepada keluarga besar MTsN 3 Jombang ini. Ini sebagai bentuk pengakuan saya terhadap segala dinamika khas yang berkaitan dengan putra saya selama belajar di madrasah ini. Bagi saya, ini adalah jalan keberkahan yang bisa saya harapkan dan peroleh melalui madrasah yang telah berkontribusi besar bagi perjalanan hidup anak saya.

Di penghujung masa belajar di madrasah ini, saya mewanti-wanti kepada Caraka Shankara untuk berkomitmen Husnul Khatimah. Ini adalah komitmen menuntaskan masa belajar di madrasah dengan bahagia (Happy Ending).

“Jangan membuat masalah! Ambil hati guru-gurumu! Mintalah maaf dan restu mereka!”, pesan saya kepada Caraka Shankara ketika saya memberi wawasan untuk melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Alhamdulillah, sejak berkomitmen bisa diterima sebagai siswa SMAN 5 Taruna Brawijaya, ia lebih mudah diarahkan dan diajak berfikir lebih dewasa daripada sebelumnya.

Kedatangan saya ke MTsN 3 Jombang yang berkali-kali ini memang dalam rangka mendukung dan memfasilitasi Caraka Shankara untuk hal-hal administrasi yang berkaitan dengan penerimaan taruna baru di sekolah hasil kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Kodam V Brawijaya. Ia punya komitmen bisa diterima sebagai taruna di sekolah itu. Kami pun mendukungnya sesuai dengan kemampuan yang bisa diupayakan secara realistis.

Ia telah lolos seleksi tahap 1, dan berhak mengikuti seleksi tahap 2 dengan jadwal yang sangat padat sejak tanggal 6 Maret hingga 15 Maret 2023. Oleh karena itulah, saya harus memohon izin dan kebijaksanaan dari pihak MTsN 3 Jombang agar Caraka Shankara bisa mengikuti hingga akhir dan bisa diterima di sekolah yang didambakannya itu. [pgn]


Posting Komentar

0 Komentar