![]() |
Puisi ini terinspirasi dari banjir yang menyapa halaman asrama Hidayatul Quran pada Selasa, 10 Desember 2024. |
Genangan Hati di Halaman Jati
Langit merintih dalam kelabu,
Asrama sunyi, jendela terkatup rapat,
Di bawahnya, genangan air menunggu,
Menggenggam tanah, menyentuh jiwa yang gelisah.
Di balik riak kecil yang mengalir
pelan,
Ada pertanyaan yang mengapung tanpa jawaban,
Apakah air ini suci, ataukah najis?
Di tanah basah, santri terjebak dalam rasa ragu.
Dari got yang membisikkan kotoran
lama,
Cipratan air mengintai tiap langkah,
Namun langit meneteskan hujan,
Mencampur keruh, menentramkan sejenak.
Di sudut asrama, suara bisik mencuri
ruang,
Buku fiqih dibuka, namun tak memberi terang,
Wudhu menjadi dilema,
Sebelum azan bergema, hati bimbang.
Air yang menutupi halaman Jati,
Bukan hanya tanah yang basah,
Namun juga hati yang terbenam dalam ketidakpastian,
Antara kebersihan dan keyakinan yang rapuh.
Namun seorang senior muncul dengan
tenang,
Meneguhkan jiwa yang mulai goyah,
"Jangan panik, Allah Maha Tahu,"
Bisiknya lembut, menenangkan gelombang rasa.
Dan dalam keheningan yang menggetarkan
itu,
Para santri belajar,
Bahwa dalam setiap genangan,
Ada pelajaran tentang sabar dan ketekunan.
Genangan ini bukan hanya air,
Melainkan ujian hati yang terus diuji,
Mengajarkan bahwa dalam kesulitan,
Ilmu dan iman harus berjalan seiring.
Dengan langkah yakin, meski samar,
Mereka berwudhu, menundukkan hati,
Karena dalam ketidakpastian ini,
Allah adalah sumber ketenangan sejati.
Di sudut asrama HQ
Selasa, 10 Desember 2024
0 Komentar