Jejak Kearifan Lokal Kampung Adat Segunung

 

SMAN 2 Jombang menghadirkan pembicara tamu dari Kampung Adat Segunung.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Siang itu, 28 April 2025, Aula Ki Hajar Dewantara di SMA Negeri 2 Jombang terasa berbeda. Ada semangat baru yang mengalir bersama udara pagi, ketika deretan siswa kelas XI dengan wajah antusias memenuhi ruangan. Mereka tidak sekadar hadir untuk mendengarkan ceramah biasa, tetapi untuk mengikuti sebuah kegiatan penting dalam rangka Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), bertemakan "Kearifan Lokal" dengan subtema yang menggelitik rasa ingin tahu: Menelusuri Warisan Kebudayaan Masa Lampau.

Kegiatan dibuka dengan resmi oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum, Konia Muryani, S.Pd. yang menekankan betapa pentingnya generasi muda mengenali akar budayanya. Sebab, bagaimana kita bisa melangkah ke masa depan dengan mantap jika tidak tahu dari mana kita berasal?

Dalam acara ini, SMAN 2 Jombang menghadirkan tiga sosok istimewa dari Kampung Adat Dusun Segunung, yaitu 1. Supii, Ketua Kampung Adat Segunung, 2.Giri Winarko, Kepala Dusun Segunung dan 3. Suyanto, ketua komunitas UMKM Kampung Adat Segunung. Mereka bukan hanya sekadar narasumber, tetapi penjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Sesi pertama dibuka oleh Supi’i, yang membawakan materi tentang pelestarian mata air dan tradisi nasi gulung. Siapa sangka, di tengah gegap gempita modernisasi, ada sekelompok masyarakat yang tetap setia menjaga sumber kehidupan mereka? Mata air yang dirawat bukan hanya soal air bersih, tetapi juga simbol keselarasan manusia dengan alam. Tradisi nasi gulung pun bukan sekadar soal makanan, tetapi manifestasi rasa syukur, kebersamaan, dan rasa hormat terhadap bumi yang memberi.

Dilanjutkan oleh Giri Winarko, yang memaparkan tentang Grebeg Suro dan tradisi Jamasan Pusaka. Mendengarnya, kita seolah diajak menembus kabut waktu, menyaksikan bagaimana masyarakat Segunung menyucikan benda-benda pusaka dengan penuh rasa khidmat. Jamasan bukan hanya ritual membersihkan benda tua, melainkan penghormatan terhadap nilai-nilai, sejarah, dan spirit leluhur yang masih mengalir dalam denyut nadi kehidupan mereka.

Sesi terakhir, Suyanto menutup rangkaian paparan dengan membahas upacara Wiwit Kopi. Bagi warga Segunung, panen kopi bukan sekadar hasil bumi, melainkan berkah yang layak dirayakan dengan syukur. Tradisi ini mengajarkan kita untuk tidak lupa berterima kasih atas setiap hasil jerih payah, sesuatu yang mulai tergerus dalam budaya serba instan saat ini.

Menariknya, ketiga materi itu bernaung dalam nilai-nilai Tri Hita Karana: harmoni antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Sebuah prinsip yang sederhana namun terasa begitu relevan untuk dunia yang kini tengah mencari-cari keseimbangan.

Respon para siswa? Luar biasa! Ruang aula mendadak hidup dalam sesi tanya jawab. Banyak yang baru pertama kali mendengar tentang tradisi Jamasan Pusaka atau Wiwit Kopi, tapi ketertarikan mereka tumbuh cepat. Salah satu siswa, Fairuz Imaniar dari kelas XI-2, dengan mata berbinar mengatakan, "Saya baru tahu kalau ada tradisi jamasan pusaka di Segunung. Acaranya seru dan menambah wawasan kami tentang pentingnya menjaga budaya warisan leluhur."

Pujian serupa juga datang dari para fasilitator yang berharap acara seperti ini tidak berhenti sampai di sini. Sebab, mengenalkan budaya bukan sekadar soal pengetahuan, tapi soal membangun kebanggaan, rasa memiliki, dan tanggung jawab untuk melestarikan.

Mengapa hal seperti ini penting?

Karena identitas bangsa tidak hanya dibangun oleh gedung-gedung tinggi atau teknologi canggih, tetapi juga oleh nilai, tradisi, dan budaya yang mengakar. Saat generasi muda kehilangan ikatan dengan kearifan lokal, bangsa ini perlahan kehilangan jati dirinya. Kita boleh belajar tentang revolusi industri, kecerdasan buatan, bahkan mengejar mimpi ke Mars, tetapi kita tidak boleh lupa pada kearifan yang pernah membuat nenek moyang kita mampu hidup berdampingan harmonis dengan alam dan sesama.

Pelajaran dari Dusun Segunung ini sederhana namun mendalam: kita hidup bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk merawat apa yang akan kita wariskan pada masa depan. Mata air, pusaka, dan kebiasaan syukur—semua itu mengajarkan bahwa hidup yang berkelanjutan bukan hanya mimpi modern, melainkan kearifan lama yang telah terbukti.

Maka, mari kita bergerak. Kenali tradisi di sekitar kita, gali sejarah yang mungkin hampir terlupakan, dan bangun masa depan yang tetap berpijak pada akar budaya sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai warisan budayanya, bukan bangsa yang melupakannya demi mengejar ilusi modernitas.

SMA Negeri 2 Jombang, dengan kegiatan ini, telah menyalakan sebuah obor kecil di hati generasi muda. Tugas kita semua adalah menjaga nyalanya tetap terang—agar cahaya kearifan lokal terus menerangi jalan kita, hari ini dan esok.[pgn]

 

Baca juga!

Suara Generasi Muda tentang Kearifan Lokal

Bincang Kearifan Lokal


Posting Komentar

0 Komentar