Antara Pengibaran dan Pengerekan Bendera

 

Dalam pengamatan saya, kibaran bendera itu terjadi karena proses alami: angin bertiup, kain bergerak mengombak, muncullah pemandangan bendera yang berkibar. Tanpa mengerek bendera, tak akan ada kibaran.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Setiap kali mengikuti upacara bendera, ada satu hal yang sering menggelitik pikiran saya. Mengapa petugas yang menaikkan bendera merah putih selalu disebut sebagai pengibar bendera? Bukankah kalau kita berpikir secara mekanis, yang mereka lakukan sebenarnya adalah mengerek bendera ke puncak tiang?

Dalam pengamatan saya, kibaran bendera itu terjadi karena proses alami: angin bertiup, kain bergerak mengombak, muncullah pemandangan bendera yang berkibar. Itu efek visual yang indah, simbolis, dan membangkitkan semangat. Tetapi agar bendera bisa berkibar di atas sana, ada pekerjaan pokok yang harus dilakukan lebih dulu: menarik tali katrol, menggulungnya ke atas, memastikan bendera sampai di ujung tiang. Itulah proses pengerekan. Tanpa mengerek bendera, tak akan ada kibaran.

Namun, bahasa kita memilih kata “pengibaran” untuk menyebut seluruh prosesi itu. Seakan yang penting adalah kibaran visualnya, bukan kerja otot dan keterampilan menarik tali. Awalnya saya mengira ini karena kata “kerek” berasal dari bahasa Jawa sehingga tidak umum digunakan secara nasional. Tapi dugaan itu terpatahkan ketika saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia daring.

Di sana tertulis jelas:

  • kerek adalah roda kecil bersumbu yang bertali untuk menaikkan atau menurunkan barang, termasuk menaikkan bendera.
  • kibar adalah gerakan mengombak karena tertiup angin, serta turunan makna-makna lain yang lebih simbolis.

Artinya, kedua kata ini sama-sama bahasa Indonesia baku. Namun faktanya, yang populer digunakan dalam konteks upacara adalah “pengibaran bendera”.

Di sini saya mulai melihat pola menarik. Kita lebih memilih istilah yang menonjolkan efek visual, yang memikat hati, yang menyentuh rasa kebanggaan. Kata “pengibaran” menghadirkan citra bendera merah putih berkibar gagah di puncak tiang, seolah memberi salam pada seluruh hadirin. Kata ini menyentuh rasa nasionalisme lebih cepat dibanding “pengerekan” yang terkesan teknis, dingin, dan mekanis.

Fenomena ini ternyata tak hanya ada di upacara bendera. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali sesuatu yang menjadi inti dan paling menentukan justru tidak disebut atau bahkan luput dari sorotan. Yang disebut adalah bagian yang tampak, yang memukau mata dan hati.

Ambil contoh minum kopi atau teh. Banyak orang yang menikmati secangkir kopi manis atau teh manis. Jika diminum tanpa gula, rasanya bisa terlalu pahit atau sepat bagi sebagian orang. Tetapi dalam percakapan sehari-hari, kita jarang berkata, “Saya mau minum kopi manis dengan gula.” Cukup “mau kopi” atau “mau teh.” Unsur gula yang menjadi penentu rasa nikmatnya justru jarang disebutkan, padahal ia adalah “pengerek” yang membuat rasa itu “berkibar” di lidah.

Pola yang sama bisa kita temui di berbagai bidang kehidupan. Dalam pendidikan, guru-guru yang tekun mengajar setiap hari di kelas sering luput dari pemberitaan. Yang menjadi sorotan adalah momen-momen gemilang siswa saat meraih juara lomba. Dalam dunia kerja, teknisi yang memastikan semua mesin berfungsi jarang disebut dalam pidato manajemen; yang dielu-elukan adalah tim pemasaran atau eksekutif yang menandatangani kontrak besar.

Fenomena ini tidak selalu buruk. Simbol memang penting. Dalam komunikasi publik, simbol membantu menyatukan makna dan membangkitkan emosi kolektif. Kata “pengibaran” bendera membawa aura semangat yang lebih kuat daripada “pengerekan” bendera. Namun, di balik simbol itu, kita perlu melatih diri untuk juga melihat “pengerek”-nya — kerja nyata yang menjadi fondasi bagi simbol itu bisa hidup.

Masalahnya, jika kita terlalu lama terpaku pada simbol dan mengabaikan proses dasarnya, kita bisa terjebak pada pola pikir yang dangkal. Kita mulai menilai sesuatu hanya dari apa yang terlihat, bukan dari apa yang menopang di balik layar. Dalam jangka panjang, ini bisa membuat kita kehilangan apresiasi terhadap kerja keras yang tidak tampak, dan menganggapnya biasa saja.

Solusinya adalah membangun keseimbangan antara menghargai simbol dan mengakui proses. Dalam konteks upacara bendera, kita tetap bisa menggunakan istilah “pengibaran” karena ia sudah mengakar dan memiliki kekuatan emosional. Namun, di ruang-ruang pendidikan atau pembelajaran, kita bisa mulai mengenalkan bahwa proses itu sebenarnya adalah pengerekan bendera. Bahkan, bisa jadi ini dijadikan bahan refleksi: bahwa untuk sebuah kibaran yang gagah di langit, ada tarikan tali yang tekun dari tangan-tangan di bawah.

Dalam skala yang lebih luas, di kehidupan bermasyarakat, kita bisa mulai mengubah kebiasaan hanya memuji hasil akhir menjadi juga mengapresiasi proses. Pencapaian akademik seorang siswa misalnya, bisa disertai penghargaan kepada guru yang membimbing, orang tua yang mendukung, atau bahkan staf sekolah yang menjaga lingkungan belajar tetap kondusif.

Bahasa kita memang lahir dari kesepakatan, baik tertulis maupun tak tertulis. Kesepakatan ini bisa berubah seiring waktu jika masyarakat menginginkannya. Tapi lebih dari sekadar mengubah istilah, yang lebih penting adalah mengubah cara berpikir: jangan hanya terpukau oleh “kibaran”, tapi juga sadari “pengerekan”-nya. Dengan begitu, kita akan lebih adil dalam menghargai kontribusi semua pihak, termasuk mereka yang bekerja tanpa sorotan.

Akhirnya, setiap kali saya mengikuti upacara bendera dan melihat Sang Merah Putih perlahan naik ke puncak tiang, saya tidak lagi hanya merasakan getaran semangat dari kibaran benderanya. Saya juga mengingat tangan-tangan yang menarik tali dengan ritme tepat, mengatur tarikan agar bendera mengembang sempurna, dan memastikan ia berhenti tepat di puncak saat lagu selesai. Di sanalah letak pelajaran berharga: bahwa setiap kejayaan yang berkibar di depan mata, selalu ada proses pengerekan yang penuh dedikasi di belakangnya.

Dan mungkin, jika kita mau, kita bisa mulai membawa cara pandang ini ke semua aspek hidup. Karena sejatinya, setiap keberhasilan yang tampak di permukaan selalu disangga oleh kerja keras yang tak selalu terlihat.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

 

Baca juga!

Menitipkan Harapan kepada Dewan Pendidikan Jombang

Posting Komentar

0 Komentar