![]() |
Dokumentasi kegiatan simulasi majelis khitbah dan akad nikah kelas XI-6 SMAN 2 Jombang. |
[Jombang, Pak Guru NINE] – Pagi hari itu bertepatan Selasa, 20 Mei
2025. Suasana kelas XI-6 SMA Negeri 2 Jombang mendadak berubah. Bukan lagi ruang
belajar biasa yang penuh deretan kursi dan papan tulis, tetapi menjelma menjadi
tempat yang sarat makna dan simbol, yakni sebuah majelis khitbah dan akad nikah. Di tengah
hiruk pikuk persiapan Penilaian Sumatif Akhir Tahun, para murid justru memilih
jalan yang berbeda. Mereka menghidupkan pembelajaran agama Islam melalui sebuah proyek nyata yang menyentuh sisi
spiritual, budaya, dan sosial mereka. Saya, sebagai
guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti mereka, menjadi saksi keistimewaan
itu.
Proyek
ini bermula dari sebuah penugasan sederhana. Di tengah perencanaan
pembelajaran, saya menawarkan kepada murid-murid kelas XI-6 sebuah tugas praktik
berupa Simulasi Majelis Khitbah dan Akad Nikah. Saya menyadari bahwa waktu kami
sangat terbatas. PSAT sudah di depan mata. Karena itu, saya tidak menaruh
banyak harapan, apalagi memaksakan. Namun semesta seperti punya cara sendiri
untuk menunjukkan bahwa ketika kepercayaan diberikan kepada para murid, mereka bisa
melampaui ekspektasi.
Senin
petang, 19 Mei 2025, saya menerima pesan WA dari salah
satu murid. Dengan nada antusias, ia mengabarkan bahwa mereka telah menyiapkan
segalanya, yaitu dekorasi kelas, susunan acara, pembagian peran,
bahkan dokumentasi. Di hari yang semakian gelap, mereka masih
berada di sekolah, bergotong-royong menata ruangan menjadi sebuah majelis yang
layak. Disusul foto dan video yang menunjukkan semangat luar biasa. Saya
menelpon balik, meminta maaf karena tak bisa membersamai mereka di lokasi, dan
mereka membalas dengan pemakluman tulus. Di ujung telepon, saya hanya bisa
menahan haru.
Keesokan
harinya, di momentum Hari Kebangkitan Nasional, simulasi itu benar-benar
berlangsung. Hari itu bukan hanya peringatan kebangkitan bangsa, tapi juga
menjadi simbol kebangkitan semangat belajar para murid yang memilih untuk tidak
sekadar membaca dan mencatat, tetapi menghidupkan nilai melalui pengalaman
nyata.
Trenza,
ketua kelas yang sekaligus menjadi penanggung jawab dokumentasi, mengambil
peran penting sebagai sutradara dan kameramen. Ia mengarahkan pengambilan
gambar, menyusun narasi visual, dan memastikan bahwa seluruh proses
terdokumentasi dengan baik. Sementara itu, murid-murid lainnya memainkan peran
masing-masing sesuai skenario.
Murid-murid yang muslim
menjadi MC, pembaca ayat suci, juru bicara keluarga, wali, calon pengantin,
hingga petugas pencatat nikah. Siswa non-Muslim pun tak kalah antusias. Mereka
memerankan anggota keluarga pengantin yang hadir dalam prosesi. Dalam sebuah
kelas yang majemuk, mereka menunjukkan betapa nilai-nilai toleransi dan
penghormatan terhadap tradisi agama bisa dijalani dengan penuh semangat, tanpa
merasa asing atau terpaksa.
Tidak
ada peran yang sepele dalam kegiatan ini. Setiap elemen penting dalam sebuah
prosesi khitbah dan akad nikah dihidupkan: dari sambutan hangat rombongan
keluarga pria, permohonan izin untuk melamar, doa yang penuh harap, hingga akad
nikah yang dilafalkan dengan penuh ketegangan dan kekhidmatan. Semua
perlengkapan yang dibutuhkan – mulai dari replika mahar, buku nikah, formulir biodata,
hingga busana khas pengantin – disiapkan dengan cermat. Bahkan, hantaran
makanan dan minuman untuk ramah tamah pun tak luput mereka pikirkan.
Apa
yang kami saksikan hari itu bukan sekadar simulasi, tetapi manifestasi dari
pendidikan yang memanusiakan. Pendidikan yang tidak hanya menjejalkan teori,
tetapi merangsang empati, membangun kolaborasi, dan memperkuat karakter. Ini
bukan sekadar pembelajaran tentang hukum pernikahan dalam Islam, tetapi sebuah
proses menanamkan nilai luhur dalam jiwa generasi muda.
Lebih
dari itu, proyek ini menjelma menjadi ruang refleksi yang dalam. Betapa prosesi
khitbah dan akad nikah yang sering kita anggap remeh—karena hanya diserahkan
kepada penghulu atau wali nikah—sejatinya menyimpan nilai spiritual, etika
sosial, dan budaya yang luhur. Dalam prosesi khitbah, terselip pelajaran
tentang adab, sopan santun, dan komunikasi penuh empati antar dua keluarga.
Dalam akad nikah, terpatri pesan tentang komitmen, kejujuran, dan tanggung
jawab.
Saya
belajar banyak dari para murid. Bahwa ketika
mereka diberi kepercayaan, ruang gerak, dan tantangan nyata, mereka akan
melampaui batas-batas biasa. Mereka bukan hanya menjalankan peran yang
diberikan, tetapi juga menciptakan makna dari peran itu. Mereka bertransformasi
dari pelajar menjadi aktor perubahan; dari penerima informasi menjadi pencipta
pengalaman.
Yang
lebih membahagiakan, semangat itu tidak lahir karena iming-iming nilai. Mereka
tahu saya tidak memberi tekanan, bahkan cenderung pasrah karena keterbatasan
waktu. Namun, mereka justru menjawab dengan semangat. Inilah pendidikan
sejati—yang tumbuh dari dalam, bukan karena tekanan dari luar.
Proyek
ini mungkin hanya berlangsung sehari. Namun dampaknya melampaui waktu. Saya
percaya, pengalaman ini akan tertanam dalam ingatan mereka, membentuk cara
pandang terhadap kehidupan, terhadap pernikahan, terhadap agama, dan terhadap
pentingnya menghormati proses yang dianggap sakral dalam masyarakat.
Kegiatan
ini juga menegaskan bahwa pembelajaran lintas iman bukan hanya mungkin, tapi
perlu. Siswa non-Muslim yang turut serta tidak merasa dikucilkan. Mereka justru
merasa dilibatkan dalam sesuatu yang berarti. Di sinilah PAIBP menemukan wajahnya
yang ramah, terbuka, dan inklusif—sebuah pendidikan agama yang tidak membangun
sekat, tetapi menjembatani pemahaman dan kebersamaan.
Di
akhir acara, saya melihat senyum puas di wajah mereka. Bukan karena telah
selesai menyelesaikan tugas, tetapi karena telah mengalami sesuatu yang
bermakna. Mereka bukan hanya belajar tentang akad nikah, mereka belajar tentang
kehidupan.
Dan saya pun belajar, sekali lagi, bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal seberapa banyak yang kita ajarkan, tetapi seberapa dalam yang mereka rasakan. Karena pada akhirnya, bukan hanya pengetahuan yang membentuk manusia. Tapi makna. Dan hari itu, di kelas XI-6, kami telah merayakan keduanya.[pgn]
0 Komentar