Ketika Guru disebut Pahlawan

 

Setiap kali lagu “Hymne Guru” dinyanyikan, saya memilih untuk menujukan maknanya kepada para guru saya yang telah tiada. Mereka benar-benar pahlawan dalam hidup saya—mereka telah berkorban tanpa pamrih, dan kini hanya tinggal nama dan teladan yang mereka tinggalkan.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala, mengenang jasa para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan dan kejayaan negeri. Tahun 2025, peringatan Hari Pahlawan kembali menggema dengan tema “Pahlawan Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.” Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan ajakan untuk menjadikan semangat kepahlawanan sebagai napas kehidupan sehari-hari. Namun, siapa sebenarnya pahlawan di masa kini? Apakah mereka hanya mereka yang telah gugur di medan perang? Atau, mungkinkah pahlawan juga hidup berdampingan dengan kita—di ruang-ruang kelas, di balik papan tulis, dengan sebatang spidol dan secarik rencana pembelajaran?

Ketika saya masih remaja, ada rasa ganjil setiap kali menyanyikan “Hymne Guru”, terutama pada bait “Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.” Dalam benak saya, kata “pahlawan” semestinya disematkan kepada mereka yang telah gugur, yang tak lagi mampu berbuat hal tercela dan telah menutup hidupnya dengan pengorbanan. Menyebut seseorang yang masih hidup sebagai pahlawan terasa aneh—apalagi jika yang disebut itu adalah diri sendiri. Namun, seiring waktu dan pengalaman menjadi guru, saya belajar bahwa pahlawan tidak selalu harus memegang senjata atau gugur di medan laga. Ada medan juang lain—lebih senyap, lebih panjang, dan tak kalah berat: medan pendidikan.

Menariknya, pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, atas izin ahli waris pencipta lagu “Hymne Guru,” mengubah frasa “tanpa tanda jasa” menjadi “pembangun insan cendekia.” Perubahan ini bukan sekadar soal lirik, tetapi refleksi perubahan makna dan semangat zaman. Dulu, “tanpa tanda jasa” adalah simbol keikhlasan dan kerendahan hati guru. Namun kini, frase itu bisa menimbulkan kesan bahwa profesi guru kurang dihargai, padahal sejatinya guru memiliki peran strategis dalam membangun peradaban.

Frasa baru “pembangun insan cendekia” mengandung penghargaan yang lebih luhur. Ia menegaskan bahwa guru bukan hanya pengajar, tetapi juga arsitek masa depan bangsa, pembentuk karakter, dan penggerak kemajuan intelektual. Perubahan ini selaras dengan paradigma pendidikan modern yang menempatkan guru bukan sekadar sosok yang berkorban, tetapi juga agen perubahan yang terus bergerak dan melanjutkan perjuangan bangsa melalui kecerdasan generasi penerus.

Namun, sebagai seorang guru, saya tetap merasa canggung setiap kali melantunkan lagu itu. Bagaimana mungkin saya menyanyikan lirik yang mengagungkan profesi saya sendiri? Tidak mudah menyebut diri “pahlawan,” apalagi ketika masih berjuang melawan keterbatasan diri, tantangan zaman, dan kompleksitas pendidikan modern. Karena itu, setiap kali lagu “Hymne Guru” dinyanyikan, saya memilih untuk menujukan maknanya kepada para guru saya yang telah tiada. Mereka benar-benar pahlawan dalam hidup saya—mereka telah berkorban tanpa pamrih, dan kini hanya tinggal nama dan teladan yang mereka tinggalkan.

Bila dilihat dari kacamata hukum, pahlawan nasional memiliki pengertian yang sangat spesifik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pahlawan nasional adalah warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan karya luar biasa bagi bangsa, dan telah meninggal dunia. Gelar ini tidak diberikan sembarangan, tetapi melalui proses panjang—pengusulan, verifikasi, hingga penetapan resmi oleh Presiden.

Namun, jika kita menafsirkan semangat undang-undang itu secara lebih luas, maka jelaslah bahwa nilai-nilai kepahlawanan tidak berhenti pada kematian seseorang. Ia dapat dihidupkan kembali dalam sikap, keteladanan, dan dedikasi orang-orang yang terus mengabdi tanpa pamrih. Dalam konteks inilah, guru layak disebut “pahlawan” dalam arti majazi—yakni kiasan yang bermakna mendalam. Mereka berjuang bukan dengan bambu runcing, tetapi dengan pena dan pengetahuan. Mereka melawan kebodohan, keterbelakangan, dan apatisme generasi muda. Mereka melanjutkan perjuangan para pahlawan kemerdekaan melalui jalur pendidikan.

Meski demikian, predikat “pahlawan bangsa” yang disematkan kepada guru sebaiknya tidak membuat guru terbuai. Kalimat “Engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendekia” semestinya menjadi pengingat tanggung jawab moral, bukan kebanggaan yang memanjakan ego. Frasa itu idealnya diucapkan murid kepada gurunya, bukan guru kepada dirinya sendiri. Sebab, pahlawan sejati tidak pernah menobatkan dirinya; justru masyarakatlah yang menilai dan mengabadikan jasanya.

Dalam konteks Hari Pahlawan 2025, tema “Pahlawan Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan” sangat relevan bagi para pendidik. Guru adalah figur yang tidak boleh berhenti bergerak. Dunia berubah cepat—teknologi, budaya, dan nilai-nilai sosial terus bergeser. Jika guru berhenti belajar, maka ia berhenti menjadi pahlawan. Melanjutkan perjuangan berarti menyalakan kembali semangat para pendahulu—bukan dalam bentuk pertempuran fisik, tetapi dalam perjuangan mencerdaskan bangsa di tengah tantangan globalisasi.

Pada akhirnya, Hari Pahlawan bukan hanya momen untuk mengenang mereka yang telah gugur, tetapi juga untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan kita sehari-hari. Setiap guru yang mengajar dengan hati, setiap murid yang menghargai ilmunya, setiap warga yang bekerja dengan integritas—semuanya sedang melanjutkan perjuangan para pahlawan.

Mungkin benar, guru bukan pahlawan dalam arti hakiki sebagaimana yang diatur undang-undang. Namun dalam kehidupan nyata, mereka adalah pahlawan dalam arti sejati—karena dari tangan merekalah lahir generasi yang akan melanjutkan perjuangan bangsa. Mereka bukan hanya “tanpa tanda jasa,” melainkan penyala obor pengetahuan, pembangun peradaban, dan pewaris semangat juang para pahlawan.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar