Cahaya Moderasi dari Masjid Sekolah

Pembinaan GPAI kali ini lebih mirip halaqah kajian Islam di dalam masjid.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Jumat, 26 September 2025, suasana SMAN 2 Jombang terasa berbeda. Sejak pagi, Masjid Miftahul Abror yang biasanya diramaikan siswa yang menunaikan shalat dhuha, kali ini juga menjadi tempat berkumpul para guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Mereka duduk lesehan dalam lingkaran kecil, menunggu arahan dari seorang tamu istimewa: Dr. Mamik Rosita, M.Pd.I, Pengawas Pendidikan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jombang.

Sejatinya, tujuan kedatangan pengawas adalah menemui kepala sekolah lebih dahulu, baru kemudian berdialog dengan para guru binaannya. Namun, karena kepala sekolah sedang ada tugas luar di Madiun, maka pertemuan pun langsung difokuskan kepada para guru: Nine Adien Maulana, Rahma Vera Windyaningrum, M. Sulhan, dan Saenur Mobin. Dr. Mamik dengan sengaja memilih masjid sebagai tempat pembinaan, bukan hanya karena keakraban yang bisa terbangun dari suasana santai, tetapi juga untuk mengamati langsung seberapa banyak siswa yang telah membiasakan diri menunaikan ibadah dhuha. Pilihan sederhana ini sekaligus mengandung pesan: pembinaan guru tidak bisa dilepaskan dari denyut kehidupan spiritual yang nyata di sekolah.

Pertemuan itu berlangsung hangat. Tanpa formalitas yang kaku, suasana justru menyerupai halaqah kajian Islam. Diskusi mengalir ringan, para guru saling berbagi pengalaman, sementara sang pengawas memberi masukan dengan cara yang penuh keteladanan. Materi yang disampaikan pun bukan sekadar hal administratif, melainkan menyentuh inti dari peran pendidikan agama di sekolah. Ada tiga pesan utama yang ditekankan: pentingnya memastikan pembelajaran berjalan dengan tertib baik secara dokumen maupun praktik, urgensi menanamkan nilai-nilai moderasi beragama di tengah keberagaman, serta penguatan pendidikan agama Islam yang berkarakter sehingga tidak berhenti pada teori, melainkan nyata membentuk sikap dan perilaku sehari-hari siswa.

Dalam forum itu, setiap guru juga diajak untuk jujur mengungkapkan dinamika yang mereka hadapi. Ada tantangan mengenai perbedaan latar belakang siswa yang cukup beragam, ada pula persoalan pembiasaan ibadah yang belum sepenuhnya merata, bahkan isu mengenai pengaruh teknologi digital yang sering membuat pembelajaran agama seakan tersisih. Namun, alih-alih menjadi keluhan semata, setiap masalah dipandang sebagai peluang untuk berinovasi. Dr. Mamik memberi dorongan agar tantangan gawai misalnya, bisa diubah menjadi media pembelajaran kreatif: siswa diajak membuat konten islami yang singkat dan inspiratif, atau diajarkan literasi digital yang berakar pada nilai moral. Dengan begitu, agama bukan sekadar pelajaran di kelas, melainkan cahaya yang ikut menerangi aktivitas anak muda di dunia maya.

Apa yang tampak sederhana di masjid pagi itu sejatinya menyimpan makna yang dalam. Pembinaan guru agama bukan hanya tentang menilai laporan atau mengecek rencana pembelajaran, melainkan membangun kesadaran kolektif bahwa mereka adalah teladan hidup bagi para siswa. Sekolah tidak bisa hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga harus hadir sebagai taman karakter tempat nilai agama tumbuh alami dalam budaya keseharian. Moderasi beragama yang digaungkan bukanlah slogan kosong, melainkan sikap konkret agar siswa tumbuh menjadi pribadi yang toleran, tidak ekstrem, sekaligus teguh pada akhlak mulia.

Pertemuan singkat di masjid sekolah itu seakan menjadi pengingat bahwa pendidikan agama perlu terus bergerak mengikuti zaman, namun tetap berpijak pada nilai-nilai dasar yang tak lekang. Tantangan digital, arus informasi, dan perubahan gaya hidup remaja tidak bisa dihindari. Justru di situlah pendidikan agama menemukan relevansinya: hadir sebagai penuntun agar teknologi dipakai untuk kebaikan, perbedaan dilihat sebagai rahmat, dan keberagamaan dijalani dengan keseimbangan.

Kehadiran Dr. Mamik di SMAN 2 Jombang akhirnya bukan hanya sekadar melaksanakan agenda pengawasan, melainkan menyalakan kembali semangat para guru untuk menjalankan tugasnya dengan penuh makna. Guru agama tidak hanya diminta menjadi pengajar, melainkan pembimbing moral yang menghidupkan nilai dalam praktik nyata. Dari forum kecil di masjid sekolah, lahir energi baru untuk menjadikan pendidikan agama sebagai cahaya yang membentuk generasi berkarakter dan moderat, generasi yang kelak akan membawa wajah Islam yang damai dan penuh kedewasaan dalam kehidupan bangsa.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang

 

Posting Komentar

0 Komentar