![]() |
Saya bersama dengan teman-teman satu angkatan saat selesai menggelar pentas yang menjadi tugas dari guru mata pelajaran Kesenian. |
[Jombang, Pak Guru NINE]
Setelah
mantap tidak melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Jombang, saya kemudian mempersiapkan
diri berangkat ke Jember. Tujannya adalah Madrasah Aliyah Negeri 1 Jember
penyelenggara Madrasah Aliyah Program Khusus / Madrasah Aliyah Keagamaan,
yang terletak di jalan Imam Bonjol nomor 50 Jember. Di sanalah saya
melabuhkan diri untuk menuntut ilmu dan mengembangkan diri.
Saya
berhusnudhan pilihan belajar ke Jember merupakan pilihan terbaik
Allah SWT. Salah satu hikmah yang nyata-nyata dapat dirasakan waktu itu adalah
tersambungnya paseduluran antara keluarga saya di Jombang dengan kelaurga di
Jember. Kedua keluarga pernah sangat lama tidak bertemu dan berkomunikasi,
bahkan sebelumnya saya juga tidak tahu jika masih memiliki keluarga di sana.
Embah
putri saya, nyi’ Arofah ternyata memiliki saudara kandung
laki-laki, namun lain ayah. Beliau adalah yai Djami’ah,
demikian saya memanggilnya. Entah bagaimana detil ceritanya, beliau akhirnya
ikut Kereta Api dan bekerja di sana serta bertempat tinggal di sekitar Stasiun
Kereta Api Jember. Kalau tidak salah di jalan Mawar. Oleh karena itu, misi saya
saat itu selain belajar di MAN 1 Jember adalah bershilaturrahmi kepada yai Djami’an.
Saat
pertama kali berangkat ke kota Jember, saya diantar Bapak Syamsul Huda dan cak
Luqman Zakariyah, putra pakdhe H. Masbuchin. Seingat saya, kami berangkat malam
hari sekitar pukul 21.00-an dan sampai di terminal bus Tawangalun Jember
sekitar pukul 3.00an dini hari. Kami menyempatkan diri mengerjakan shalat
Shubuh di Mushollah dalam terminal tersebut. Setelah suasana agak terang, kami
naik line angkutan umum, menuju tujuan utama, yaitu MAN 1 Jember.
Karena
ini adalah pengalaman pertama kami berkunjung ke Jember maka kami pun
bertanya-tanya posisi alamat madrasah yang kami tuju. Ada orang memberi tahu,
“Pak, pokoknya nanti kalau sopir atau kernetnya bilang “patung-patung-patung”,
maka sebentar lagi Bapak turun dari angkutan.”
Ternyata
betul, setelah sampai patung-patung kami diturunkan di halte angkutan umum.
Kami kemudian berjalan kaki menuju menuju lokasi yang berjarak sekitar 500an
meter dari halte itu. Akhirnya, sampailah kami di lokasi MAN 1 Jember.
Saya
didampingi Bapak dan Cak Luq, demikian saya biasa memanggil cak Luqman
Zakariyah, melakukan registrasi. Setelah itu, kami diantar oleh salah satu guru
MAN 1 Jember menuju asrama. Saya lupanya apakah pak Suhariyanto atau siapa?
Entahlah. Yang saya ingat guru tersebut berkaca mata dan berpostur tinggi.
Ternyata
di asrama sudah ada beberapa teman yang lebih dulu datang. Kalau tidak salah
Zainal Fanani dan Bapaknya dari Tuluangung, serta Uun Yusufa dan orang tuanya
dari Trenggalek lebih dulu sampai di asrama itu. Saya kemudian memilih ranjang
yang berada di dekat pintu keluar. Pertimbangannya adalah agar saya bisa mudah
bangun malam karena dingin saat pintu itu dibuka orang lain.
Asrama
yang kami, satu anggkatan 1995, tempati terdiri dua kamar besar, yaitu sebelah
Timur dan Barat. Saya menempati kamar sebelah Timur. Masing-masing kamar berisi
maksimal 20 penghuni berserta ranjang dan lemarinya. Masing-masing kamar besar
itu memiliki 2 atau 3 kamar mandi. Sayangnya kamar mandi yang berada di kamar
sebelah Timur ada yang tidak bisa digunakan dan waktu itu belum diperbaiki.
Di
asrama inilah kami ditempah dan bersama-sama saling asih, asah dan asuh dalam
pembelajaran dan prestasi. Maklum, yang diterima di Madrasah itu adalah
murid-murid pilihan terbaik se Jawa Timur, sehingga suasana persaingan belajar
menjadi sangat dinamis.
Ada
teman yang tipe belajarnya adalah sangat rajin bahkan sangat maniak. Tidur pun
bersama dengan buku. Mereka adalah Izza Rohman asal Kediri yang sekarang telah
meraih gelar doktor bidang tafsir al-Quran dan menjadi dosen di UHAMKA Jakarta.
Ada juga Nashrulloh asal Mojokerto yang sekarang menjadi guru di Mojokerto dan
mengembang usaha pengobatan herbal.
Ada
juga teman yang sangat kuat hafalannya. Sekali guru menerangkan, maka ia mampu
merekamnya di otak dengan sangat kuat. Tapi dia tidak begitu maniak dalam
belajar. Saya sangat jarang melihat ia pegang buku untuk membaca dan hafalan.
Dia adalah Ahmad Athoillah dari Bangkalan. Sayangnya dia tidak sampai lulus di
Jember, karena ia memutuskan meneruskan belajar di Mesir. Kini dia tinggal di
bangkalan menjadi seoran guru PNS dan mengelolah lembaga pendidikan.
Ada banyak lagi tipe gaya belajar dan bergaul diantara kami yang sangat beragam. Semua itu menjadi warna-warni kehidupan kami selama belajar di Jember. Tempat ini benar-benar laksana kawah candradimuka kami dalam mengembangkan diri.{abc}
0 Komentar