![]() |
Sampul depan |
Judul Buku : Shafaaul Lisaan Fii I’raabil Quraan
Penulis : Dr. Muhammad Afifuddin
Dimyathi, MA
Penerbit : Lisan Arabi
Alamat Penerbit : Sidoarjo, Jawa Timur
Cetakan Pertama : 2016 M / 1437
H
Jumlah Halaman : 117 halaman
[Jombang, Pak Guru NINE]
Salah
satu ciri khas pesantren di Jawa pada umumnya adalah mengaji kitab-kitab
berbahasa Arab yang tidak berharakat (kitab gundul). Ada juga yang menyebutkan
kitab kuning, karena sebagian besar kitab-kitab klasik itu dicetak dengan
kertas berwarna kuning. Kyai menerjemahkannya per lafadz dengan memperhatikan
kedudukan masing-masing lafadz dalam susunan kalimat. Santri mengikutinya
dengan mencatat erjemahannya di bawah lafadz asal. Dengan model pengajian ini,
santri tidak sekadar mengetahui terjemah lafadz, namun juga mengetahui
kedudukan masing-masing lafadz baik menurut kaidah nahwu maupun sharaf,
sehingga pemahaman mereka atas makna teks menjadi lebih dalam.
Lafadz
yang berkedudukan sebagai subyek (mubtada’) pasti disebut terjemahnya
adalah utawi, sedangkan yang berkududukan sebagai predikat (khabar)
selalu disebut terjemahnya adalah iku. Hal ini berlaku dalam
kalimat nominal (jumlah ismiyyah). Jika susunannya adalah kalimat verbal
yang terdiri dari (fi’il dan fa’il), maka terjemah
lafadz kerja (fiil) pasti akan diikuti keterangan waktu lampau, sekarang
atau akan datang (wus, lagi, arep). Jika kedudukan lafadz itu menjadi
subyek (fa’il), maka pasti dengan tegas terjemahnya diucapkan dengan
ungkapan sapa (jika subyek berakal) atau apa (jika
subyek tidak berakal). Ada banyak lagi contoh terjemah yang menujukkan
kedudukan lafadz dalam suatu kalimat, misal, ing menujukan
obyek, halih menjujukkan hal, apane menjukkan tamyiz, rupane menunjukkan badal dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Model
pengajian seperti ini secara sistematis telah melatih santri atau murid menjadi
peka terhadap struktur kalimat (tarkib) dan perubahan i’rabnya.
Struktur minimal kalimat adalah terdiri dari subyek dan predikat, sedangkan
yang lengkap adalah subyek, predikat, obyek dan keterangan. Hal ini juga
berlaku pada bahasa Arab. Adapun i’rab adalah perubahan akhir kalimat dalam
bahasa Arab karena perbedaan unsur (‘amil) yang memasukinya baik secara
tampak lafadznya maupun secara perkiraan. Misalnya lafadz al-kitaab;
dalam keadaan tertentu lafadz itu harus dibaca al-kitaabu, al-kitaaba, atau
al-kitaabi karena menempati kedudukan yang berbeda.
Mungkin
karena diidentikkan dengan al-Quran yang berbahasa Arab, kajian teori gramatika
bahasa Arab di pesantren selama ini dipersepsi sebagai sesuatu hampir-hampir
sakral. Buktinya tingkat senioritas kompetensi santri seringkali dilekatnya
dengan berapa banyak bait-bait nadham kitab Imrithy atau Alfiyah
ibn Malik. Tidak semua pesantren menganjurkan atau bahkan mewajibkan
santri menghafal al-Quran, tapi sebaliknya santri terkondisikan untuk menghafal
bait-bait nadham dalam kedua kitab itu, padahal ia bukan kitab suci yang membacanya
bernilai ibadah (almuta’abbad bi tilaawatihi).
