MBG dan Dapur Sekolah yang Tetap Menyala

 

Saya percaya, menolak dengan alasan yang benar adalah bentuk kontribusi yang tidak kalah penting dibanding menerima dengan setengah hati. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Sebagai seorang wali murid sekaligus suami dari seorang guru di sebuah sekolah swasta di Jombang, saya merasa perlu ikut menyuarakan pandangan tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini, yang digagas pemerintah, sejatinya membawa misi mulia: memastikan anak-anak sekolah mendapat asupan gizi seimbang agar tumbuh sehat, cerdas, dan siap menghadapi masa depan. Namun, ketika program besar itu menyentuh ranah praktik di sekolah, ternyata tidak sesederhana membagikan kotak makan siang setiap hari.

Saya masih ingat percakapan dengan istri saya, sekitar sepekan lalu. Dengan penuh pertanyaan, saya sampaikan kegelisahan saya: “Apakah MBG ini wajib diterima semua sekolah, atau ada ruang untuk memilih?” Pertanyaan itu tampak sederhana, tetapi konsekuensinya begitu luas. Karena, bila program ini bersifat wajib, maka sekolah tempat anak saya belajar harus menyesuaikan diri. Bukan hanya soal murid yang menerima makan siang gratis, tetapi juga tentang para pegawai dapur sekolah yang selama ini menggantungkan hidupnya dari pekerjaan tersebut. Apakah mereka akan dirumahkan hanya karena ada program nasional?

Tak hanya itu. Selama ini sekolah sudah mengelola layanan makan siang dengan sistem yang cukup baik. Wali murid pun membayar biaya makan secara rutin. Lantas, jika MBG masuk, apakah biaya itu akan dihapuskan atau tetap ditarik? Jika tetap ditarik, jelas tidak adil. Tetapi jika dihapuskan, apakah sekolah siap menanggung transisi tanpa menimbulkan gejolak?

Kegelisahan saya akhirnya menemukan jawabannya ketika saya membaca sebuah berita di Radar Jombang pada 25 September 2025. Yayasan Roushon Fikr, yang menaungi sekolah tersebut, secara terbuka menolak program MBG. Bukan tanpa alasan, keputusan itu didasarkan pada dua pertimbangan mendasar. Pertama, mereka sudah memiliki sistem makan siang mandiri dengan dapur yang mempekerjakan 17 orang tetap. Setiap hari, dapur itu menghasilkan 1.300 porsi makanan bergizi. Jika program MBG diterima, sistem yang sudah mapan bisa terganggu, bahkan berpotensi membuat para pekerja kehilangan mata pencaharian. Kedua, mereka menilai program MBG sebaiknya lebih diutamakan bagi sekolah-sekolah di pelosok, yang memang kesulitan menyediakan konsumsi sehat bagi siswanya.

Dari sini saya belajar satu hal: menolak bukan berarti melawan. Penolakan yayasan justru menunjukkan empati sosial dan kepekaan terhadap pemerataan manfaat. Mereka sadar bahwa dana negara terbatas. Jika semua sekolah yang sudah mandiri ikut menyerap anggaran MBG, maka jatah untuk sekolah di pelosok akan berkurang. Bukankah lebih adil jika mereka yang benar-benar membutuhkan mendapat prioritas?

Saya kemudian mencari tahu lebih dalam tentang regulasi MBG. Dari beberapa dokumen publik, tidak saya temukan aturan eksplisit yang mewajibkan sekolah—baik negeri maupun swasta—untuk menerima program tersebut. MBG memang ditetapkan sebagai program nasional, tetapi implementasinya tetap bergantung pada kesiapan sekolah dan kebijakan daerah. Artinya, ada ruang bagi sekolah swasta untuk mengajukan alasan teknis bila mereka sudah memiliki sistem makan siang yang sehat dan berkelanjutan.

Namun, di sisi lain, saya juga memahami logika kebijakan publik. Bila terlalu banyak sekolah swasta menolak, maka bisa timbul kesenjangan. Pemerintah mungkin menganggap penolakan ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan manfaat program. Karena itu, solusi harus dicari agar kepentingan semua pihak terlindungi.

Bagi saya, kuncinya ada pada dialog dan fleksibilitas. Sekolah yang sudah mandiri bisa diajak menjadi mitra, bukan sekadar penerima program. Misalnya, dapur sekolah swasta bisa berkolaborasi dengan pemerintah untuk menjadi penyedia MBG bagi sekolah-sekolah lain yang belum memiliki fasilitas. Dengan begitu, sistem yang sudah ada tidak terganggu, pekerja tetap bekerja, dan manfaat program tetap mengalir kepada mereka yang membutuhkan.

Selain itu, pemerintah daerah perlu mengoptimalkan data kemiskinan agar distribusi program benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai MBG hanya menjadi seremonial, sementara anak-anak di pelosok masih kesulitan sarapan sebelum berangkat sekolah.

Sikap Yayasan Roushon Fikr mengingatkan saya bahwa keberhasilan sebuah program nasional tidak hanya diukur dari luasnya penerimaan, tetapi dari seberapa tepat manfaatnya menyentuh sasaran. Bayangkan jika setiap anak di desa terpencil, yang selama ini terbiasa berangkat sekolah dengan perut kosong, bisa mendapatkan makanan bergizi setiap hari. Dampaknya bukan hanya pada kesehatan, tetapi juga pada prestasi belajar, semangat hidup, bahkan masa depan mereka.

Saya percaya, menolak dengan alasan yang benar adalah bentuk kontribusi yang tidak kalah penting dibanding menerima dengan setengah hati. Yayasan telah menunjukkan kemandirian sekaligus kepedulian. Itu bukan sikap egois, melainkan teladan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih kuat bila dijalankan bersama, dengan rasa saling memahami dan saling melengkapi.

Pada akhirnya, saya tidak melihat penolakan ini sebagai hambatan, melainkan sebagai pintu diskusi untuk menemukan pola baru. Program MBG bisa tetap berjalan, tetapi dengan fleksibilitas yang menghargai kemandirian sekolah. Pemerintah pun bisa lebih fokus mengalokasikan sumber daya ke wilayah yang benar-benar membutuhkan.

Saya yakin, dengan niat baik dan komunikasi terbuka, MBG akan menjadi program yang tidak hanya besar di atas kertas, tetapi benar-benar menyentuh kehidupan anak-anak bangsa. Karena tujuan kita sama: memastikan generasi mendatang tumbuh sehat, kuat, dan penuh harapan.[pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute, GPAI SMAN 2 Jombang

Posting Komentar

0 Komentar