![]() |
Upacara Bendera dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila di SMAN 2 Jombang dilaksanakan pada Senin, 2 Juni 2025. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Senin pagi, 2 Juni 2025, menjadi hari yang tak akan saya lupakan.
Hari itu bukan sekadar awal pekan biasa di SMAN 2 Jombang, melainkan hari yang
secara tak terduga memberi saya kesempatan langka, yakni menjadi Pembina Upacara peringatan Hari Lahir Pancasila. Meski
upacara seharusnya dilaksanakan pada 1 Juni, hari Ahad membuat Cabang Dinas
Pendidikan Wilayah Kabupaten Jombang menginstruksikan pelaksanaan upacara pada keesokan
harinya.
Sebagai bagian dari guru SMAN 2 Jombang, saya awalnya tak menyangka akan memegang peran penting dalam upacara itu. Saya berdiri di barisan guru paling ujung sebelah barat, mengobrol ringan sambil menunggu prosesi dimulai. Barisan yang terlalu panjang membuat penataan terlihat kurang elok. Bu Vera lalu mengajak saya membuat barisan baru di depan, agar formasi lebih rapi dan berimbang. Saya pun bergeser, berdiri sejajar dengan Bu Vera, Bu Nailul, dan Pak Gani.
Dalam suasana santai itu, tiba-tiba muncul celetukan yang mengubah
segalanya. "Pak, sampean kan calon Kepala Sekolah. Sampeyan saja yang jadi
Pembina Upacara," ucap Pak Gani, setengah bercanda. Saya tersenyum kecil,
menganggapnya hanya seloroh. Namun senyum saya segera menghilang saat Pak Gani
mengabarkan bahwa Pak Budiono, Kepala Sekolah kami, ternyata berhalangan hadir.
Rencana awal, beliau yang akan memimpin upacara. Sebagai pengganti, Pak Gani
sebenarnya telah siap, namun justru menunjuk saya untuk menggantikannya. Ia
menambahkan bahwa naskah amanat upacara telah tersedia dan hanya tinggal
dibacakan.
Saya diam sejenak. Ini memang bukan kali pertama saya menjadi
Pembina Upacara. Namun menjadi sosok pengganti pada momen sakral seperti Hari
Lahir Pancasila, jelas bukan hal sepele. Apalagi di tengah proses seleksi Calon
Kepala Sekolah Rakyat jenjang SMA yang tengah saya jalani. Ini seperti ujian
kesiapan yang datang secara tiba-tiba. Tanpa banyak pikir, saya akhirnya
menyetujui dan maju ke tengah lapangan.
Langkah saya mantap, walau jantung sempat berdetak lebih cepat
dari biasanya. Dengan percaya diri, saya berdiri di podium, menerima laporan
dari pemimpin upacara, lalu membacakan teks Pancasila dengan suara lantang.
Seruan saya disambut oleh suara serempak peserta upacara, membentuk gema yang
menggetarkan dada—menghidupkan kembali kesadaran bahwa Pancasila adalah milik
bersama.
Tiba pada bagian amanat, saya memilih untuk menambahkan pengantar
sebelum membacakan naskah resmi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Saya sampaikan kepada para siswa bahwa 1 Juni 1945 adalah momen kelahiran
gagasan Pancasila oleh Bung Karno, namun urutan sila-sila seperti yang kita
kenal sekarang baru ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Sejarah ini
penting untuk dikenang agar kita tidak hanya menghormati Pancasila sebagai
teks, tetapi memahami dinamika kelahirannya sebagai hasil pemikiran mendalam
dan semangat kebangsaan yang luar biasa.
Amanat yang saya bacakan berisi pesan kuat tentang pentingnya
menjadikan Pancasila bukan sekadar hafalan atau simbol, melainkan pedoman nyata
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam era globalisasi yang sarat godaan,
Pancasila harus tetap menjadi bintang penuntun. Nilai-nilainya mesti ditanamkan
sejak dini, dijadikan pijakan dalam pelayanan publik, dihidupkan dalam sistem
ekonomi yang berkeadilan, dan ditegakkan di dunia digital yang sering kali
penuh dengan kebisingan dan kebencian.
Pesan-pesan dalam pidato tersebut saya sampaikan dengan penuh
perasaan dan
lantang. Sebab bagi saya, Pancasila adalah napas kebangsaan. Sebagai
pendidik, saya memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkannya dalam jiwa
generasi muda, bukan hanya melalui pelajaran di kelas, tapi juga dalam setiap
contoh dan sikap nyata.
Usai amanat, rangkaian upacara berlanjut pada sesi apresiasi bagi
para siswa berprestasi. Betapa terkejut dan terharunya saya ketika pembaca
acara memanggil saya—Pembina Upacara—untuk turun dari podium dan menyerahkan
langsung piagam penghargaan kepada mereka. Momen itu sungguh bermakna. Saya
merasa bukan hanya diberi kehormatan, tetapi juga kepercayaan.
Dalam benak saya, terlintas pesan mendalam: kepemimpinan bukanlah
soal jabatan atau rencana terstruktur. Terkadang ia datang dalam bentuk
kesempatan mendadak, dalam situasi yang tidak terduga. Dan saat kesempatan itu
datang, hanya mereka yang siaplah yang bisa menjalaninya dengan baik.
Pengalaman ini memperkuat keyakinan saya dalam mengikuti seleksi
Kepala Sekolah Rakyat. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang bersedia
hadir di saat dibutuhkan, siap mengambil peran kapan saja, dan tetap menjaga
integritas serta profesionalisme dalam kondisi apapun. Maka, saya tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya menjadikannya sebagai ajang pembuktian,
bukan hanya kepada orang lain, tapi terutama kepada diri saya sendiri, bahwa
saya siap memimpin, siap berkhidmat, dan siap mewujudkan pendidikan yang lebih
bermakna.
Sore harinya, ketika saya merenung kembali atas apa yang telah
terjadi, saya menyadari bahwa kadang, Tuhan menunjukkan jalan lewat hal-hal
kecil yang tampak sepele. Dari barisan yang terlalu panjang, dari ajakan
membentuk formasi baru, dari candaan ringan rekan sejawat—hingga saya akhirnya
berdiri di podium, menyuarakan Pancasila dengan suara hati yang jernih.
Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini telah mengajarkan saya
satu hal penting; bahwa kepercayaan adalah karunia, dan kesiapan adalah kunci.
Siap untuk menerima tantangan, siap untuk melayani, dan siap untuk berbuat yang
terbaik, kapan pun dan di mana pun.
Semoga dari momen kecil ini lahir inspirasi besar; bagi siapa pun yang memimpikan Indonesia yang lebih baik, berlandaskan nilai luhur Pancasila.[pgn]
0 Komentar