![]() |
Ekspresi kegembiraan Taliya Kayana bersama Bu Ana, guru pembimbingnya. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Di panggung megah
Festival Bulan Bahasa 2024 MAN 2 JOMBANG, ada energi penuh harap dan tekad yang
terpancar dari sosok remaja bernama Taliya Kayana. Ia bukan tampil dengan
busana panggung gemerlap seperti finalis lain, melainkan hanya mengenakan
seragam Pramuka dan jas almamater merah muda khas sekolahnya, SMPN 3
Peterongan. Penampilannya sederhana, tapi semangatnya dalam mengikuti Lomba
Cipta Baca Puisi ini luar biasa.
Sejak awal, perjuangan Taliya di
kompetisi ini sudah terasa spesial. Melalui tahap penyisihan yang penuh kejutan
dan tantangan, ia berhasil masuk ke babak Grand Final, yang diselenggarakan di
MAN 2 Jombang, yang berada di dalam lingkungan Pondok Pesantren Darul Ulum,
Rejoso, Peterongan. Di sini, bersama dua finalis lainnya—Verrinsyana Vhimala
dari MTSN 1 Kediri dan Nurmah Hanisah Salmah dari SMP YIMI Gresik—Taliya diuji
kemampuannya mencipta puisi dalam waktu 60 menit. Tema puisinya kali ini
berasal dari kandungan al-Quran surah al-Waqiah yang ditentukan melalui undian
di tempat, menjelang penulisan puisi.
Dalam kurun waktu yang telah ditentukan
itu, santri asrama Hidayatul Quran ini menulis puisi berjudul “Simfoni
Terakhir,” yang menggambarkan kedahsyatan hari akhir dengan bahasa yang
menggugah hati. Puisinya berbicara tentang langit yang bergejolak,
gunung-gunung yang runtuh, dan bumi yang berkabung. Setiap kata yang ia susun
seolah menjadi lantunan terakhir, menggambarkan ketakutan dan harapan pada saat
manusia harus menghadapi penghakiman. Berikut ini sebagian dari bait-bait yang
ia tulis:
Simfoni Terakhir
Rajawali tak lagi menjelajah angkasa,
Sayapnya jatuh, terbakar tak tersisa,
Gunung-gunung yang gagah kini luruh,
Kota dan desa lenyap, menjadi debu tak berjejak.
Ketika bumi terguncang,
Ombak dendam memukul pantai-pantai bisu,
Lidah api menari, meretas malam,
Langit-Mu bergejolak, dan bumi-Mu berkabung.
Telah datang suara yang dijanjikan,
Nafiri ditiup di segenap penjuru,
Langkahku goyah, terhuyung tanpa arah,
Siapkah aku untuk penghakiman ini?
Wahai Rasul yang dirindukan,
Di manakah iman yang kucari selama ini?
Di manakah Islam yang kuyakini?
Di manakah ihsan yang kulupa tanamkan?
Wahai Rasul, jadilah saksi bagi nurani ini.
Kini terbentang tiga jalan,
Di kanan yang penuh berkat,
Di kiri yang penuh sesal dan derita,
Serta mereka yang dekat, di sisi-Nya.
Ya Allah,
Surga-Mu itu begitu indah, bagaikan pelita tanpa batas,
Namun bukan keindahan yang kuburu,
Bukan pula derita neraka yang kutakuti,
Bukan panas Jahim atau pohon zaqum yang membuatku gentar.
Namun, kerinduan akan wajah-Mu,
Kerinduan akan wajah Rasul-Mu,
Sebuah harapan akan naungan syafaat-Mu melalui Rasul-Mu,
Ketika kata-kata terakhir terucap lirih,
"Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar
rasuulullah."
Di saat yang dinantikan tiba, para
finalis diminta membacakan puisinya satu per satu. Taliya mendapatkan giliran
pertama. Sebelum naik ke atas panggung, saya memberinya ‘tos’ dengan menepuk
tangannya sebagai penyemangat, memberi sedikit dukungan. Ketika MC menyebut
namanya, ia berjalan dengan mantap ke tengah panggung, memberi hormat kepada
dewan juri dan para undangan, termasuk Gus Awis, Gus Bang, dan beberapa Kyai
serta Bu Nyai dari Pondok Pesantren Darul Ulum.
Suasana hening ketika Taliya mulai
membacakan "Simfoni Terakhir." Ia menyampaikan setiap bait dengan
lantang dan penuh perasaan, didukung oleh gaya bahasa tubuhnya yang khas. Saya
dapat merasakan bagaimana suasana di dalam ruangan berubah: setiap kata, setiap
bait, membawa pendengar larut dalam nuansa hari akhir yang penuh kehancuran
namun juga menyimpan kerinduan pada Tuhan dan Rasul-Nya. Meski ada beberapa
bagian yang terasa kurang pas menurut saya, penampilannya tetap memukau.
Suara tepuk tangan meriah mengiringi
Taliya saat ia menutup puisinya dan perlahan turun dari panggung. Saya
menyambutnya dengan pelukan, penuh rasa haru. Namun, di balik senyum bangganya,
matanya tampak berkaca-kaca. “Yah, elek ya tampilanku?” tanyanya dengan sedikit
cemas. Ia khawatir tidak memberikan yang terbaik.
Dengan segera saya meyakinkannya,
“Nggak, nggak! Wis uapik! Sampean sudah berjuang sebaik mungkin. Sekarang
tinggal keputusan dewan juri, nggak perlu galau.” Mendengar itu, Taliya
tersenyum lega, meskipun perasaan tegang masih tersirat di wajahnya. “Tapi aku
sueneng banget, Yah! Gus Awis dan Gus Bang nonton tampilanku!” ujarnya dengan
girang.
Setelah Taliya, giliran finalis kedua
dan ketiga tampil. Ketiga puisi telah disampaikan, dan kini saatnya para juri
memutuskan. Para juri beranjak menuju ruang khusus untuk menilai dan menetapkan
juara, sementara kami—para pendukung—menunggu dengan harap-harap cemas. Di
tengah ketegangan itu, dukungan keluarga Taliya terasa seperti pelukan hangat
di dalam ruangan. Saya bersama adiknya, Wacana Bawana, berada di lokasi sejak
awal. Kemudian orang tua saya, Syamsul Huda dan Dewi Alfiyah, juga hadir untuk
menyemangati. Tak lama, Rista Farida dan putrinya, Syafira Widya Kusuma, turut
bergabung. Kami semua ada di sana sebagai tim pendukung, menyaksikan momen besar
dalam perjalanan Taliya.
Tak lama berselang, akhirnya pengumuman
pun tiba. Tanpa banyak gimik, MC langsung juara 1, yaitu Taliya Kayana dari
SMPN 3 Peterongan. Serentak, kami bersorak kegirangan penuh syukur dan haru.
Juara 2 adalah Nurmah Hanisah Salmah dari SMP YIMI Gresik. Juara 3 adalah Verrinsyana
Vhimala dari MTSN 1 Kediri.
Taliya melangkah ke panggung sekali
lagi, kali ini untuk menerima penghargaan sebagai juara pertama. Sorak-sorai
dari keluarga dan pendukungnya terdengar di seluruh ruangan. Di tangan
kecilnya, ia menerima piala, sertifikat, dan hadiah uang pembinaan sebesar Rp.
1.250.000,00. Senyum di wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang tak terukur.
Momen ini bukan hanya kemenangan dalam sebuah lomba, tapi juga hadiah atas
kerja keras dan keyakinannya.
Usai menerima penghargaan, kami tak
melewatkan kesempatan untuk berfoto bersama. Keluarga besar dan sahabat berdiri
di samping Taliya, mengabadikan kebahagiaan hari itu. Sebagai orang tuanya,
saya tak henti-hentinya mengucap syukur Allah SWT dan terima kasih kepada para
guru di SMPN 3 Peterongan yang telah mendukung dan membimbing Taliya. Rasa
terima kasih yang dalam juga kami sampaikan kepada Gus Awis dan Neng Navis,
yang selalu memberikan bimbingan rohani bagi Taliya di asrama Hidayatul Quran
Pondok Pesantren Darul Ulum.
Momen bahagia ini tak akan terlupakan.
Hari itu, di panggung Festival Bulan Bahasa 2024, Taliya tidak hanya membacakan
puisi tentang "Simfoni Terakhir," tapi juga menciptakan simfoni
kemenangan yang akan terus menggema di hati kami. Sebuah momen penuh kebanggaan
dan kasih sayang yang akan selalu kami kenang.[pgn]
Baca
juga!
Kejutan Menuju Grand Final Lomba Cipta Baca Puisi
Taliya Kayana Siap Berlaga dalam Grand Final Festival Bulan Bahasa 2024
3 Komentar
Bapak e penulis ya anaknya sudah mulai mengikuti jejak bapaknya... Mantab, hebat, terus berjuang Taliya
BalasHapusBu Faiq turut bangga, tapi jangan pernah merasa puas ya, bahagia boleh, tapi terlena jangan... 😍😘
HapusTerima kasih bu Faiq dan para guru SMPN 3 Peterongan yang telah membimbing ananda.
BalasHapus