Didorong
semangat untuk melestarikan tradisi keilmuan dan pembelajaran di pesantren
seperti ini, Gus Awis, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan,
Jombang menyusun sebuah buku berbahasa Arab dengan judul, ”Shafaaul Lisaan
Fii I’raabil Quraan”. Buku ini memang ditujukan untuk para pemula dalam
studi bahasa al-Quran, khususnya para santri dan mahasiswanya, sehingga hanya
berisi analisis i'rab tiap lafadz dan kalimat ayat-ayat al-Quran yang terpilih
dengan menggunakan metode i'rab yang telah dikenal di pondok pesantren.
Penyusun
buku ini sepertinya ingin memadukan antara penguasaan gramatika bahasa Arab dan
pembelajaran kitab suci al-Quran, sehingga sikap santri dalam menyakralkan ilmu
diarahkan secara tepat pada kitab suci al-Quran. Kitab Imrithy atau Alfiyah
ibn Malik memang penting untuk belajar gramatika bahasa Arab, namun
tidak sepatutnya disakralkan melebihi penyakralan terhadap kitab suci al-Quran.
Penyusun
buku ini yang juga alumnus MAPK/MAKN Jember menganalisis kandungan i’rab tiga
surat al-Quran pilihan, yaitu: QS. Al-Fatihah, QS. As-Sajadah, dan Al-Insan.
Ketiga surat ini sangat populer di pesantren, khususnya di pesantren Gus Awis,
karena sering dibaca khususnya dalam shalat Shubuh hari Jumat. Dengan obyek
kajian tiga surat al-Quran itu, pembaca buku ini diharapkan memperoleh dua
manfaat sekaligus. Manfaat pertama adalah pembaca akan mampu belajar mendalami
penarapan ilmu nahwu dan sharaf. Manfaat kedua adalah membaca, belajar dan memahami
ayat-ayat dan kandungan kitab suci al-Quran yang secara langsung memiliki
nilai ibadah.
Menurut
penyusun buku ini ketiga surat al-Quran tersebut memiliki variasi i’rab yang
sangat beraneka macam, sehingga merepresentasikan i’rab yang terkandung dalam
seluruh ayat-ayat al-Quran. Dengan mengkajinya, maka pembaca akan mempu
memformulasikan i’rab yang terdapat dalam ayat dan surat yang lain secara
mandiri.
Kompetensi
menganalisis i’rab suatu kalimat sangat diperlukan dalam kajian tafsir al-Quran.
Ketidaktepatan analisis i’rab bisa mengubah makna secara fatal. Sebagai misal,
dalam QS. Fatir ayat 28, seharusnya makna yang tepat adalah hanya saja yang
takut kepada Allah diantara hamba-hambanya. adalah ulama. Makna ini diperoleh
jika lafadz Allah dalam ayat itu dibaca Allaaha. Sebaliknya maknanya bisa
berubah sangat fatal, jika lafadz Allah dibaca Allaahu, sehingga terjemahnya
menjadi hanya saja Allah takut kepada hamba-hambaNya yang ulama. Lafadznya
sama, namun jika dibaca Allaaha atau Allaahu, ternyata maknanya sudah
bertentangan 180 derajat. Oleh karena itu ilmu I’rab menjadi salah satu ilmu
penting dalam memahami ayat-ayat al-Quran khususnya.
Selama
ini analisis i’rab seringkali hanya digunakan untuk membedah kalimat bahasa
Arab biasa. Melalui bukunya ini dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini mengajak
pembaca untuk langsung menerapkannya dalam analisis ayat-ayat al-Quran. Ini
adalah karya yang patut diapresiasasi karena menjadi sarana mempopulerkannya
dalam kajian-kajian bahasa Arab. Santri atau murid tidak sekadar membaca dan
menganalisis kalimat bahasa Arab biasa, namun langsung diarahkan kepada
analisis bahasa kitab suci Al-Quran yang mengandung berbagai keutamaan yang
tidak dijumpai dalam bahasa Arab biasa.
Alhasil, siapa saja yang membaca dan mempelajari kandungan buku ini pasti akan melakukan dua aktifitas mulia sekaligus, yaitu mengaji dan mengkaji ayat-ayat al-Quran. Pembaca juga akan mendapatkan sisi sakral dan gramatikal di dalam buku ini. Jika penasaran, silakan miliki dan membacanya sendiri untuk membuktikannya. [pgn]
0 Komentar