Tiga Langkah Ikhtiar Menjaga Anak-Anak Kita

 

Meski tantangan zaman begitu berat, meski pengaruh buruk menyebar begitu cepat, kita tidak boleh kehilangan harapan. Masih ada jalan, masih ada peluang untuk menjadi bagian dari golongan yang dikecualikan. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu siang itu, 18 Juni 2025, di Aula PLHUT Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jombang, saya kembali diberi amanah untuk membersamai Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang, Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi, Lc., M.A.—sosok yang akrab disapa Gus Awis—dalam sebuah acara penting yang sarat makna. Tugas saya sederhana, yakni mendokumentasikan, merekam, dan menyebarluaskan kebaikan yang ada dalam kegiatan itu. Namun seperti biasanya, kata-kata Gus Awis tak pernah sederhana bagi saya. Ada semacam tamparan lembut, teguran halus, yang mengajak untuk kembali melihat ke dalam diri sendiri—lebih jujur, lebih sadar, lebih peduli.

Hari itu, kami menjadi saksi penandatanganan nota kesepahaman atau MoU antara DP MUI Kabupaten Jombang dengan tiga institusi pendidikan strategis: Kantor Kementerian Agama, Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Jombang, serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang. Tiga institusi ini menyatukan langkah bersama dalam satu tujuan luhur: meneguhkan akhlak guru dan siswa di sekolah maupun madrasah. MoU ini menjadi penanda bahwa perjuangan memperbaiki generasi tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Ia harus kolaboratif, sinergis, dan penuh kesadaran kolektif.

Nasihat yang Menyentuh Nurani

Di antara sambutan-sambutan resmi, ada satu yang terasa lebih dari sekadar protokoler, yakni sambutan Gus Awis yang selalu berbasis pada ayat-ayat al-Quran. Kata-kata beliau memang ditujukan kepada seluruh hadirin, namun entah mengapa, rasanya seperti ditujukan langsung kepada saya. Mungkin karena saya adalah seorang ayah dari tiga anak yang masih dalam masa pencarian jati diri. Mungkin karena saya adalah guru yang sedang berjuang mendampingi murid-murid tumbuh dalam lingkungan yang serba cepat, terbuka, dan penuh tantangan.

Dalam sambutannya, Gus Awis mengutip QS. Maryam ayat 58–60. Ayat-ayat itu menggambarkan dua kondisi generasi: generasi yang diberi nikmat, tunduk kepada Allah, dan sujud dalam tangis; serta generasi yang datang setelahnya, yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Akibatnya, mereka tersesat. Namun ada kabar baik dalam ayat 60: “Kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh, mereka akan masuk surga dan tidak dizalimi sedikit pun.”

Di sinilah titik terang itu muncul. Meski tantangan zaman begitu berat, meski pengaruh buruk menyebar begitu cepat, kita tidak boleh kehilangan harapan. Masih ada jalan, masih ada peluang untuk menjadi bagian dari golongan yang dikecualikan. Kuncinya ada pada kesadaran, niat baik, dan aksi nyata—walau dimulai dari langkah kecil.

Langkah-Langkah Kecil yang Bermakna Besar

Gus Awis lalu memaparkan tiga langkah konkret yang bisa kita lakukan untuk menjaga dan membimbing anak-anak kita agar tetap berada di jalan kebaikan:

Pertama, memperbanyak amal saleh dalam diri sendiri.

Orang tua yang saleh akan memberi pengaruh langsung kepada anak-anaknya. Kesalehan bukan semata-mata soal ibadah individu, tapi juga tentang bagaimana kita menjalani hidup sehari-hari: berkata jujur, bersikap adil, menghargai orang lain, dan tentu saja menjaga hubungan yang baik dengan Allah. QS. Al-Ahqaf ayat 15 mengajarkan kita agar berdoa dan berusaha agar amal kita diridai oleh Allah dan agar anak-anak kita juga tumbuh menjadi pribadi saleh.

Kesalehan itu bisa diajarkan lewat cerita—cerita tentang kakek nenek mereka yang sederhana tapi jujur, tentang ayah ibu mereka yang bekerja keras namun tetap menomorsatukan salat, tentang guru-guru yang sabar dan penuh kasih. Warisan keteladanan jauh lebih kuat daripada sekadar perintah.

Kedua, mengawasi makanan yang dikonsumsi anak-anak.

Makanan bukan hanya sumber energi, tetapi juga pembentuk karakter. QS. Al-Mukminun ayat 51 menyebutkan, “Makanlah dari yang baik-baik dan beramal salehlah.” Makanan yang halal dan thayyib akan memudahkan seseorang untuk beramal baik, sebaliknya makanan haram bisa menggelapkan hati dan mendorong pada keburukan. Bahkan dalam kisah Nabi Adam di QS. Thaha ayat 121, kesalahan dimulai dari makanan yang terlarang.

Maka, orang tua dan sekolah perlu lebih peduli pada apa yang dikonsumsi anak-anak: bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga ‘makanan’ rohani—apa yang mereka baca, dengar, dan tonton setiap hari.

Ketiga, membiasakan berkata jujur.

Kejujuran bukan hanya nilai moral, tapi juga kunci keberkahan hidup. QS. Al-Ahzab ayat 70–71 dengan tegas memerintahkan kita untuk berkata yang benar. Kejujuran akan memperbaiki amal dan menghapus dosa. Maka, biasakan anak-anak kita untuk berkata jujur sejak dini—mulai dari hal-hal sederhana: mengakui kesalahan, tidak berdusta, tidak membesar-besarkan cerita, dan berani mengatakan “tidak tahu” saat memang tidak tahu.

Kita juga perlu memberi contoh dalam hal ini. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tuanya suka memanipulasi, berdusta kecil, atau mengelak tanggung jawab, jangan heran bila anak-anak mengikuti.

Akhirnya, setelah acara seremonial itu selesai, saya pun pulang dengan hati yang hangat. Bukan karena AC aula atau suguhan makanan, tapi karena merasa disapa oleh nasihat yang dalam. Di tengah keterbatasan, kita semua masih bisa berperan dalam menjaga generasi. Tak harus dengan langkah besar. Bahkan melalui nasihat di upacara, cerita singkat di kelas, atau percakapan hangat sebelum tidur, kita bisa menyentuh hati anak-anak kita.

Mari kita jaga mereka. Karena mereka bukan hanya pewaris masa depan, tapi juga cermin siapa kita hari ini. Karena generasi tidak hanya tumbuh oleh usia, tetapi juga dibentuk oleh cinta, teladan, dan doa. [pgn]

Posting Komentar

0 Komentar