![]() |
Dua aspirasi ini memang menjadi perhatian dan keprihatinan saya sebagai guru dan sebagai anggota masyarakat di wilayah kabupaten Jombang. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Hari ini, Kamis 25
September 2025, saya akan berdiri
di hadapan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPRD Kabupaten Jombang, bertempat
di Hotel Green Red Syariah Jombang. Saya hadir bukan hanya sebagai seorang guru
Pendidikan Agama Islam di SMAN 2 Jombang, tetapi juga sebagai bagian dari Persatuan
Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Kabupaten Jombang, yang memiliki kepedulian
besar terhadap masa depan kota santri tercinta ini.
Dalam kesempatan yang berharga ini,
izinkan saya menyampaikan dua aspirasi utama yang lahir dari kegelisahan
sekaligus harapan saya sebagai pendidik, warga, dan bagian dari masyarakat
Jombang. Aspirasi tersebut adalah: relokasi Car Free Day (CFD) dari Jalan
KH. Wahid Hasyim dan pengadaan moda transportasi publik massal yang
layak bagi pelajar dan masyarakat Jombang. Karena ada banyak elemen masyarakat yang diundang dalam acara ini, maka bisa jadi saya nanti tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikannya secara lisan dalam acara itu. Oleh karena itu, izinkan saya menyampaikannya secara tertulis melalui esai ini.
Relokasi CFD: Demi Nyawa dan
Keharmonisan Sosial
Seperti kita tahu, CFD setiap Minggu
pagi di Jalan KH. Wahid Hasyim telah menjadi ruang publik yang meriah. Saya pun
mengakui manfaatnya: masyarakat bisa berolahraga, berinteraksi, hingga
menghidupkan ekonomi UMKM. Namun, saya juga tak bisa menutup mata pada fakta
memilukan yang terjadi beberapa waktu lalu.
Pada 30 Juni 2025, seorang warga
dari Kecamatan Sumobito kehilangan nyawa karena ambulans yang membawa pasien
kritis tidak bisa menembus kerumunan CFD menuju RSUD Jombang. Sirine meraung,
masyarakat sudah memberi jalan sebisanya, tetapi akses tetap buntu. Tragisnya,
kejadian serupa kembali terulang hanya dalam hitungan pekan.
Sebagai seorang guru sekaligus anggota
Pergunu, hati saya terenyuh. Betapa nilai hifdzu al-nafs—perlindungan
jiwa—yang merupakan maqāṣid al-syarī‘ah
utama dalam Islam, justru terabaikan demi sebuah agenda rekreatif. Kaidah fikih
jelas menyebutkan, “Dar’ul mafāsid muqaddamun ‘alā jalbil maṣāliḥ,”
mencegah kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan.
Karena itu, saya mengusulkan relokasi
CFD dari ruas Jalan KH. Wahid Hasyim. Ada dua alternatif lokasi yang lebih
representatif dan tidak mengganggu institusi vital:
- Jalur Ringin
Contong – Universitas Darul Ulum,
- Jalur Jalan A.
Yani – Pasar Legi Citraniaga.
Saya percaya, dengan manajemen yang
baik, kedua lokasi ini bisa tetap menghadirkan semangat CFD, menjaga geliat
UMKM, sekaligus menjamin keselamatan warga yang membutuhkan akses darurat
maupun ibadah. Relokasi bukan berarti menolak CFD, tetapi justru menyelamatkan
ruh kemaslahatan yang sesungguhnya.
Transportasi Publik: Investasi Sosial
Jangka Panjang
Aspirasi kedua saya adalah tentang transportasi
publik untuk pelajar dan masyarakat Jombang.
Setiap pagi, saya melihat sendiri
bagaimana jalanan dipenuhi anak-anak sekolah yang mengendarai sepeda motor.
Sebagian dari mereka masih SMP atau SMA, belum cukup umur, dan jelas belum
memiliki SIM. Mereka sebenarnya sadar itu pelanggaran hukum, guru pun tahu,
orang tua pun tahu, tetapi semua terjebak dalam kondisi “terpaksa tapi
realistis.”
Mengandalkan ojek online tentu berat
bagi sebagian besar keluarga. Biaya sekali jalan dari Pacarpeluk ke SMAN 2
Jombang saja bisa lebih dari Rp70.000 per hari. Transportasi umum tradisional
seperti angkutan kota pun kini nyaris tidak layak jalan. Akibatnya, pelajar
kita terpaksa membawa motor dengan risiko kecelakaan dan pelanggaran hukum.
Saya melihat kondisi ini bukan sekadar
masalah logistik, melainkan krisis sistemik. Kita sedang membiarkan
generasi muda tumbuh dengan kebiasaan melanggar hukum, hanya karena negara
tidak menyediakan pilihan yang lebih baik.
Karena itu, saya mengusulkan pengadaan
moda transportasi publik dengan dua model:
- City Tour Wisata
Santri:
bus mini berdesain khas Jombang yang menyusuri pesantren, museum, makam
ulama, hingga kuliner lokal. Transportasi ini bukan hanya alat angkut,
tetapi juga media edukasi dan promosi wisata religius.
- Transportasi
Rakyat Terpadu:
bus sedang ber-AC, ramah difabel, dengan trayek tetap menghubungkan desa,
kecamatan, kota, pasar, rumah sakit, sekolah, hingga terminal. Gratis
untuk pelajar, santri, dan lansia; murah untuk masyarakat umum.
Halte-halte pun bisa dijadikan halte
edukatif yang menampilkan pesan moral, kutipan ulama, dan promosi UMKM
lokal. Dengan demikian, transportasi menjadi ruang belajar yang bergerak.
Saya sadar, program ini membutuhkan
pendanaan besar dan pengelolaan yang profesional. Namun saya yakin, dengan
kolaborasi pemerintah, BUMDes, Koperasi Merah Putih, Koperasi Pesantren, dana CSR, dan dukungan pusat,
hal ini sangat mungkin diwujudkan. Apa yang sudah berhasil dilakukan oleh Tuban
dengan “Si Mas Ganteng” bisa menjadi inspirasi, dan Jombang tentu bisa lebih
baik.
Harapan untuk Keputusan yang Maslahat
Bapak-Ibu para anggota DPRD
Jombang yang saya hormati,
aspirasi yang saya sampaikan ini bukan sekadar wacana utopis. Ini adalah
respons nyata terhadap kebutuhan riil masyarakat Jombang:
- Relokasi CFD demi
keselamatan jiwa dan keharmonisan sosial,
- Transportasi
publik
demi masa depan generasi muda dan keadilan sosial.
Sebagai guru, saya ingin murid-murid saya
berangkat sekolah dengan cara yang benar, aman, dan bermartabat—bukan dengan
rasa waswas karena melanggar hukum. Sebagai warga Jombang, saya ingin ruang
publik kita menjadi ruang yang menyelamatkan, bukan mengancam.
Kini, saya titipkan aspirasi ini kepada
Fraksi PKB DPRD Jombang untuk diperjuangkan bersama pemerintah daerah.
Keputusan yang tepat memang tidak selalu populer, tetapi selalu maslahat.
Semoga langkah kecil kita hari ini
menjadi warisan besar bagi generasi mendatang. Dan semoga Allah SWT senantiasa
membimbing kita dalam ikhtiar menjadikan Jombang lebih religius, aman,
inklusif, dan berdaya saing tinggi.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Direktur PGN Institute
0 Komentar