Doakan Aku Bersyukur, Bukan Bersabar

 

Sabar memang mulia. Tapi syukur jauh lebih tinggi. Sabar itu bertahan. Syukur itu berkembang.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Dalam hidup, kita sering kali merasa kuat hanya karena mampu menahan luka. Kita bangga menyebut diri sabar, meski batin kerap mengaduh. Namun, satu pertemuan dan satu kalimat dari seorang guru bisa membalik cara pandang itu sepenuhnya. Itulah yang saya alami saat membersamai KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, atau yang akrab kami sapa Gus Awis.

Saya dan Gus Awis sama-sama alumni MAPK/MAKN Jember, atau yang dikenal dengan sebutan “Santri Kaliwates.” Beliau angkatan 8, saya angkatan 9. Perbedaan satu angkatan tak mengurangi keakraban kami. Justru karena persamaan almamater itulah, hubungan kami menjadi lekat. Apalagi, putri saya juga mondok di ribath Hidayatul Quran PPDU Rejoso, Peterongan, pondok pesantren yang diasuh beliau bersama istri. Maka, tidak berlebihan jika saya menempatkan diri sebagai santri, dan beliau adalah kiai saya. Apalagi beliau memang seorang kyai yang layak diteladani.

Sebagai santri, saya merasa tak layak untuk menolak ketika Gus Awis meminta saya membantu beliau dalam kepengurusan harian Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jombang. Padahal, secara jujur saya menganggap diri ini terlalu kecil dan tak pantas berada di struktur organisasi semulia itu. Andaikan bukan karena diminta langsung oleh beliau, barangkali saya tak akan pernah membayangkan menjadi bagian dari MUI. Tapi, begitulah cara Allah bekerja—melalui guru-guru kehidupan yang menyentuh hati dengan ketulusan.

Saya pun sering sowan ke ndalem beliau. Obrolan kami kadang serius, kadang ringan, tapi hampir selalu menyentuh nurani. Di situ saya biasa curhat. Tentang pekerjaan, peran publik, keluarga, beban mental—apa saja. Awalnya saya mengira itu adalah ikhtiar saya untuk mencari solusi. Tapi belakangan, saya menyadari bahwa sesungguhnya saya hanya sedang menampakkan luka, bukan menyembuhkannya.

Pencerahan itu datang dalam acara Rapat Koordinasi DP MUI Kabupaten Jombang dengan DP MUI Kecamatan se-Kawedanan Mojoagung, Sabtu 24 Mei 2025, di Masjid Jamik NU Trawasan, Sumobito. Gus Awis membuka sesi dengan pidato sambutan yang menusuk sanubari. Walau disampaikan di forum umum, saya merasa seolah beliau sedang berbicara langsung kepada saya. Mungkin karena saya termasuk yang paling sering menumpahkan keluh.

Beliau menyampaikan tafsir mendalam dari ayat ke-10 surat Al-Mujadilah:

"Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu hanyalah dari setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati..." (QS. Al-Mujadilah: 10)

Gus Awis menggarisbawahi bahwa salah satu tipu daya setan adalah menumbuhkan kesedihan di hati orang-orang beriman. Kesedihan yang terus dipelihara, akan mengikis syukur. Dan ketika syukur lenyap, manusia kehilangan cahaya untuk melihat nikmat dalam hidupnya.

Lalu Gus Awis mengucapkan kalimat sederhana yang mengguncang pemahaman saya:

“Kalau bicara dengan orang lain, jangan minta didoakan agar sabar, tapi mintalah didoakan agar bersyukur.”

Saya terdiam. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Bukankah saya ini yang selama ini selalu berkata, “Doakan aku sabar ya…” setiap kali merasa tertekan? Ternyata, di balik permintaan itu ada keinginan tersembunyi untuk dikasihani. Saya ingin dianggap menderita. Saya ingin empati, bukan solusi.

Gus Awis mengajarkan satu hal penting: bersyukur itu bukan soal memiliki banyak nikmat, tapi soal mampu melihat nikmat dalam segala kondisi. Bahkan dalam kesempitan, dalam tekanan, dalam luka. Orang yang minta sabar seolah-olah sedang berkata, “Tolong doakan aku agar kuat menahan bencana.” Padahal, siapa yang ingin terus-terusan diuji? Mengapa tidak meminta agar kita mampu bersyukur, agar ujian itu bisa diubah menjadi nikmat dan hikmah?

Dalam tasawuf, sabar memang mulia. Tapi syukur jauh lebih tinggi. Sabar itu bertahan. Syukur itu berkembang. Sabar itu menerima. Syukur itu menikmati. Dan orang yang bersyukur akan senantiasa merasa cukup, meski mungkin secara duniawi ia masih kekurangan.

Sejak itu, saya bertekad berusaha mengubah cara saya menjalani hidup. Tidak lagi membiasakan diri untuk tampil sebagai “korban keadaan.” Tidak lagi menjadikan kesedihan sebagai alat untuk menarik perhatian. Saya ingin menjadi orang yang menebar semangat, bukan beban. Saya ingin menjadi pribadi yang menampakkan kebahagiaan agar bisa menularkan rasa syukur, bukan hanya menampakkan duka agar dikasihani.

Kita ini, kata Gus Awis, terlalu pelit menampakkan bahagia. Takut dianggap pamer. Padahal, kebahagiaan yang dibagikan adalah sedekah batin. Guyon, senyum, tawa ringan—semua itu adalah bagian dari jihad melawan setan yang hendak menanam kesedihan di hati kita.

Kini, saya sadar bahwa hubungan saya dengan Gus Awis bukan hanya karena kami sesama alumni Kaliwates. Tapi karena beliau adalah cahaya dalam kelamnya kegundahan saya. Beliau adalah guru yang mengajari saya untuk memilih senyum daripada keluhan, memilih syukur daripada sabar, dan memilih ringan hati daripada berat beban.

Maka, sahabat-sahabatku, mari kita mulai mengubah cara kita berdoa dan meminta. Jika selama ini kita berkata, “Doakan aku agar sabar ya,” maka mulai hari ini, katakanlah:

“Doakan aku agar selalu bersyukur. Karena nikmatku banyak, dan aku tak ingin buta oleh luka.”

Semoga kita semua diberi kemampuan untuk tidak hanya tahan banting dalam hidup, tetapi juga tahan syukur. Karena di sanalah letak kekuatan sejati: hati yang mampu berkata, “Terima kasih, ya Allah… atas segalanya.” Aamiin.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar