Tantangan Menulis Antologi Kidung Santri

 

Kolase kegembiraan saat menjadi juara 1 cipta dan baca puisi.

[Jombang, Pak Guru NINE] – Kamis, 14 November 2024 sekitar pukul 14.00 WIB, Taliya Kayana menghubung saya melalui chat Instagram. Taliya baru saja kembali ke asrama Hidayatul Quran PPDU Rejoso Peterongan Jombang setelah beberapa hari pulang karena alasan kurang enak badan. Saya tahu bahwa waktu yang ia habiskan di pesantren sangat berarti, dan saya ingin memberi semangat serta mendorongnya untuk mengasah kreativitasnya lebih lanjut.

Dengan antusias, saya menantangnya untuk menulis puisi lagi. “Ayo lhang nulis puisi lagi. Nanti ayah bantu menghaluskannya. Paling lambat sebelum lulus SMPN 3 Peterongan, pean sudah punya 1 buku kumpulan puisi karya pean,” kata saya, menawarkan dukungan penuh untuk proses kreatifnya.

Taliya, dengan gaya komunikasinya yang simpel dan to the point, langsung merespon, “Ya. Oke. Nanti aku buat lagi.” Jawaban singkatnya itu menunjukkan bahwa meskipun ia tidak memberi penjelasan panjang, ada keyakinan dan semangat dalam dirinya untuk menerima tantangan ini.

Saya melanjutkan percakapan dengan memberinya gambaran lebih lanjut tentang apa yang bisa dia lakukan. “Buku itu nanti kita bagikan kepada Gus Awis, Neng Navis, dan para kyai PPDU. Pasti beliau-beliau akan sangat senang,” tambah saya. Bagi saya, bukan hanya soal menghasilkan karya, tetapi juga tentang berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang sudah banyak memberi inspirasi dalam perjalanan hidupnya.

Taliya pun merespon dengan singkat namun tegas, “Ya. Siap pak!” Meskipun tidak banyak kata, jawaban tersebut cukup menunjukkan bahwa ia sudah siap untuk menghadapi tantangan baru ini. Komunikasi kami berjalan lancar meski menggunakan bahasa yang sederhana dan minim kata, namun sangat berarti.

Saya kemudian memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai struktur buku yang akan ia buat. “Kalau buat buku kumpulan puisi, sebagainya disusun dari satu tema utama yang kemudian dijabarkan dalam banyak judul puisi,” jelas saya, memberikan pemahaman tentang pentingnya konsistensi tema dalam buku tersebut.

Sekali lagi, Taliya menjawab singkat, “Oke. Siap!” Kata-kata tersebut mungkin terkesan sederhana, namun bagi saya, itu adalah komitmen yang jelas bahwa ia akan menuntaskan apa yang telah kami mulai. Dalam percakapan singkat ini, saya merasakan adanya kedekatan yang khas antara kami sebagai ayah dan anak, di mana komunikasi yang efektif bukan hanya tentang panjangnya kata, tetapi juga tentang makna yang terkandung di dalamnya.

Sebagai tambahan motivasi, saya mengirimkan kepadanya draft awal buku kumpulan puisi yang sesuai dengan tema yang saya pikirkan untuknya. Buku ini saya beri judul Kidung Santri: Puisi dari Tanah Pesantren, yang mencerminkan kehidupan seorang santri yang penuh dengan makna dan renungan.

Draft buku ini saya susun dengan konsep yang sangat terstruktur, terdiri dari beberapa bab yang masing-masing memuat puisi-puisi yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang santri. Beberapa tema yang muncul dalam puisi-puisi tersebut antara lain adalah kehidupan sehari-hari di pesantren, pengorbanan, kebersamaan, dan juga perenungan spiritual. Saya berharap, dengan draft ini, Taliya dapat lebih terinspirasi untuk menulis puisi-puisi yang bisa menceritakan kisah nyata yang ia alami, yang penuh dengan pelajaran dan hikmah.

Setelah saya mengirimkan draft tersebut, saya berharap Taliya bisa mulai bermain dengan ide-ide puisi yang ada. “Ini draftnya! Ayo lhang mainkan!” saya menantangnya lagi. Saya percaya bahwa menulis bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi juga tentang proses eksplorasi diri dan pemahaman lebih dalam tentang kehidupan.

Saya juga menekankan, “Jika ini benar-benar bisa jadi buku kumpulan puisi, maka pasti akan dahsyat bagi RASTA dan HQ PPDU serta sampaen sendiri. Ini akan jadi modalmu untuk menggapai cita-cita.” Saya ingin Taliya menyadari bahwa menulis adalah alat yang kuat untuk mewujudkan impian dan menjadi lebih dekat dengan tujuan hidupnya. Dengan memiliki buku kumpulan puisi, ia tidak hanya akan menginspirasi dirinya sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, termasuk teman-temannya di pesantren.

Taliya merespon dengan sebuah kalimat yang menandakan ia mulai merencanakan langkah-langkahnya. “Selesai buku ne aku gak SMA DU. Ngunu yah main e,” katanya, yang secara harfiah bisa diartikan bahwa setelah menyelesaikan buku ini, ia siap untuk fokus pada masa depannya, bahkan mungkin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di luar lingkungan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan.

Saya pun memberikan jawaban yang bijak, “Wis ta lah. Kerjakan terbaik apa yang bisa pean kerjakan hari ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari.” Saya ingin dia memahami bahwa perjalanan hidup tidak selalu mulus, tetapi apa yang kita lakukan hari ini adalah apa yang akan membentuk masa depan kita. Kadang, kita tidak bisa merencanakan segalanya, namun yang penting adalah berusaha melakukan yang terbaik di setiap kesempatan.

Taliya akhirnya membalas dengan singkat, “Ya. Oke!” Jawaban terakhir ini menunjukkan bahwa ia siap untuk melanjutkan perjalanan ini, mungkin tidak dengan kata-kata yang panjang, tetapi dengan hati yang penuh komitmen untuk menjalani proses tersebut.

Dalam percakapan ini, saya belajar bahwa komunikasi yang baik dengan anak bukan selalu tentang panjangnya kata atau penjelasan yang bertele-tele. Kadang, komunikasi yang paling efektif adalah yang penuh dengan makna meskipun hanya dengan beberapa kata yang singkat. Percakapan ini juga mengajarkan saya tentang pentingnya memberikan tantangan yang positif dan bagaimana mendukung anak untuk mengeksplorasi potensi diri mereka, karena setiap langkah kecil yang mereka ambil dapat menjadi bagian dari perjalanan besar dalam mencapai cita-cita.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar