Hilangnya Kebermaknaan Nilai Hasil Belajar

 

Pelaksanaan penilaian tulis harian murid-murid SMAN 2 Jombang.

[Jombang, Pak Guru Nine]

Ada salah seorang wali murid bertanya kepada saya, “Mengapa sekarang banyak murid memiliki nilai tinggi, tapi tidak kok tidak bisa apa-apa ya? Dulu, tidak banyak murid yang mendapat nilai tinggi di rapornya, bahkan ada juga yang diberi nilai merah, tapi kok mentes ya? Nilai sekarang kok tidak mencerminkan kemampuan ya?”

Saya agak kaget mendengar pertanyaan kritis tersebut, karena jarang ada wali murid yang mau peduli dengan masalah ini. Biasanya mereka diam saja jika nilai anak-anak mereka telah melampaui standar minimal. Mereka baru protes atau bertanya-tanya jika nilai anak-anak mereka tidak mencapai standar minimal.

Saya kemudian menjawabnya, “Menurut saya penyebab mendasarnya ada tiga yaitu, pertama karena adanya acuan kriteria ketuntasan belajar (SKBM atau KKM), apalagi jika nilai standar minimalnya itu sudah tinggi;  kedua adalah rendahnya komitmen guru dalam melaksanakan pembelajaran yang ideal; dan ketiga adalah nilai itu diperoleh murid dari cara-cara yang curang.”       

“Lho kok bisa pak? Bagaimana maksudnya?”, orang itu bertanya-tanya dengan penuh keheranan dengan jawaban saya tersebut. Saya kemudian menjelaskannya dengan panjang lebar kepadanya. Kalau tho beliau belum paham dengan penjelasan lisan saya waktu itu, maka artikel ini menegaskan kembali penjelasan tersebut. Semoga beliau mau membacanya.

Pada masa sekarang kita jarang menjumpai nilai-nilai rendah dalam rapor atau lampiran ijazah peserta didik. Hal ini disebabkan adanya Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM; istilah ini digunakan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi) atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM; istilah ini digunakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). SKBM atau KKM itu ditampilkan dalam bentuk nilai-nilai minimal yang menjadi acuan ketuntasan belajar. Tuntas atau tidaktuntasnya peserta didik ditentukan oleh tercapai atau tidak tercapainya nilai minimal itu.

Hal ini mengakibatkan banyaknya peserta didik memiliki nilai rapor yang sangat tinggi, namun nilai tersebut tidak benar-benar merepresentasikan tingkat kompetensi yang seharusnya dikuasai. Nilai tersebut kehilangan makna. Nilai-nilai tinggi itu tidak berbanding lurus dan prestasi dan kompetensi yang dituntut.

Sebenarnya fungsi KKM sangat ideal dalam proses pembelajaran, karena menjadi acuan untuk mengetahui tingkat kompetensi peserta didik. Sayangnya dalam praktiknya, banyak muncul penyederhanaan, bahkan penyimpangan. Demi kepentingan pragmatis, penentuan KKM seringkali mengabaikan prosedur. Agar citra sekolah tampak bagus dan memudahkan peserta didik untuk mendaftar di jenjang pendidikan di atasnya, pihak sekolah serta merta mematok angka tertentu yang tinggi, misal 80, sebagai KKM untuk tiap mata pelajaran. Akibatnya, prosedur penetapan KKM yang harus mempertimbangkan tingkat kompleksitas, sumber daya pendukung pembelajaran, tingkat kemampuan rata-rata (intake) peserta didik, pun tidak dipertimbangkan.

Secara administratif, KKM yang tinggi sangat menguntungkan peserta didik. Misal, jika KKM matapelajaran adalah 80, maka dapat dipastikan hampir semua nilai terendah yang muncul dalam rapor hasil belajar adalah 80. Dengan modal nilai-nilai tersebut, peserta didik tidak akan mengalami masalah dalam pendaftaran ke jenjang pendidikan di atasnya yang mensyaratkan nilai rata-rata minimal yang tinggi. Inilah keuntungan pragmatisnya.

Sayangnya, hal ini menimbulkan masalah baru, yaitu inflasi nilai hasil belajar. Hampir semua peserta didik memiliki nilai-nilai yang tinggi, namun kebermaknaan nilai-nilai tersebut merosot, bahkan lambat laun menghilang. Dulu sebelum adanya SKBM atau KKM, siapa yang memiliki nilai minimal 80 dapat dipastikan mereka adalah peserta didik yang benar-benar berprestasi. Tapi sekarang, hal itu tidak berlaku! Peserta didik yang mendapat nilai 80 dalam buku rapornya bisa jadi adalah mereka yang paling lambat belajar yang sudah berkali-kali mengikuti program remedial, namun tetap saja tidak mampu mencapai kriteria minimalnya. Mengapa bisa mendapat 80? Mereka pada akhirnya dianggap tuntas, sehingga diberi nilai sebesar KKM itu.

Dengan tingkat kemampuan peserta didik yang beragam, mencapai nilai 80 secara wajar cukup berat dan sulit. Dengan KKM segitu, maka dapat dipastikan banyak peserta didik yang belum mampu mencapainya dalam sekali ulangan atau ujian.  Ini adalah sesuatu yang wajar.

Masalah berikutnya ada pada pihak guru. Seharusnya ketika ada peserta didik yang belum tuntas, guru wajib memberikan program remedial. Namun, faktanya tidak selalu demikian. Kewajiban ini diabaikan. Tanpa ada kegiatan remedial, peserta didik langsung diberi nilai sebesar KKMnya. Secara lahiriyah memang tidak ada beda nilai yang diperoleh dari proses remedial atau tanpa ada proses remedial. Akan tetapi, secara moral tentu adalah masalah yang serius bagi integritas dan responsibilitas seorang guru.  

Jika program remedial itu diberikan, mampukah peserta didik mencapai KKM yang sangat tinggi tersebut, apalagi jika intake peserta didik rendah? Dengan kondisi seperti itu mustahil program remedial dapat dilakukan secara ideal, hingga peserta didik mendapatkan nilai yang obyektif mencapai KKM. Ujung-ujungnya program remedial itu pun dilakukan sebatas formalitas. Mengapa? karena jika berkali-kali kegiatan remedial telah dilakukan, dan peserta didik tetap tidak tuntas, maka guru pada akhirnya akan menganggapnya telah tuntas atas dasar kemanusiaan, meskipun secara obyektif peserta didik itu sebenarnya belum mampu mencapai KKM.

Jika guru tidak menganggapnya tuntas, maka dapat dipastikan jumlah peserta didik yang tidak naik kelas atau tidak lulus sangat banyak. Hal ini tentu sangat tidak diharapkan. Dalam kondisi seperti ini maka, guru akhirnya mengambil sikap melampaui obyektifitas penilaian.

Masalah selanjutnya adalah kecurangan yang dilakukan peserta didik untuk mendapat nilai tinggi. Sebaik dan seideal apapun penilaian hasil belajar dipersiapkan dan dilakukan, menjadi sia-sia jika peserta didik mengerjakannya dengan curang, misal menyontek. Tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan menjadi sia-sia, karena tidak bisa membuahkan hasil yang obyektif. Mengoreksi hasil ulangan atau ujian yang dihasilkan dari praktik percontekan menjadi sia-sia.

Jika koreksi tetap dilakukan apa adanya, semata-mata didasarkan lembar jawaban siswa, tanpa memperhatikan rekam jejak akademisnya sebelumnya, maka nilai hasil ulangan atau ujian yang diperoleh dari menyontek itu adalah salah satu dari bentuk kebohongan publik. Tinggi atau rendah nilai tersebut tidak berarti apa-apa, karena tidak mampu merepresentasikan tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang dituntut. Nilai itu menjadi mati.

Kondisi ini menyebabkan ketidakpercayaan pihak-pihak pengguna nilai tersebut, sehingga mereka harus melakukan tes ulang untuk mencari orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Hasil tes inilah yang dianggap lebih obyektif untuk memotret kompetensi, daripada nilai-nilai rapor yang fantastis itu.

Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, lalu apa gunanya ada ulangan dan ujian serta pemberian nilai? Silakan menjawab sendiri-sendiri sebagai bahan renungan.{abc}     

Posting Komentar

0 Komentar