![]() |
Pak Guru NINE saat menjadi pemateri Makesta PR IPNU Sidomulyo, Megaluh, Jombang |
[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]
“Cak, bagaimana caranya agar IPNU dan IPPNU bisa masuk di
sekolah-sekolah negeri?”, tanya salah seorang aktivis IPNU kepada saya yang
juga mantan aktivis IPNU dan sekarang menjadi guru di sekolah negeri. Atas
pertanyaan tersebut saya memiliki perspektif yang mungkin berbeda dari apa yang
diharapkan penanya itu. Penjelasannya sebagaimana diuraikan dalam narasi di
bawah ini.
Mengembangkan IPNU dan IPPNU di kalangan pelajar di
sekolah-sekolah negeri tidak harus secara langsung masuk dalam wilayah
kekuasaan sekolah. Terlalu riskan dan berisiko, mengembangkan banom NU ini
masuk ke dalam sekolah-sekolah negeri, karena telah ada OSIS sebagai
satu-satunya organisasi resmi intra sekolah. Idealnya pengurus komisariat
memang berbasis pada sekolah, pesantren atau madrasah. Akan tetapi pencatutan
nama sekolah, pesantren atau madrasah sebagai nama komisariat bisa jadi
menimbulkan keberatan bagi pihak pimpinan lembaga pendidikan itu.
Atas dasar itu, IPNU dan IPPNU harus mengembangkan peran
sebagai organisasi ektra siswa yang bisa menghimpun para siswa dari berbagai
sekolah. Dengan peran tersebut penamaan komisariat tidak harus berbasis pada
nama lembaga pendidikan tertentu, namun bisa dengan nama lain. Misal, dulu para
aktivis IPNU dan IPPNU MAN 1 Jember, Pesantren Miftahul Ulum Kaliwates,
Pesantren Annisa Kaliwates dan Pesantren Tegal Besar menghimpun diri dalam
Komisariat Besar (Kombes) Imam Bonjol.
Dengan peran sebagai organisasi ekstra, IPNU dan IPPNU
harus kreatif dalam mengemas program kerja atau acara, agar bisa menarik
simpati para pelajar untuk bergabung dengan organisasi itu. Caranya adalah
dengan membuat deferensiasi kemasan program kerja atau acara dengan yang ada
dalam OSIS. Jika terpaksa ada kesamaan secara umum, maka IPNU dan IPPNU harus
menampilkan keunikan dan kekhasannya, khususnya dalam pencitraan remaja.
Membidik siswa secara langsung untuk bergabung dalam IPNU
atau IPPNU melalui sekolah memerlukan energi yang besar, karena para aktivis
IPNU atau IPPNU harus bersaing secara kreatif dengan OSIS. Tenaga, pikiran dan
dana yang dibutuhkan jauh lebih besar, padahal belum tentu hal itu bisa menarik
perhatian siswa yang telah beraktivitas dan berorganisasi di sekolah melalui
OSIS.
Jika hal itu tidak mampu dilakukan, maka membidik pelajar
Nahdlatul Ulama melalui pembentukan pengurus ranting di desa-desa, khususnya
lagi langsung berbasis masjid atau musholla, tentu jauh lebih tepat sasaran.
Manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Desa menjadi semarak
dengan berbagai kegiatan positif. Para pelajar yang berada di desa bisa
aktualisasi diri. Dukungan pemerintah desa dan masyarakat umum lebih mudah
diperoleh, sehingga hubungan simbiosis mutualis dengan mudah terjadi.
Meskipun kegiatan yang dilakukan sederhana, namun potensi
ketertarikan para pelajar yang sudah pulang ke desa, khususnya masjid dan
musholla masing-masing terhadap kegiatan IPNU atau IPPNU akan jauh lebih besar.
Organisasi ini bisa menjadi sarana aktualisasi diri, sehingga mereka tidak lagi
menghabiskan waktu dengan nganggur di dalam rumah setelah kembali dari sekolah.
Perhatian pengurus IPNU dan IPPNU jangan diforsir untuk
mengembangkan komisariat, berbasis
sekolah atau madrasah, yang belum tentu
berbanding lurus dengan sambutan dari pihak lembaga pendidikan. Pengembangan
ranting jauh lebih prospektif daripada pengembangan komisariat berbasis lembaga
pendidikan. Inilah wahana latihan bermasyarakat yang sesungguhnya. Inilah
bentuk kepedulian nyata generasi muda terhadap lingkungan masyarakatnya.
Pengurus Cabang dan Anak Cabang lebih baik segera menyusun strategi dalam melaksanakan program-program yang langsung menyasar pada para pelajar kader NU di desa-desa. Dirikanlah pengurus ranting di desa. Sapalah mereka dengan berbagai program kegiatan populis yang langsung bisa diterapkan di desa itu, niscaya kemaslahatan yang dihasilkan akan jauh lebih besar, insyaallaah. [png]
0 Komentar