Mengawali Tahun Baru Hijriyah dengan Dzikir dan Doa

 

Selamat memasuki tahun baru Islam 1 Muharram 1447 H.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Hari ini, Kamis 26 Juni 2025, bertepatan dengan penghujung tahun 1446 Hijriyah, langit senja di atas Masjid Baitul Muslimin tampak lebih teduh dari biasanya. Angin berhembus perlahan menyapu halaman masjid, sementara jamaah mulai berdatangan untuk melaksanakan salat Maghrib berjamaah dan mengikuti kegiatan rutin Kamis malam Jumat, yakni dzikir tahlil bersama.

Tradisi ini telah menjadi bagian dari denyut spiritual komunitas kami. Setiap Kamis malam, selepas Maghrib, kami berkumpul dalam lingkaran dzikir yang sederhana namun sarat makna. Kami menyebut nama-nama Allah dengan hati yang berharap dan penuh haru. Namun sore ini berbeda. Ada suasana lebih syahdu yang tak biasa.

Sang imam yang biasanya memimpin dzikir, berhalangan hadir tepat waktu. Maka saya pun diminta menggantikannya. Ketika mengawali pembicaraan di depan para jamaah, saya membuka dengan salam dan pengantar yang berisi kabar penting, yakni malam ini adalah pergantian tahun Hijriyah. Kita tengah meninggalkan 1446 H dan menyambut datangnya 1 Muharram 1447 H. Sebuah momen yang sejatinya bukan hanya tentang tanggal, tetapi tentang perjalanan hidup dan perenungan spiritual.

Saya sampaikan bahwa dalam Islam tidak ada ibadah atau ritual khusus yang disyariatkan secara eksplisit dalam menyambut tahun baru Hijriyah. Tidak ada dalil kuat tentang keutamaan doa tertentu yang berasal langsung dari Rasulullah SAW. Namun, para ulama kita terdahulu tetap meneladankan kebiasaan berdoa dan berdzikir di momen ini sebagai bentuk introspeksi dan harapan. Maka, walaupun doa-doa itu bersifat ghairu ma’tsurat (tidak berasal dari Nabi), bukan berarti kita dilarang membacanya. Justru, momen ini dapat kita isi dengan harapan dan pertobatan yang tulus.

Dengan lantang namun lembut, saya pun memimpin pembacaan doa akhir tahun, sebuah untaian kalimat indah yang memuat permohonan ampun atas kesalahan dan harapan agar amal baik di tahun lalu diterima Allah SWT:

"Allahumma maa 'amilnaa min 'amalin fii haadzihis-sanati mimmaa nahaitanaa 'anhu... fa innaa nastaghfiruka faghfir lanaa..."

Artinya, kita mengakui segala dosa dan kelalaian yang mungkin belum sempat kita tobati. Kita mohon agar Allah menerima amal yang diridhai-Nya dan jangan biarkan kita putus asa dari rahmat-Nya. Kalimat ini menusuk kalbu, membuat banyak jamaah menunduk dalam diam, mengaminkan dengan sepenuh hati.

Setelah doa akhir tahun, kami pun melanjutkan dengan dzikir tahlil. Bacaan laa ilaaha illallah menggema di ruang masjid yang temaram, menggugah setiap hati untuk menyadari bahwa dalam dunia yang cepat berubah ini, hanya Allah-lah tempat berpulang yang sejati. Saya selanjutnya menyerahkan tongkat estafet pemimpin bacaan tahlil kepada ketua takmir masjid yang sudah hadir. Beliau melanjutkan dengan penuh khidmat hingga selesai.

Sebelumnya, saat setelah tahlil berakhir, saya kembali untuk memimpin doa awal tahun 1447 Hijriyah. Doa ini pun sarat makna. Bukan sekadar permintaan panjang umur dan rezeki, tapi sebuah ikrar untuk menjadi insan yang lebih baik:

"Allahumma anta al-abadiyyul qadiimul awwal... nas-aluka al-'ishmata fiihi minasy-syaithaan wa auliyaihi..."

Doa ini mengandung permohonan agar kita dijauhkan dari godaan setan dan nafsu yang mendorong kita melakukan keburukan. Kita memohon agar setiap langkah kita di tahun baru ini semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauh. Kita ingin tahun baru bukan sekadar angka, melainkan titik tolak menuju hidup yang lebih bermakna, lebih taat, dan lebih peduli kepada sesama.

Melihat jamaah yang mengaminkan dengan penuh kekhusyukan, saya menyadari bahwa walaupun doa-doa itu tidak wajib, keberadaannya telah menjadi jembatan spiritual yang menyentuh hati. Momen-momen seperti ini menjadi oase di tengah hiruk-pikuk dunia yang kian bising. Ia mengingatkan kita bahwa waktu terus berjalan, umur terus berkurang, dan kesempatan untuk memperbaiki diri tidak boleh disia-siakan.

Tahun baru Hijriyah bukanlah pesta. Ia adalah perenungan. Ia mengajak kita untuk berkaca; sudah sejauh mana kita hidup dalam ketaatan? Sudah seberapa banyak kita berbagi manfaat untuk sesama? Dan sudah seberapa dalam kita menyelami makna hidup sebagai hamba Allah?

Dalam suasana akhir tahun yang khidmat ini, saya teringat pesan bijak para ulama, bahwa yang paling rugi adalah mereka yang hari ini tidak lebih baik dari kemarin. Maka, mari kita isi awal tahun ini dengan tekad untuk lebih rajin beribadah, lebih jujur dalam bekerja, lebih sabar dalam ujian, dan lebih lembut dalam menyikapi perbedaan. Mari jadikan 1 Muharram ini sebagai momentum untuk memperbarui niat dan memperkuat tekad menuju hidup yang lebih bermartabat.

Sebagaimana waktu tidak pernah kembali, semoga setiap detik di tahun baru ini membawa kita lebih dekat kepada cahaya petunjuk-Nya. Dan semoga Allah menerima doa-doa kita, meski hanya dibisikkan dalam diam. Karena Dia Maha Mendengar, bahkan ketika kita belum sempat berkata.

Selamat Tahun Baru 1447 Hijriyah. Semoga setiap hari yang datang membawa cahaya, harapan, dan ampunan. Allahumma aamiin. [pgn]

Posting Komentar

0 Komentar