![]() |
Pengajian bakda Shubuh di masjid Al Ikhlas Perumda Candimulyo Jombang. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Pagi itu, suasana
Masjid Al Ikhlas di Perumda Candimulyo, Jombang, masih diselimuti dingin
sisa-sisa malam. Usai Subuh, para jamaah tidak langsung pulang. Mereka duduk
melingkar, menanti kajian rutin yang kali ini diisi oleh Ustadz Rojiful Mamduh.
Seorang sahabat saya, teman seperjuangan di Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang. Ia dikenal sebagai anggota Komisi Infokom
yang tajam dalam berpikir dan lembut dalam bertutur. Tapi pagi itu, tutur
lembutnya menyimpan daya sentak yang menggerakkan hati.
Ustadz Rojiful membuka pengajian dengan
dua ayat dari Surah Al-Baqarah ayat 11 dan 12. Sepintas, ayat ini tampak
sederhana. Tapi maknanya dalam dan menyentuh inti kehidupan manusia modern.
"Dan bila dikatakan kepada mereka:
'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi', mereka menjawab: 'Sesungguhnya
kami orang-orang yang mengadakan perbaikan'." (QS Al-Baqarah: 11)
"Ingatlah, sesungguhnya mereka
itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." (QS
Al-Baqarah: 12)
Dua ayat ini membongkar tabir
kemunafikan yang halus—kerusakan yang dibungkus dengan topeng perbaikan. Ini
bukan sekadar kritik terhadap orang-orang munafik di zaman Rasulullah, tetapi
juga sindiran keras bagi kita hari ini: orang-orang yang merasa sudah baik,
merasa paling benar, dan alergi terhadap nasihat.
Betapa sering kita melihat—bahkan
mungkin tanpa sadar melakukannya—berbuat hal yang merusak lingkungan,
masyarakat, bahkan keluarga, tapi mengklaim itu sebagai bentuk kepedulian.
Merusak dengan dalih ‘membenahi sistem’, menebar hoaks dengan alasan
‘menyuarakan kebenaran’, atau mencela orang lain sembari merasa sedang
berdakwah.
Ustadz Rojiful mengingatkan bahwa
orang-orang seperti ini, yang tidak merasa bersalah atas perbuatannya, adalah
yang paling sulit dinasihati. “Dituturi malah nuturi,” begitu istilah Jawa yang
dipakainya. Mereka justru balik menggurui ketika dikritik.
Kajian pun berlanjut ke Surah Al-Kahfi
ayat 103-104 yang mempertegas bahaya dari merasa paling benar:
"Katakanlah: 'Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?'"
"Yaitu orang-orang yang sia-sia
perbuatannya di dunia ini, sementara mereka menyangka bahwa mereka telah
berbuat sebaik-baiknya."
Sekali lagi, ayat ini menampar
keangkuhan kita. Seseorang bisa saja rajin beribadah, aktif dalam organisasi,
rajin berdakwah di media sosial—tapi jika semua itu dilakukan dengan niat riya’,
merasa lebih baik dari orang lain, maka bisa jadi seluruh amalnya justru
sia-sia.
Lalu, bagaimana seharusnya orang
beriman bersikap?
Kita dianjurkan untuk terus berbuat
baik tanpa merasa lebih baik dari orang lain. Bahkan iblis pun—kata Ustadz
Rojiful—mengakui bahwa senjata manusia paling mematikan untuk mengalahkannya
adalah dzikir "laa
ilaaha
illallaah" dan istighfar. Tapi iblis tak
kehabisan akal. Ia meniupkan hawa nafsu agar manusia merasa telah mendapat
petunjuk, padahal sedang tersesat. Maka, perasaan “aku lebih baik” bisa jadi
jebakan paling licin dari setan.
Ustadz Rojiful kemudian berkisah
tentang perjumpaan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dengan seorang pemabuk. Ketika
ditanya tiga kali, “Apakah Allah Maha Kuasa?”, jawaban sang Syekh berubah-ubah nadanya.
Dari datar, bergetar, hingga penuh ketakutan. Karena ia menyadari, Allah bukan
hanya mampu menerima taubat pemabuk, tetapi juga mampu membalikkan hati seorang
wali menjadi pendosa. Dari kisah ini, kita diajak untuk tidak pernah merasa
aman dari dosa dan selalu menjaga hati.
Lalu, Ustadz Rojiful mengajak jamaah
merenungkan makna “Muslihun”—orang-orang yang sungguh-sungguh melakukan
perbaikan. Tidak hanya memperbaiki diri sendiri, tapi juga aktif memperbaiki
sekitarnya. Mereka inilah yang akan diselamatkan dari azab, seperti difirmankan
Allah dalam Surah Hud ayat 117:
"Dan Rabbmu tidak akan
membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya adalah orang-orang
yang mengadakan perbaikan."
Bayangkan kita sedang naik perahu. Satu
orang melubangi lantai kapal. Kalau tidak dicegah, air masuk dan seluruh
penumpang tenggelam. Begitulah peran muslihun. Ia tidak diam melihat
kemungkaran. Ia bertindak. Ia menyelamatkan, meski harus menghadapi cibiran.
Terakhir, Ustadz Rojiful menyampaikan
sabda Rasulullah yang menyebut tujuh amal jariyah yang pahalanya terus mengalir
meski pelakunya telah wafat: mengajarkan ilmu, mengalirkan air, membuat sumur,
menanam pohon, membangun masjid, membagikan mushaf, dan meninggalkan anak (baik
biologis maupun ideologis) yang mendoakan.
Pesan ini begitu relevan. Bahwa
perbaikan yang sejati harus melampaui batas usia. Kita perlu berinvestasi dalam
amal yang berkelanjutan. Menjadi muslihun bukan soal populer di dunia, tapi
soal bagaimana jejak amal kita tetap mengalir di akhirat.
Esai ini saya tulis bukan semata karena
saya sahabatnya Ustadz Rojiful Mamduh, tapi karena saya sendiri tersentak oleh nasihatnya.
Gaya bicaranya santai, tapi menukik ke relung hati. Ia tidak hanya menyampaikan
ayat, tapi menghadirkan cermin bagi kita untuk bercermin: sudahkah aku menjadi
muslihun?
Mari kita tidak sekadar menjadi orang
baik untuk diri sendiri. Mari menjadi orang yang memperbaiki, meski pelan,
meski hanya satu orang, tapi sungguh-sungguh. Karena dunia ini tidak butuh
lebih banyak orang sempurna. Dunia butuh lebih banyak orang yang terus mau
memperbaiki.[pgn]
Nine Adien Maulana, Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
0 Komentar