![]() |
Khatmil Quran dan Pembacaan Shalawat Nabi adalah salah satu tradisi menghidupkan malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan di Pacarpeluk. |
[Jombang, Pak Guru Nine]
Ramadan kini telah memasuki sepertiga yang terakhir. Ini
adalah momentum peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah SWT.
Pada momentum ini Rasulullah mengencangkan ‘ikat pinggangnya’. Beliau
menghidupkan penghujung malam-malam Ramadan dan mengajak seluruh keluarganya
aktif beribadah. Inilah momentum yang paling tepat untuk kembali kepada tugas
pokok dan fungsi manusia diciptakan di muka bumi; dengan melepaskan diri dari
daya pikat dan tarik dunia.
Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah media bagi kita
untuk merenung dan menata ulang lintasan perjalanan hidup kita yang mungkin
telah keluar dari orbit yang semestinya. Orbit kita melingkar sesuai dengan
lintasan dari Allah untuk Allah dan akan kembali Allah. Semua berorientasi
kepada Allah, sesuai dengan deklarasi innā lillāhi wa innā ilayhi
rāji’ūn.
Rasulullah SAW memerintahkan kita menghidupkan
malam-malamnya dengan berbagai aktifitas ibadah (qiyāmul layl). Malam
itu adalah malam kemuliaan. Nilainya melebihi seribu bulan. Malam itu adalah
malam ketetapan; saat Allah menetapkan segala hal yang sangat fundamental bagi
kehidupan umat manusia. Malam itulah yang dikenal dengan laylatul qadr?
Hanya Allah yang mengetahui hakikat laylatul qadr,
sedangkan pengetahuan manusia tentangnya sangat terbatas; semata-sama berdasar
pemahanan terhadap berita yang disampaikan Allah dan RasulNya. Oleh karena
itulah, kita bisa memahami mengapa ayat yang memberitakannya didahului oleh
kalimat tanya, “wa maa adraaka maa lailatul qadr; Dan tahukah kamu apakah
malam kemuliaan itu?”. Dan, Allah sendiri yang kemudian memberikan jawaban
atas pertanyaan tersebut. “lailatul qadri khairum min alfi syahr; malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”.
Tidak sepatutnya ayat tersebut dipahami secara
kuantitatif, meskipun terdapat kata bilangan seribu (alf). Kata bilangan
seribu lebih tepat dipahami sebagai sesuatu yang banyak dan tak terhingga dalam
hitungan manusia, apalagi nyata-nyata disebutkan bahwa ia lebih baik dari
seribu bulan. Jadi, kemuliaannya tidak sekadar dibatasi dalam hitungan seribu,
namun melebihi hingga tidak terhingga. Oleh karena itu, jika laylatul
qadr diidentikan dengan malam seribu bulan, maka hal tersebut
sebenarnya mereduksi makna yang sesungguhnya. Bagaimana bisa diterima sesuatu
yang lebih dari seribu, tapi dianggap seribu?
Atas dasar itulah, kita bisa memahami mengapa Rasulullah
memerintahkan kita untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas
ibadah dan segala kebaikan. Siapa yang menjumpainya saat melakukan ibadah,
niscaya akan mendapatkan balasan kebaikan yang tiada terhingga. “Dari Aisyah ra,
bahwa Rasulullah saw bersabda: Carilah laylatul qadr pada
tanggal-tanggal ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan”.
(ditahrijkan oleh Bukhari, I, kitab al-Tarawih, hal.225)
Sabda Rasulullah SAW tersebut juga perlu dipahami lagi
secara lebih luas agar pelaksanaan ibadah kita tidak terjatuh dalam praktik
transaksional dan pilih-pilih, padahal kasih sayang Allah tercurahkan kepada
kita tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Sabda tersebut seharusnya minimal
dipahami sebagai penekanan pada sepuluh hari terakhir, tanpa pilih-pilih apakah
pada tanggal ganjil atau genap.
Tanggal ganjil atau genap sebenarnya adalah sesuatu yang
terikat ruang dan waktu tertentu dan tidak bisa digeneralisasi. Bisa jadi di
suatu tempat tertentu sedang berlaku tanggal ganjil dan pada saat yang sama di
tempat lain sedang berlaku tanggal genap. Mengapa bisa terjadi? Ya karena
adanya rotasi bumi yang menyebabkan separuh bagian bumi siang dan separuh
bagian yang lain malam.
Tidak hanya itu, karena perbedaan mengawali puasa,
tanggal ganjil atau genap pada sepertiga terakhir Ramadan pasti tidak sama.
Saudara-saudara kita yang mengawali berpuasa mendahului atau lebih akhir dari
ketetapan resmi Pemerintah, pasti penanggalan ganjil genapnya tidak sama dengan
kita yang mengawali berpuasa berdasar ketetapan Pemerintah. Tanggal ganjil
mereka pasti lebih dahulu daripada kita. Bagi mereka ganjil, tapi bagi kita
genap.
Jika kita terlalu bernafsu meraih laylatul qadr dengan
model transaksional dan pilih-pilih dalam beribadah, maka siap-siaplah kecele.
Pada malam-malam ganjil, kita bersemangat, sedangkan pada malam-malam genap,
kita terlena. Bisa jadi yang ganjil sebenarnya genap dan yang genap sebenarnya
adalah ganjil.
Hal ini juga berlaku bagi kita yang memburu laylatul
qadr dengan mempertimbangkan hari awal puasa. Bagaimana mungkin
rumusan tersebut bisa menjadi pertimbangan universal, jika di satu tempat dan
waktu, hari awal puasanya berbeda. Pada Ramadan ini ada yang mengawali puasa
hari Selasa. Ada pula yang mengawalinya hari Rabu. Padahal, kedua hari itu
menjadi pertanda hadirnya laylatul qadr pada tanggal ganjil
yang berbeda.
Oleh karena itu, jangan kultuskan tanggal ganjil dan
sepelekan tanggal genap di sepertiga terakhir Ramadan. Seharusnya sepanjang
Ramadan, kualitas dan kuantitas ibadah kita semakin meningkat daripada
sebelumnya. Jika hal itu belum terlaksana, maka sepertiga terakhir Ramadan
harus menjadi momentum spesial bagi kita untuk bersimpuh dan bermunajat
kepadaNya dengan lebih intensif tanpa mempedulikan apakah tanggal ganjil
ataukah genap.
Memburuh laylatul qadr dengan
memperhatikan tanda-tanda tertentu memang tidak salah. Ada banyak hadits yang
dapat dijadikan referensi, meskipun tidak semua ulama ahli hadits menyepakati
status kekuatan hadits tersebut. Ada banyak pula pendapat ulama yang
menjelaskan tanda-tandanya yang dikaitkan dengan fenomena tertentu. Semua
keterangan tersebut seharusnya dijadikan sebagai salah satu motivasi untuk
mengintensifkan ibadah, bukan untuk memilih-milih kapan bisa dilakukan atau
ditinggalkan.
Sikap pilih-pilih ibadah seperti itu berpotensi memastikan laylatul qadr dengan mengultuskan malam ganjil dan mengabaikan malam genap di sepertiga terakhir Ramadan. Ibadah kita akhirnya berlangsung secara transaksional. Padahal, kita amat tidak sebanding melakukan transaksi dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada kita tiada terkira dibandingkan dengan apa yang kita lakukan dan persembahkan kepadaNya. Tidakkah kita malu jika beribadah dengan model ini?. {abc}
0 Komentar