Berpuasa Bukan Karena Enak

 

Saksikan penjelasan lebih lanjut dalam Channel Pokjawas PAI Jombang! 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]

Puasa itu tidak enak. Ini adalah kesan obyektif tanpa mempertimbangkan aspek iman. Apa yang boleh dilakukan diluar puasa menjadi terlarang selama sesorang berpuasa. Puasa menyebabkan lapar,dahaga dan lemas. Aktifitas fisik menjadi kurang bergairah, karena mudah mengantuk. Andai puasa itu enak secara fisik, pasti semua orang berlomba-lomba berpuasa kapan saja dan tidak ada yang membatalkannya.

Karena puasa itu dirasakan tidak enak, maka banyak orang tidak puasa dengan berbagai alasan meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa itu adalah kewajibannya. Karena puasa itu memang tidak enak,maka banyak orang yang tidak puasa saat menjalankan pekerjaan mereka. Karena puasa tidak enak, maka orang tua dan pendidik perlu melatih dan mengajarkannya secara bertahap kepada anak-anak didik mereka. Tanpa latihan sejak dini mustahil mereka mau dan mampu berpuasa, karena puasa memang terasa tidak enak.

Sebenarnya tidak hanya puasa, semua perintah Allah SWT kepada umat manusia itu secara fisik dan obyektif dirasakan tidak enak. Mengapa? karena semua perintahNya selalu bertentangan dengan keinginan nafsu manusia yang dipengaruhi oleh jasmani dan pancainderanya. Nafsu selalu menuntut pemenuhan keinginan manusia, sedangkan Allah SWT memerintahkan kita mengekang, mengendalikan dan mengatur nafsu.

Nafsu mendorong kita untuk makan danminum, namun Allah SWT melarang kita makan dan minum dalam kurun waktu tertentu saat berpuasa. Nafsu mendorong kita bekerja keras mencari harta sebanyak-banyaknya, namun ketika harta telah diperoleh, Allah SWT memerintahkan kita mengeluarkanya dalam jumlah tertentu untuk dibagikan kepada orang lain. Nafsu kita senang jika memiliki banyak harta, namun Allah memerintahkan kita berhaji dengan mengeluarkan banyak harta. Ketika kita sedang asyik dan merasa nyaman dalam sesuatu aktifitas, kita harus menghentikannya untuk mengerjakan perintahNya, yaitu shalat lima waktu.

Itulah konsekwensi beragama. Itulah konsekwensi kita memilih islam sebagai agama kita. Kita menjadi terikat dengan sekian banyak peraturan yang semuanya bertentangan dengan nafsu dan keinginan kita. Kita harus mengerjakan sekian banyak hal yang sebenarnya tidak disukai oleh nafsu kita. Kita harus mengikuti apa yang diinginkan Allah SWT bukan apa yang kita inginkan secara mandiri.

Kesediaan diri untuk mengikuti apa yang dikehendaki Allah SWT sebenarnya tidak datang dengan tiba-tiba. Ia hadir sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis manusia yang mau berfikir tentang asal usulnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah 1. Darimana kitaberasal?, 2. Untuk apa kita diadakan?, 3. Mau kemana setelah kematian?. Akal dan cerapan panca indera kita tidak mampu secara mandiri memberikan jawaban yang memuaskan dan memberikan kepastian terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dari sinilah manusia butuh wahyu, sebagai kabar berita kepastian dari AllahSWT. Dari sinilah kita memilih jalan iman sebagai pedoman fundamental.   

Segala yang dirasakan tidak enak itu berubah penilaiannya jika dilandasi dengan iman. Dengan landasan iman, kita mau melakukan apa yang sebenarnya kita tidak sukai. Atas dasar iman, kita pasrah (islām) dengan segala kehendak dan perintahNya. Atas dasar iman, kita percaya dan yakin bahwa segala yang dirasa tidak enak itu akan berbuah kenikmatan dan kebahagiaan.Atas dasar iman pula, kita bersedia menyerahkan penilaian baik-buruk kepadaNya bukan atas dasar perasaan senang dan benci kita. “...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]:216)

Kesediaan mengerjakan sesuatu yang kita senangi adalah hal yang biasa. Tanpa agama dan keimanan, setiap manusia mampu melakukannya. Sebaliknya, yang luar biasa adalah kesediaan kita mengerjakan sesuatu yang kita merasakannya tidak enak dan pasti kita tidak menyukainya. Kualitas iman kita pada akhirnya ditentukan seberapa besar kesediaan kita melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT walaupun terasa tidak enak.

Orang yang beriman sangat mengetahui mana subyek mana obyek. Apa yang dikerjakannya didasarkan semata-mata pada subyek pemberi perintah. Subyek itu adalah Allah SWT. Karena yang memerintah adalah Allah SWT, maka apapun obyek yang diperintahkan tidak menjadi masalah yang berarti baginya. Tiada pilihan baginya selain melaksanakannya, karenaAllah SWT yang memerintahkannya.

Dengan alur berfikir yang demikian,kita bisa memahami mengapa yang diseru dan diperintahkan menjalankan puasa adalah orang-orang yang beriman, bukan manusia pada umumnya. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al Baqarah [2]:183)

Memang puasa itu tidak enak, tapi bagi orang yang beriman hal itu tidak masalah, karena yang memerintahkan adalah Allah SWT. Memang shalat itu tidak enak, tapi bagi orang yang beriman hal ituadalah sesuatu yang tidak dapat ditawar karena yang memerintahkan Allah SWT. Memang zakat itu tidak enak, tapi karena Yang Memerintahkannya adalah Allah SWTmaka tiada pilihan bagi kita selain taat. Memang haji juga tidak enak, tapikarena Allah SWT memerintahkannya, maka kita tunduk menjalankannya.

Mengenal Allah SWT (ma’rifatullāh) sebagai Tuhan dan Pencipta serta Pemelihara alam semesta (rabbul ‘ālamīn) dengan demikian memang harus didahulukan sebelum mengenal berbagai perintah dan laranganNya. Jika kita lebih dulu mengenal perintah dan laranganNya,sebelum mengenal siapa yang memerintah dan melarang, maka selamanya kita akan disibukkan untuk merasionalisasikan berbagai perintah dan laranganNya. Ujung-ujungnya,kita tidak akan segera melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.

Sebaliknya, jika kita telah lebih dulu mengenalNya, maka dengan segera kita dapat mengeksekusi perintah dan laranganNya, tanpa harus lebih dulu mengetahui alasan mengapa kita diperintah dan dilarang. Selama yang memerintah dan melarang adalah Allah SWT, maka tidak ada pilihan selain patuh, tunduk dan ikhlas mengeksekusinya. Itulah konsekwensi,karena kita telah menerimaNya sebagai rabbul ‘ālamīn.

Meskipun terasa tidak enak, kita tetap berpuasa. Kita berpuasa bukan karena enak, tapi karena perintahNya.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar