Antara Tugas Mendidik dan Hak untuk Dilindungi

Esai ini ditulis sebagai respon keprihatinan atas beberapa kasus hukum yang sering menjerat guru saat menjalankan perannya sebagai pendidik bagi murid-muridnya.

 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Di balik keberhasilan setiap generasi bangsa, selalu ada sosok guru yang tulus mencurahkan ilmunya. Namun, menjadi guru di zaman sekarang bukan hanya tentang mengajar dan mendidik, melainkan juga tentang bertahan dari berbagai tantangan, termasuk risiko hukum yang bisa datang kapan saja. Paradoks ini seringkali dialami guru ketika menjalankan tugasnya mendidik dengan sepenuh hati, namun malah berhadapan dengan jerat hukum karena pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran, termasuk penggunaan reward dan punishment yang sejatinya memiliki nilai pedagogis.

Mengajar bukan sekadar menyampaikan materi. Guru harus terus meracik strategi dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks sosial, psikologis, dan kultural murid. Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah reward and punishment. Pendekatan ini bertujuan membentuk kesadaran murid, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Murid yang menunjukkan perilaku baik dan berhasil melampaui target belajar layak mendapat apresiasi. Sebaliknya, murid yang melanggar aturan perlu diberi sanksi edukatif agar tumbuh kesadaran disiplin dan tanggung jawab.

Namun, dalam praktiknya, sanksi yang diberikan seringkali disalahartikan. Tak sedikit guru yang akhirnya harus berurusan dengan hukum hanya karena dianggap melakukan tindakan kekerasan. Padahal, tindakan tersebut sebenarnya lebih merupakan bentuk pembinaan yang proporsional. Sayangnya, interpretasi publik yang cenderung reaktif seringkali menjadikan guru sebagai pihak yang disalahkan, terlebih jika kasusnya sampai melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lebih berperan sebagai "penyidik" daripada mitra pendidik.

Di sinilah letak urgensinya: guru perlu perlindungan hukum. Seorang guru tidak bisa bekerja dalam rasa takut, khawatir, dan waswas setiap kali ingin menegakkan kedisiplinan. Pendidikan tidak akan berjalan sehat jika guru terus hidup dalam bayang-bayang kriminalisasi.

Untuk menjawab problematika ini, negara telah memberikan payung hukum melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Peraturan ini secara eksplisit memberikan jaminan perlindungan dalam empat aspek penting: perlindungan hukum, profesi, keselamatan kerja, dan hak atas kekayaan intelektual.

Pasal 2 menyatakan bahwa perlindungan tersebut mencakup berbagai risiko yang bisa menimpa guru, mulai dari kekerasan, ancaman, diskriminasi, hingga intimidasi dari siswa, orang tua, atau pihak lain. Bahkan, perlindungan juga meliputi hak untuk bebas menyuarakan pendapat profesional, terbebas dari pelecehan, serta aman dalam lingkungan kerja.

Menariknya, perlindungan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga menjadi kewajiban pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi, dan masyarakat. Ini berarti bahwa tanggung jawab terhadap keselamatan dan marwah guru adalah urusan semua pihak. Lembaga pendidikan harus hadir bukan hanya sebagai tempat kerja, tetapi juga sebagai ruang aman bagi para guru untuk mengabdi.

Dalam konteks ini, kehadiran organisasi profesi guru dan komunitas pendidikan semestinya bisa menjadi garda terdepan dalam memberikan pendampingan hukum dan advokasi. Pemerintah pun telah mengatur bahwa perlindungan hukum dapat dilakukan melalui advokasi nonlitigasi, seperti konsultasi hukum, mediasi, dan pemenuhan hak guru. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa guru memiliki hak untuk dibela, bukan terus-menerus disudutkan.

Meski begitu, perlu disadari bahwa guru adalah manusia biasa. Mereka juga memiliki keterbatasan, bisa lelah, keliru, dan sesekali tergelincir dalam tindakan atau keputusan yang kurang tepat. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—guru, murid, dan wali murid—untuk memiliki kesadaran yang utuh bahwa proses pendidikan bukan ruang yang steril dari kesalahan. Yang dibutuhkan bukanlah sikap menghakimi, tetapi semangat saling mengingatkan dan memperbaiki. Jika guru berbuat salah, tentu ada mekanisme penyelesaian yang berkeadilan dan beretika, bukan langsung dilaporkan atau diviralkan tanpa ruang klarifikasi.

Sebaliknya, guru juga harus terbuka untuk terus belajar, menerima masukan, dan berbenah diri. Pendidikan sejatinya adalah proses tumbuh bersama. Murid dan wali murid pun perlu menyadari bahwa niat dasar dari semua pendekatan guru—termasuk reward dan punishment—bukan untuk menyakiti, tetapi untuk membentuk karakter yang tangguh dan bertanggung jawab. Jika ketiga pihak ini bisa menjalin komunikasi yang sehat, maka pendekatan pendidikan apa pun akan terasa ringan dan mendatangkan manfaat.

Menjadi guru hari ini membutuhkan keberanian lebih. Bukan hanya berani berdiri di depan kelas, tapi juga berani menghadapi risiko sosial, budaya, bahkan hukum. Maka, satu-satunya cara agar guru tetap bisa menjalankan perannya secara utuh adalah dengan memberikan perlindungan yang layak dan memperlakukan mereka secara manusiawi.

Mari kita jaga guru sebagaimana mereka menjaga masa depan bangsa ini. Dukungan pemerintah, sekolah, organisasi profesi, dan masyarakat harus bergerak serempak untuk memastikan bahwa setiap guru yang berdiri di depan kelas melakukannya dengan rasa aman, tanpa ketakutan, dan penuh dedikasi. Karena ketika guru merasa aman dan dihormati, maka murid pun akan belajar dalam suasana yang penuh cinta, keteladanan, dan makna. Dan di situlah pendidikan menemukan jiwanya yang sejati.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

Posting Komentar

0 Komentar