![]() |
Penolakan terhadap PKI bukan semata politik, melainkan juga persoalan nilai. Mayoritas rakyat Indonesia berpegang pada agama, sementara komunisme menolak agama sebagai pedoman hidup. |
[Jombang, Pak Guru NINE] – Hari ini, Selasa
30 September 2025, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala. Bendera Merah
Putih berkibar setengah tiang sebagai pengingat atas peristiwa kelam enam puluh
tahun silam: penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi TNI AD pada malam
30 September 1965. Tragedi ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan luka
kolektif yang membekas dalam ingatan bangsa.
Saya masih ingat masa kecil, ketika
tiap malam 30 September layar televisi nasional menayangkan film Penumpasan
Pengkhianatan G30S/PKI. Kadang film semacam itu juga hadir lewat layar tancap di pelosok desa.
Gambar buram dan suara serak tak mengurangi kesan mencekamnya. Kini, film itu
tak lagi rutin ditayangkan. Generasi Z bahkan banyak yang tak pernah
menyaksikannya langsung, hanya menemukannya di media sosial. Maka, wajar jika
cara pandang terhadap peristiwa itu berubah. Namun, perubahan perspektif tidak
berarti kita boleh kehilangan daya ingat sejarah.
Akar Ideologi
Untuk memahami luka ini, kita perlu
menengok ideologi yang melatarbelakanginya. Komunisme lahir dari gagasan Karl
Marx dan Friedrich Engels, yang menilai kapitalisme penuh ketidakadilan. Marx
memandang agama sebagai “candu rakyat” yang membuat orang pasrah terhadap
penindasan. Komunisme mendorong masyarakat tanpa kelas, menghapus kepemilikan
pribadi, dan menyerahkan alat produksi kepada kolektif.
Di Indonesia, ideologi ini masuk awal
abad ke-20 melalui kaum buruh Belanda dan intelektual pergerakan. Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging (ISDV) yang didirikan Henk Sneevliet kemudian
berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920. PKI bahkan tercatat sebagai partai komunis
pertama di Asia, sebelum Tiongkok mendirikan partainya sendiri.
PKI memiliki dua wajah. Di satu sisi,
ia menggerakkan kesadaran politik buruh dan tani untuk melawan kolonialisme.
Namun di sisi lain, langkah politiknya sering memicu perpecahan. Pemberontakan
1926–1927 berakhir dengan penangkapan besar-besaran oleh Belanda, melemahkan
pergerakan nasional. Pemberontakan Madiun 1948 di bawah Musso semakin menambah
luka: banyak ulama dan tokoh Islam menjadi korban penculikan dan pembunuhan.
Puncaknya, pada malam 30 September
1965, Gerakan 30 September yang dituding terkait PKI menculik tujuh perwira
tinggi TNI AD. Publik terkejut dan marah. Gelombang penolakan terhadap PKI
membesar, hingga partai itu dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Sejak saat
itu, komunisme resmi dicap sebagai ancaman bagi keutuhan bangsa.
Mengapa Komunisme Ditolak?
Penolakan terhadap PKI bukan semata
politik, melainkan juga persoalan nilai. Mayoritas rakyat Indonesia berpegang
pada agama, sementara komunisme menolak agama sebagai pedoman hidup. Umat Islam
sejak awal menolak keras ateisme yang melekat pada komunisme. Konflik itu
tampak sejak Sarekat Islam pecah menjadi SI merah (pro-komunis) dan SI putih
(Islam moderat) pada 1921. Ketegangan terus berlanjut pasca kemerdekaan, makin
memanas ketika PKI melancarkan propaganda anti-agama dan memicu konflik agraria
di desa.
Komunisme juga dianggap bertentangan
dengan Pancasila. Jika komunisme meniadakan kepemilikan pribadi, Pancasila
justru menyeimbangkan kepentingan individu, masyarakat, dan negara. Jika
komunisme menolak agama, Pancasila menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah
perbedaan mendasar yang membuat komunisme sulit diterima di bumi Indonesia.
Tragedi 1965 bukan hanya mengguncang
elite politik, tetapi juga rakyat biasa. Gelombang kekerasan massal meluas dari
Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu orang,
dituduh simpatisan PKI. Banyak yang dieksekusi tanpa pengadilan, ratusan ribu
lainnya dipenjara bertahun-tahun, sebagian hingga puluhan tahun. Trauma itu
diwariskan kepada anak-cucu mereka yang tumbuh dengan stigma sebagai “keturunan
PKI”.
Bagi banyak keluarga, sejarah ini bukan
sekadar catatan dalam buku pelajaran, melainkan luka pribadi yang membekas
lintas generasi. Maka, pertanyaannya: apa yang harus kita lakukan hari ini?
Apakah cukup sekadar mengutuk PKI dan mengulang kebencian? Atau justru membaca
sejarah dengan jernih agar tidak jatuh ke lubang yang sama?
Pelajaran yang Perlu Dijaga
Menurut saya, ada beberapa hal penting
untuk menjawab pertanyaan itu:
- Memahami sejarah
secara utuh
Kita tidak boleh membaca sejarah dari
satu sisi narasi saja. Perlu ada keberanian melihat dari sudut pandang militer,
agama, korban, hingga politik internasional. Dengan begitu, penilaian kita
lebih adil.
- Menjaga
Pancasila sebagai jalan tengah
Pancasila adalah sintesis yang
menyeimbangkan kebebasan individu, nilai agama, dan keadilan sosial. Ia menjadi
penegas jati diri Indonesia, berbeda dari kapitalisme Barat maupun komunisme
Timur.
- Menguatkan
pendidikan karakter
Generasi muda harus memahami bahwa
ideologi yang menolak Tuhan dan merusak persatuan bangsa tidak bisa hidup di
negeri ini. Pendidikan tentang itu sebaiknya tidak sekadar melalui film horor
politik, tetapi lewat diskusi sehat, bacaan kritis, dan keteladanan.
- Menyelesaikan
luka sosial
Banyak keluarga korban 1965 masih
memendam trauma. Negara perlu memberi ruang dialog, bukan untuk menghidupkan
PKI, melainkan menyembuhkan luka dan menghapus stigma turun-temurun.
Kini, enam puluh tahun sudah tragedi G30S
berlalu. Generasi berganti, narasi pun bisa berganti. Namun satu hal yang tak
boleh hilang adalah kesadaran bahwa ideologi komunis pernah menorehkan luka
dalam sejarah bangsa. Menolak komunisme bukan hanya urusan politik, tetapi soal
menjaga jati diri bangsa yang berlandaskan Pancasila dan nilai-nilai agama.
Mengingat sejarah bukan berarti terus
menatap ke belakang. Justru, ia menjadi pengingat agar kita tak tergelincir ke
dalam konflik ideologi yang memecah belah. Bangsa ini hanya akan berdiri kokoh
jika kita setia pada Pancasila, setia pada persatuan, dan setia pada
kemanusiaan.[pgn]
Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute-GPAI SMAN 2 Jombang
0 Komentar