![]() |
Pada akhirnya, suara memang harus punya batas. Tidak semua yang bisa dibunyikan harus dibunyikan. Tidak semua yang nyaring pasti benar. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Belakangan ini,
perdebatan mengenai penggunaan sound horeg—perangkat pengeras suara
dengan intensitas tinggi yang biasa digunakan dalam acara hajatan, karnaval,
hingga ulang tahun—kembali mencuat. Penyebabnya adalah Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan hukum
penggunaan sound horeg dalam perspektif Islam. Saat DP MUI Kabupaten Jombang melakukan sosialisasi atas fatwa tersebut (Rabu, 23/7), sebagian pihak, khususnya
praktisi sound system seperti Paguyuban Sound System Jombang (PSSJ), merasa
dirugikan dan meminta agar fatwa tersebut direvisi, terutama menyangkut batas
desibel suara yang dinilai terlalu rendah: 85 dB.
Namun benarkah fatwa tersebut
menetapkan angka 85 desibel secara mutlak? Apakah ini soal semata-mata
kebisingan atau justru ada hal lebih dalam yang mesti diselami?
Keluhan dari para pengusaha sound
system tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka menyatakan bahwa jika suara
hanya dibatasi pada 85 desibel, maka sound tidak akan “bunyi”—alias
tidak bisa didengar secara optimal oleh masyarakat. Mereka khawatir bahwa
dengan pembatasan ini, kegiatan mereka akan lumpuh, padahal keberadaan mereka
turut menggerakkan roda ekonomi di level lokal: menyerap tenaga kerja,
memberdayakan juru parkir, penjual makanan, dan lain-lain.
Namun, penting dipahami bahwa dalam
sistematika penulisan fatwa MUI, bagian Memperhatikan bukanlah bagian Ketentuan
Hukum. Di sana, angka 85 dB disebutkan sebagai kutipan dari data pihak luar
yang otoritatif, seperti World Health Organization (WHO) atau
Kementerian Ketenagakerjaan. Artinya, angka itu bukan perintah mutlak,
melainkan rujukan saintifik sebagai pertimbangan.
Justru yang menarik, proses penetapan
fatwa ini dilakukan dengan hati-hati. MUI Jawa Timur tidak berdiri di menara
gading. Mereka melakukan kajian lapangan, dialog, hingga mendengarkan masukan
dari berbagai pihak: ahli THT dari Fakultas Kedokteran Unair, pemerintah
daerah, perwakilan masyarakat, hingga pengusaha sound system sendiri. Ini
menunjukkan bahwa fatwa yang dikeluarkan bersifat partisipatif, bukan sepihak.
Secara medis, suara dengan intensitas
di atas 120 dB terbukti bisa merusak pendengaran dalam hitungan detik. Prof.
Dr. Nyilo Purnami, pakar THT dari RSU Dr. Soetomo, dalam sidang fatwa menyatakan
bahwa paparan suara 124 dB hanya aman selama 3,52 detik per hari. Melebihi itu,
struktur saraf pendengaran bisa rusak permanen. Jadi, bukan sekadar tidak
nyaman di telinga, tapi benar-benar membahayakan kesehatan.
Belum lagi dampak sosialnya. Acara yang
menggunakan sound horeg kerap kali disertai aktivitas bebas seperti
joget campur laki-laki dan perempuan (ikhtilath) yang sulit dikendalikan.
Kebisingan juga sering mengganggu warga sekitar, mengganggu waktu istirahat,
belajar, bahkan ibadah. Maka, di titik ini, fatwa bukan hanya bicara soal
suara, tapi juga soal maslahat umat dan menjaga hak masyarakat atas lingkungan
yang sehat dan nyaman sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28H.
Permintaan revisi batas desibel dari 85
ke angka yang lebih tinggi memang terdengar logis dari kacamata pengusaha.
Namun, alih-alih merevisi angka secara serampangan, pendekatan yang lebih
solutif adalah bagaimana menerapkan sistem zonasi atau penjadwalan suara:
kapan, di mana, dan untuk keperluan apa suara dengan intensitas tertentu boleh
digunakan.
Misalnya, acara siang hari di lapangan
terbuka mungkin bisa menggunakan intensitas lebih tinggi dibanding acara malam
di permukiman padat. Dengan kata lain, penyesuaian bukan pada fatwa, tapi pada
tata kelola praktik lapangan. Ini jauh lebih bijak daripada memaksa lembaga
keagamaan mengubah pijakan moralnya.
Kita juga perlu menelaah bahwa fatwa
bukanlah regulasi negara, tetapi panduan moral umat. Ia tidak menghukum, tapi
mengarahkan. Ia bukan pelarangan mutlak, tapi penegasan batas antara halal dan
haram, baik dan buruk, maslahat dan mudarat. Dalam konteks sound horeg,
fatwa ini bertujuan menjaga kehidupan masyarakat agar tidak dikorbankan demi
hura-hura sesaat.
Di sisi lain, wajar jika para pelaku
industri sound berharap agar suara mereka tetap “terdengar” dalam pengambilan
kebijakan. MUI pun tampaknya tidak menutup pintu. Sikap terbuka dan proses
konsultatif yang telah mereka jalani bisa menjadi titik temu untuk merumuskan
tata kelola penggunaan sound horeg yang adil, sehat, dan tidak melanggar
nilai-nilai moral.
Pada akhirnya, suara memang harus punya
batas. Tidak semua yang bisa dibunyikan harus dibunyikan. Tidak semua yang
nyaring pasti benar. Kadang, demi ketenangan bersama, kita justru perlu
mengalahkan ego kita sendiri. Sebab suara yang terlalu keras tak hanya
memekakkan telinga, tapi bisa menutup mata hati dan nurani.
Fatwa MUI tentang sound horeg
bukan anti-musik, bukan anti-pengusaha, apalagi anti-kesenian rakyat. Tapi ini
adalah ikhtiar moral agar kehidupan masyarakat tidak dikalahkan oleh desibel
suara yang membabi buta. Agar nilai-nilai islami tetap bisa tumbuh di tengah
keriuhan zaman.
Jadi, daripada memperdebatkan angka
desibel secara kaku, marilah kita duduk bersama dan mencari irama harmoni.
Sebab yang kita butuhkan bukan sound yang makin keras, tapi nurani yang
makin peka. Dan kadang, suara yang paling menggugah bukanlah yang paling keras,
melainkan yang paling jernih dan tulus dari hati. [pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
0 Komentar