![]() |
Essai ini adalah ungkapan suara hari guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Hari Pendidikan
Nasional 2025 mengusung tema yang menyentuh nurani: “Partisipasi Semesta
Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Sebuah tema yang bukan hanya
ajakan, melainkan tuntutan moral untuk menghadirkan keadilan, kualitas, dan
inklusivitas dalam pendidikan. Dalam bayang-bayang jargon yang terus
dikumandangkan, terdapat sosok-sosok pengabdi senyap yang selama ini ikut
memanggul beban peradaban: Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah (PAIS). Mereka bukan sekadar pengajar
agama, melainkan penanam nilai, penjaga moral, dan penuntun jiwa. Namun
ironisnya, kontribusi mereka kerap tenggelam di tengah hiruk-pikuk kebijakan
yang belum sepenuhnya berpihak.
Guru PAIS adalah wajah dari pendidikan
karakter yang autentik. Di tengah derasnya arus informasi digital yang
seringkali menyesatkan, mereka hadir menegakkan nilai kejujuran, kasih sayang,
dan toleransi—nilai-nilai yang tidak diajarkan melalui algoritma, tetapi
melalui teladan. Di ruang kelas yang sederhana, mereka mengajarkan cara hidup
dalam harmoni, cara mencintai tanah air tanpa membenci yang berbeda, dan cara
menjadi manusia seutuhnya. Namun perjuangan mereka justru dihimpit oleh
struktur birokrasi yang saling tumpang tindih.
Secara struktural, guru PAIS berada
dalam posisi yang unik tapi membingungkan. Kementerian Agama membimbing secara
teknis, sementara Dinas Pendidikan di bawah Pemerintah Daerah mengurus hal-hal
administratif dan kepegawaian. Celah inilah yang membuat mereka sering kali
seperti "anak tiri" dalam sistem pendidikan nasional. Hak-hak dasar
mereka—seperti tunjangan hari raya, gaji ke-13, pelatihan, hingga sertifikasi guru—seringkali
tidak tersalurkan dengan adil. Bahkan untuk mengikuti pelatihan profesional
pun, guru PAIS kerap tersisih oleh aturan yang tidak sinkron. Dalam sistem yang
seharusnya menopang mereka, justru mereka terjebak dalam ketidakpastian.
“Bagaimana kami bisa mengajarkan
keadilan kalau kami sendiri tidak mendapatkan keadilan?” keluh seorang guru
PAIS senior yang telah puluhan tahun mengabdi. Sebuah pertanyaan sederhana yang
menghantam logika nurani. Ini bukan hanya tentang penghasilan, tapi tentang
rasa dihargai. Tentang bagaimana negara memperlakukan para pendidik yang setiap
hari menanam benih karakter di jiwa generasi muda.
Padahal, regulasi sudah tersedia.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, hingga Peraturan
Pemerintah tentang Pendidikan Keagamaan telah memberikan dasar hukum yang kuat.
Tetapi sayangnya, di lapangan, hukum itu seperti berjalan pincang.
Implementasinya tidak setia pada semangat keadilan yang dikandungnya. Banyak
guru PAIS merasa seolah berada di ruang abu-abu: ada, tapi tak dianggap;
penting, tapi tak diprioritaskan.
Jika kita sungguh ingin mewujudkan
pendidikan bermutu untuk semua, maka tidak boleh ada satu pun elemen yang
ditinggalkan. Peran guru PAIS harus ditempatkan pada posisi strategis, bukan
sekadar simbolis. Untuk itu, sudah waktunya kita menempuh langkah konkret. Ada
beberapa jalur solusi yang dapat digagas. Pertama, integrasi total di
bawah Kementerian Agama yang akan menyatukan semua urusan teknis dan
administratif agar tidak ada lagi tarik-menarik kewenangan yang menyiksa. Kedua,
menyerahkan sepenuhnya urusan guru PAIS ke Dinas Pendidikan, dengan catatan
kuatnya pengawasan nilai-nilai keagamaan dan karakter tetap dipertahankan. Dan ketiga,
membangun sinergi model hybrid antara Kemenag dan Kemendikbudristek melalui unit
kerja lintas kementerian yang fokus pada hak dan pengembangan guru PAIS.
Ketiga jalur ini tentu memiliki
konsekuensi masing-masing. Namun yang terpenting adalah adanya kesadaran bahwa
sistem yang ada sekarang tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Karena jika
tetap seperti ini, maka pendidikan karakter akan kehilangan roh spiritualnya,
dan guru PAIS akan terus menjadi korban dari ketidaksinkronan kebijakan yang
seharusnya mendukung mereka.
Menempatkan guru PAIS sebagai prioritas
dalam kebijakan pendidikan bukanlah tindakan memanjakan, melainkan bentuk
penghormatan kepada mereka yang menjadi penjaga moral bangsa. Di era
globalisasi yang makin meruncingkan perbedaan, pendidikan agama justru menjadi
pelindung integrasi sosial dan kebangsaan. Ketika anak-anak dibekali nilai
spiritual sejak dini, mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas,
tetapi juga bijaksana. Itulah cita-cita pendidikan nasional yang sesungguhnya.
Partisipasi semesta artinya setiap
elemen bangsa harus mengambil peran, bukan hanya menjadi pengamat. Pemerintah
pusat dan daerah, lembaga pendidikan, komunitas masyarakat, hingga media, harus
bersinergi untuk menempatkan guru PAIS pada posisi yang layak. Mulailah dengan
pengakuan, lanjutkan dengan kebijakan, dan wujudkan dalam tindakan. Jangan
sampai ironi ini terus menjadi luka kolektif dalam dunia pendidikan kita.
Mengabaikan kesejahteraan guru PAIS
sama artinya dengan mengabaikan masa depan moral bangsa. Maka, mari kita
bersama-sama menegaskan bahwa pendidikan bermutu tidak akan pernah tercapai
tanpa keadilan dan perhatian yang setara kepada semua guru, termasuk mereka
yang setiap hari menanamkan nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh zaman.
Kini saatnya bukan hanya merayakan Hari
Pendidikan Nasional dengan seremoni, tetapi juga menjadikannya momentum untuk
melakukan perubahan nyata. Karena pendidikan bermutu bukanlah impian kosong—ia
menuntut kerja nyata, kepekaan, dan keberanian untuk memperbaiki yang selama
ini terabaikan. Dan guru PAIS, mereka layak menjadi bagian dari masa depan itu.[pgn]
Nine Adien Maulana, Guru PAIS SMAN 2 Jombang - Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
0 Komentar