![]() |
Cerita ini hanyalah angan-angan seorang guru yang disusun untuk menyampaikan pesan edukasi kepada murid-muridnya. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - SMAN
Angan-angan berdiri teduh di tengah kota santri. Dikelilingi alunan shalawat
dan langkah-langkah khidmat para santri, sekolah itu menjadi destinasi
dambaan—bukan hanya bagi pencari ilmu, tapi juga mereka yang ingin disanjung
dunia.
Hari itu, langit menggantung
mendung yang seolah malas bergerak. Melati berdiri di koridor kelas, menatap
papan pengumuman dengan hati yang dipenuhi tanda tanya. Di barisan nama-nama
siswa baru, ia menemukan satu nama yang membuat napasnya tercekat—Mawar.
Mawar, si anak senyap dari SMPN
1 Awan-awan, teman kecil yang dulu hanya tersenyum malu-malu ketika diajak
bicara. Ia bukan bintang kelas, bukan juga juara olimpiade. Tapi kini, namanya
bersinar di daftar siswa jalur prestasi akademik. Tiga gelar bertengger megah
di bawahnya: Juara 1 Penelitian ITB, Juara 1 Debat Djarum Foundation, Juara 3
Olimpiade Sains Asia Tenggara.
Melati menggigit bibirnya. Ia
mengenal Mawar terlalu baik untuk menelan ini begitu saja.
---
Tahun lalu, di sebuah sore yang
hening, Mawar datang padanya dengan mata berbinar-binar dan pertanyaan penuh
harap.
"Mel, apa aku punya
peluang masuk SMAN Angan-angan?"
Melati menahan napas, memilih
kata-kata sebijak mungkin. “Kalau punya sertifikat lomba tingkat nasional atau
internasional, masih mungkin…”
Mawar mengangguk pelan. Namun
dari sorot matanya, Melati tahu—tidak ada sertifikat itu di lemari Mawar.
---
Bulan berganti musim. SMAN
Angan-angan memulai tahun pelajaran baru. Mawar nyaris tak pernah
terlihat. Kabar menyebar: ia mengidap tumor otak stadium tiga, fase ketiga.
Sakit yang mencengkeram hingga ke sumsum kesadaran.
Melati, bersama teman-temannya,
ingin menjenguk. Tapi Bu Nila—ibunya Mawar—melarang.
"Dia tidak suka
dikasihani," katanya dengan suara dingin, seolah empati adalah sebuah
gangguan.
Melati tak habis pikir. Di saat
yang sama, Bu Nila mengirimkan kabar bahwa Mawar menjuarai lomba penelitian
internasional di Singapura. Foto-foto pun dibagikan: selempang emas, trofi
tinggi menjulang, senyum Mawar yang terekam dalam bingkai sempurna.
Guru-guru mulai berbisik.
“Kapan dia ikut lomba?” “Bukannya dia sakit?” “Kok bisa, ya?”
---
Semester genap datang. Kabar
baru kembali menampar kewarasan akal.
Mawar menjuarai kompetisi ilmiah di China.
Kepala sekolah memuji. Dinas
provinsi mengapresiasi. Tapi para guru mulai meneliti. Sertifikat yang
dilampirkan penuh kejanggalan: desain dari Canva, barcode yang mengarah ke
Google Drive, tanda tangan yang tak sesuai dengan dokumen resmi.
Kecurigaan mengendap,
mengental.
Lalu datang home visit.
Guru BK dan wali kelas
menyambangi rumah Mawar. Mereka menjumpai Mawar yang pucat, tampak rapuh, namun
senyumnya masih sekuat dulu. Bu Nila bersikeras: Mawar ke China, dijemput
panitia, berpresentasi sambil duduk setelah transfusi darah, semua serba
darurat tapi luar biasa.
Mereka pun pulang, membawa
sepenggal keyakinan.
Namun keyakinan itu rontok
ketika foto-foto dari “rumah sakit” diperiksa.
“Ini dari situs stok gambar,”
kata seorang guru. “Ini surat diagnosis tanpa kop resmi,” ujar yang lain.
Tangga kebohongan yang disusun
dengan rapi mulai kehilangan pijakan.
---
Di ruang guru yang penuh resah,
kepala sekolah memanggil rapat. Semua duduk dalam sunyi, hanya detak jam dan
hembus kipas angin yang terdengar.
“Kita bisa mengumbar ini. Tapi
kita juga bagian dari cerita ini,” katanya lirih. “Jika kita memilih membuka
semuanya ke publik, kita pun ikut tercoreng. Tapi jika kita diam, kita biarkan
kebohongan berjalan atas nama pendidikan.”
Ruang itu seolah menyusut,
menekan dada siapa pun yang ada di dalamnya.
Mereka akhirnya sepakat: ajak
Mawar dan keluarganya bicara, bukan dengan tudingan, tapi dengan keinginan
tulus untuk melihat cahaya kebenaran.
---
Suatu sore yang tak biasa,
Melati duduk sendiri di musala sekolah. Ia membuka mushaf kecil, mencari
ayat-ayat yang dapat menuntunnya memahami semesta.
Air matanya jatuh. Bukan karena
Mawar telah berdusta, tapi karena ia menyadari betapa keras dunia ini bisa
memaksa seseorang menanggalkan kejujuran demi pujian.
Ia ingat Mawar kecil yang
pernah menulis di buku tahunan: “Aku ingin membuat Ibu bangga.”
Mungkin… terlalu ingin.
---
Waktu terus berjalan. Kabar
tentang Mawar perlahan meredup, seperti senja yang tak ingin dipandangi lagi.
Ia tak masuk sekolah, tak terlihat, tak terdengar. Foto-foto prestasi yang dulu
dibagikan dengan bangga, kini tak lagi dibicarakan.
Namun dalam sunyi itu, satu
sore menjelang ujian akhir, sebuah pesan masuk ke ponsel wali kelas.
Isinya: rekaman suara Mawar.
“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku
semua. Aku… takut Ibu kecewa. Aku cuma ingin jadi anak yang bisa dibanggakan.
Tapi ternyata, aku salah… aku salah besar…”
Tangisnya pecah di balik
kata-kata.
“Allah tahu segalanya, Bu. Dan
sekarang aku tahu… semua yang Dia tetapkan… pasti lebih indah jika kita ikhlas.
Tapi aku sudah jauh melangkah… terlalu jauh…”
Rekaman berhenti di sana. Suara
angin menyusup di akhir, seolah langit pun ikut menyaksikan kejujuran yang
akhirnya datang, meski terlambat.
---
Hari kelulusan tiba. Tak ada
nama Mawar dalam daftar siswa yang naik kelas. Tapi ada satu surat yang
dibacakan kepala sekolah di depan seluruh siswa:
“Teruntuk kalian yang sedang
mengejar cita dan asa, jangan pernah tukar kejujuran dengan pengakuan. Jangan
biarkan ketakutan mengubur doa yang seharusnya dititipkan pada Allah, bukan
pada rekayasa.”
“Kita tidak tahu takdir esok.
Tapi Allah tahu, mana hati yang ikhlas dan mana langkah yang berpura-pura.
Biarlah semua orang tahu aku pernah salah, tapi aku ingin Allah tahu bahwa aku
ingin kembali benar.”
"Dari: Mawar, murid yang
pernah ingin menjadi bintang, tapi lupa bahwa cahaya paling abadi datang dari
langit, bukan dari sorotan manusia."
---
Pesan Moral
Cerita ini mengajak kita
menengok ke dalam diri bahwa kejujuran adalah pelita yang kadang redup saat
kita takut kecewa. Namun sebesar apa pun usaha kita menyembunyikan kebenaran,
Allah Maha Mengetahui. Keikhlasan menerima ketetapan-Nya, meski pahit, adalah
jalan cahaya menuju jiwa yang lapang. Jangan pernah bertukar cahaya-Nya dengan
tepuk tangan manusia.[pgn]
Nine Adien
Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun
2024
1 Komentar
sepakat untuk pesan "jangan pernah tukar kejujuran dengan pengakuan"
BalasHapus