Merajut Mimpi di Tanah Peradaban

 

Saya katakan kepada mereka, “Kamu boleh punya pendapat sendiri. Tapi kamu harus bisa menjelaskan pilihanmu secara logis dan bertanggung jawab.” 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Ada satu fase kehidupan yang tak pernah mudah, namun selalu penuh harapan: masa transisi dari rumah ke asrama, dari kenyamanan keluarga menuju dunia pendidikan yang lebih luas dan menantang. Inilah yang kini sedang dijalani oleh Taliya Kayana, anak kedua kami. Ia memulai perjalanannya sebagai murid baru di MAN 2 Kota Malang sekaligus santri di Ma’had Al-Qalam, dua institusi pendidikan yang telah lama dikenal sebagai kawah candradimuka pembentuk generasi berakhlak dan berdaya saing tinggi.

Sejak awal proses pendaftaran, saya sudah mendampingi Taliya dalam menapaki tiap pilihan. Satu hal yang menarik, ia dengan mantap memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Sebagai ayah, tentu saya sempat berharap agar ia memilih Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), karena saya melihat potensi dirinya dalam bidang analitis dan kuantitatif. Namun, saya memilih untuk mendengarkan nalurinya. Taliya tampaknya telah menimbang kekuatan dan minatnya sendiri. Ia merasa lebih cocok di ranah sosial, dan saya pun mendukung keputusannya sepenuhnya. Bukankah pendidikan yang ideal haruslah berangkat dari kesadaran diri, bukan paksaan eksternal?

Setelah resmi menjadi siswa IPS, saya mengarahkan Taliya untuk mulai mengembangkan kemampuan bahasa asing—terutama Bahasa Arab dan Inggris. Saya katakan padanya bahwa di era ini, kemampuan berkomunikasi lintas bahasa adalah senjata ampuh untuk membuka banyak peluang. Apalagi di lingkungan seperti Ma’had Al-Qalam yang menyediakan layanan pendidikan integral antara akademik dan spiritual, kesempatan untuk belajar bahasa tidak hanya tersedia, tetapi juga menjadi kebutuhan utama. Dengan belajar bahasa asing, Taliya tidak hanya memperkaya pengetahuannya, tapi juga memperluas cakrawala pemikirannya sebagai calon intelektual muda muslimah.

Dalam masa orientasi madrasah atau Matsama, Taliya mulai mengenali dinamika kehidupan di MAN 2 Kota Malang. Ia mulai tertarik pada berbagai kegiatan kesiswaan. Suatu hari ia menghubungi saya, meminta pertimbangan tentang kegiatan ekstrakurikuler yang ingin ia ikuti. Ada tiga yang menarik perhatiannya: OSIS, Teater, dan Riset. Sebagai ayah, saya merasa bangga. Ini menandakan bahwa ia ingin aktif, tidak hanya menjadi penonton dalam kehidupannya.

Namun, saya menyarankannya agar tidak buru-buru. Saya minta ia menyesuaikan dulu ritme kehidupan di Ma’had Al-Qalam. Hidup di pesantren bukan hal sepele—ada disiplin, kebersamaan, tanggung jawab, dan tantangan waktu yang tidak ringan. Karena itu, saya mengingatkannya untuk bijak memilih. Jika harus memilih, saya lebih mendorongnya ke arah Riset dan Teater. OSIS memang bagus, namun bukan satu-satunya tempat belajar kepemimpinan. Di Ma’had, ada OSIMA—Organisasi Santri Ma’had—yang juga bisa menjadi ruang belajar kepemimpinan dan organisasi yang tak kalah hebat.

Riset akan melatih Taliya berpikir kritis, mengamati fenomena sosial, dan menuliskannya dalam bentuk ilmiah. Sedangkan Teater akan mengasah sensitivitas sosial, kreativitas ekspresi, dan keberanian tampil. Kombinasi ini sangat relevan dengan jurusan IPS yang ia pilih. Saya ingin Taliya tidak hanya menjadi murid yang taat jadwal, tetapi juga pembelajar aktif yang mampu menciptakan narasi dan makna dalam setiap proses belajarnya.

Tak lama berselang, ia kembali menghubungi saya untuk minta masukan. Kali ini soal pemilihan konsentrasi bidang riset. Ada beberapa pilihan: Sosiologi Humaniora, Psikologi dan Pendidikan, Ekonomi dan Manajemen, Sejarah, Seni dan Budaya, serta Bahasa dan Sastra. Saya menyarankan Sosiologi. Bagi saya, ini adalah bidang yang relevan dan luas, mampu menjembatani berbagai dimensi sosial dan budaya. Tapi saya juga berpesan agar ia tetap belajar bahasa dan sastra secara mandiri. “Karena tanpa penguasaan bahasa dan sastra,” saya bilang, “narasi sosiologismu akan kering dan sulit menyentuh. Tapi jika kamu mampu mengawinkan keduanya, maka karya-karyamu akan bernilai dan menginspirasi.”

Yang membuat saya bersyukur adalah keterbukaan Taliya. Ia tidak segan menghubungi saya untuk meminta pandangan. Di tengah era digital yang seringkali membuat anak-anak menjauh dari orang tua, saya merasakan ikatan emosional yang tetap terjaga. Saya pun selalu berusaha menanamkan satu prinsip sederhana kepada Caraka Shankara, Taliya Kayana dan Wacana Bawana. “Selama orang tua masih hidup, jangan mengambil keputusan penting tanpa berdiskusi terlebih dahulu. Bukan karena orang tua tahu segalanya, tapi karena diskusi itu adalah bentuk penghormatan dan permohonan doa.”, pesan saya kepada anak-anak itu.

Saya katakan kepada mereka, “Kamu boleh punya pendapat sendiri. Tapi kamu harus bisa menjelaskan pilihanmu secara logis dan bertanggung jawab.” Dalam banyak hal pun saya mencontohkan bahwa saya sendiri selalu minta pertimbangan kepada Mbah Kung dan Mbah Uti. Bahkan sekadar memberi kabar tentang rencana atau keputusan besar. Karena saya percaya, restu dan doa dari orang tua adalah bekal terbaik dalam setiap langkah hidup.

Kini, saya mulai melihat benih-benih kedewasaan tumbuh dalam diri Taliya. Ia belajar mengambil keputusan dengan pertimbangan matang. Ia tidak anti kritik, tapi juga tidak takut berbeda pendapat. Ia mulai meniti jalan intelektual dan spiritualnya dengan arah yang ia pilih sendiri, tanpa melepas tangan dari nasihat orang tuanya.

Saya tahu jalan yang ia tempuh tidak akan mudah. Namun saya juga tahu, dengan semangat belajar yang tinggi, komunikasi yang terbuka, dan bimbingan dari madrasah serta pesantren, Taliya akan mampu tumbuh menjadi pribadi tangguh yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa pemimpin.

Dan sebagai orang tua, saya tidak menuntutnya menjadi sempurna. Saya hanya berharap, ia menjadi anak yang selalu belajar, selalu bersyukur, dan selalu menyertakan Allah dan orang tuanya dalam setiap langkah yang ia pilih. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya soal akademik, tapi juga soal adab, logika, dan cinta dalam proses menjadi manusia seutuhnya.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar