[Jombang, Pak Guru NINE] - Senin siang yang cerah, 27 Oktober 2025, ruang
Bung Tomo Gedung Pemkab Jombang terasa khidmat dan penuh semangat. Di sana,
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang mengukuhkan
pengurus baru DP MUI
Kecamatan Gudo, Kesamben, Tembelang, dan Sumobito. Acara berlangsung dari pukul
13.00 hingga 15.30 WIB, disertai pula dengan penyerahan hadiah bagi para
pemenang lomba video pendek. Namun, sorotan utama bukan hanya pada momen
pengukuhan atau penghargaan, melainkan pada petuah mendalam dari Ketua Umum DP
MUI Jombang, Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi,
Lc., M.A.
Dengan
tutur lembut namun tegas, beliau menyampaikan pesan yang tak sekadar menyentuh
akal, tapi juga mengetuk hati. Bahwa menjadi pengurus MUI bukan sekadar soal
jabatan atau kehormatan, tetapi tentang niat,
amanah, dan kekuatan moral untuk menegakkan kebenaran.
KH.
Afifuddin membuka dengan gagasan sederhana namun sarat makna: “Menjadi pengurus
MUI itu ada dua macam — murid
dan murad.”
Murid berarti orang yang ingin
menjadi pengurus. Sedangkan murad adalah orang yang dipaksa atau diinginkan untuk menjadi
pengurus. Dua-duanya, kata beliau, sama-sama mulia dalam pandangan Islam.
Beliau
lalu mencontohkan Nabi
Yusuf a.s. sebagai sosok murid,
yang dengan sadar menawarkan dirinya untuk mengemban tanggung jawab besar.
Dalam Surah Yusuf ayat 55, Nabi Yusuf berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri
(Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat
berpengetahuan.”
Ayat itu menunjukkan bahwa kepemimpinan bukanlah hal yang tabu untuk
diinginkan, selama diiringi dengan kemampuan dan niat menjaga amanah. Nabi
Yusuf memiliki keahlian hafidz (ahli hitung) dan aliim (berpengetahuan luas,
termasuk dalam komunikasi lintas bahasa).
Kecakapan
itulah yang membuat Raja Mesir percaya dan mengangkat Yusuf sebagai pejabat
tinggi. Dari kisah ini, KH. Afifuddin menegaskan bahwa MUI membutuhkan pengurus yang
kompeten dalam tata kelola dan komunikasi, bukan hanya pandai
berdakwah, tetapi juga mampu menjembatani kepentingan umat dan pemerintah
dengan bijak.
Sementara
itu, tipe kedua — murad
— diwakili oleh Nabi
Musa a.s., sosok yang dipilih
karena kekuatan dan amanahnya. Dalam QS. Al-Qashash ayat 26 disebutkan, “Sesungguhnya sebaik-baik orang
yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Kekuatan yang dimaksud bukan sekadar fisik, melainkan juga keteguhan prinsip,
keberanian moral, dan kemampuan menahan diri dari penyalahgunaan wewenang. Nabi
Musa bahkan pernah meminta putri Nabi Syuaib berjalan
di belakangnya,
agar pandangannya terjaga dari hal yang tidak pantas. Sebuah teladan tentang integritas di tengah
kesempatan.
KH.
Afifuddin kemudian mengibaratkan peran MUI seperti paku bumi Indonesia.
Ia menjaga agar tanah kehidupan berbangsa tak mudah retak oleh arus kebohongan,
penyimpangan, dan kemunafikan moral. “Ada kaum yang dilaknat Allah,” tutur
beliau sambil mengutip QS. Al-Maidah ayat 63, “karena para ulama dan pendeta
tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram.”
Di
sinilah peran MUI menjadi sangat vital. Bukan sekadar lembaga fatwa, tetapi
juga penjaga kesadaran moral umat. Meskipun sering dianggap terlalu keras
dengan label “haram” di sana-sini, justru fatwa itulah yang menjadi kompas moral bagi
masyarakat agar tidak ceroboh dalam bertindak. Lebih baik umat berhati-hati
daripada terjerumus dalam kesalahan yang dibiarkan.
Beliau
mengingatkan, jika para ulama diam terhadap kemungkaran, maka mereka ibarat
bumi tanpa paku—rapuh dan mudah runtuh. Bahkan Allah memperingatkan dalam QS.
Al-A’raf ayat 165 bahwa hanya mereka yang mencegah
keburukan yang akan diselamatkan, sedangkan yang diam akan ditimpa
azab.
Namun,
beliau juga mengakui bahwa tugas MUI bukan perkara mudah. Amar ma’ruf
(mengajak kebaikan) mungkin terasa ringan, tetapi nahi munkar
(melarang kemungkaran) menuntut keberanian luar biasa. Dalam sejarah, banyak
nabi menghadapi penolakan keras ketika menegur umatnya. QS. Al-A’raf ayat 77
mengisahkan kaum Nabi Saleh yang bahkan membunuh unta betina hanya karena tidak
mau diingatkan.
“Maka
para pengurus MUI,” pesan KH. Afifuddin, “haruslah orang-orang yang kuat. Kuat
menahan godaan, kuat menghadapi kritik, dan kuat dihujat.” Karena hujatan
sering kali datang bukan karena salah, tetapi karena kebenaran yang disampaikan
terasa pahit bagi sebagian orang.
Pidato
ini bukan sekadar nasihat untuk para pengurus baru, melainkan refleksi untuk
semua umat Islam yang ingin berkhidmat bagi kebaikan. Bahwa menjadi ulama,
pengurus MUI, atau siapa pun yang memegang amanah sosial, berarti siap
menanggung beban moral dan spiritual. Mereka dipanggil untuk menjadi benteng
terakhir penjaga nilai, saat banyak orang lebih memilih diam.
Dalam
pandangan KH. Afifuddin, keberanian moral jauh lebih bernilai daripada
popularitas. Sebab, dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang yang pandai
bicara, melainkan mereka yang berani berkata benar. Dunia tidak kekurangan
orang cerdas, tetapi amat kekurangan mereka yang jujur dan amanah.
Maka,
pengurus MUI di empat kecamatan yang baru saja dikukuhkan itu seolah mendapat
mandat suci: menjadi
murid sekaligus murad. Menjadi pengurus bukan karena ambisi,
tapi karena panggilan nurani. Berkhidmat bukan untuk kehormatan pribadi, tetapi
demi menjaga keseimbangan moral di tengah masyarakat yang kian kompleks.
Dan
seperti paku bumi yang menancap diam namun menegakkan segalanya, begitu pula
para ulama dan pengurus MUI diharapkan: kuat, kokoh, dan tidak goyah, meski
angin zaman bertiup semakin kencang.[pgn]

0 Komentar