Tetap Muda di Ruang Digital: Esai Peringatan Sumpah Pemuda

 

Meskipun saya bukan lagi bagian dari kategori usia “pemuda,” saya tetap ingin menjadi bagian dari gerakannya—gerakan pemuda yang tidak berhenti di ruang kelas, tidak diam di ruang publik, dan tidak ketinggalan di ruang digital.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia antara 16 hingga 30 tahun. Jika mengacu pada ketentuan itu, maka di usia 46 tahun saya jelas tidak lagi termasuk kategori pemuda. Namun, ketika diminta memilih antara merasa tua atau tetap muda, saya lebih memilih yang kedua. Alasannya sederhana: jiwa muda tidak ditentukan oleh angka, tetapi oleh semangat untuk terus tumbuh dan memberi manfaat.

Saya adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMAN 2 Jombang. Setiap hari, saya berinteraksi dengan para remaja yang sedang berada dalam fase penting pertumbuhan—fase di mana idealisme dan rasa ingin tahu mereka begitu besar. Mereka hadir di ruang kelas, di lapangan kegiatan ekstrakurikuler, dan di ruang-ruang organisasi seperti OSIS. Di mata saya, mereka bukan hanya murid, tetapi juga cermin masa depan. Melihat semangat mereka membuat saya seolah ikut disegarkan kembali: berpikir kreatif, bergerak cepat, dan belajar tanpa henti.

Di luar sekolah, saya masih aktif membersamai para kader muda Nahdlatul Ulama di Desa Pacarpeluk. Mereka tergabung dalam IPNU, IPPNU, dan PSNU Pagar Nusa. Melalui mereka, saya belajar bahwa menjadi muda sejatinya adalah tentang keberanian untuk terus bergerak. Maka, meski usia menua, jiwa harus tetap menyala.

Kini, di era serba digital, semangat kepemudaan menuntut bentuk baru: gerakan yang tidak hanya fisik, tetapi juga virtual. Ruang digital telah menjadi arena baru bagi pemuda untuk berkiprah. Hal ini sejalan dengan panduan pelaksanaan peringatan Hari Sumpah Pemuda 2025 yang menekankan pentingnya publikasi dan kampanye digital sebagai bagian dari kegiatan pendukung nasional. Tema besar tahun ini, “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu,” menjadi panggilan moral agar generasi muda menjadikan dunia maya sebagai medan pengabdian yang bermakna.

Namun, kita tidak bisa menutup mata: dunia digital bukan ruang yang selalu ramah. Di dalamnya, terjadi persaingan narasi, peredaran hoaks, ujaran kebencian, dan budaya instan yang mudah menenggelamkan nilai. Banyak yang berlomba menjadi viral tanpa berpikir tentang manfaatnya. Di sinilah tantangan besar bagi pemuda masa kini: bagaimana menjaga idealisme di tengah arus pragmatisme digital.

Meski demikian, justru di titik inilah peluang besar itu terbuka. Dunia digital menawarkan ruang tanpa batas untuk berbuat kebaikan dan menebar pengaruh positif. Dengan satu sentuhan jari, pesan kebangsaan bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan orang. Melalui video singkat, artikel, atau kampanye daring, para pemuda dapat menyebarkan nilai gotong royong, toleransi, dan kepedulian sosial. Teknologi adalah panggung baru bagi nasionalisme.

Sebagai guru, saya mencoba menanamkan kesadaran ini kepada para siswa saya. Saya ajak mereka menjadikan ruang digital bukan sekadar tempat hiburan, tetapi juga ladang dakwah kebajikan dan inovasi. Saya sering mengatakan kepada mereka, “Kalian bukan hanya pengguna internet, kalian adalah pengisi maknanya.” Begitu pula kepada para kader muda yang saya bina di desa, saya dorong agar mereka menggunakan media sosial untuk menebar inspirasi, mengabarkan kegiatan positif, dan memperkuat citra baik organisasi.

“Bergerak di dunia digital,” sebagaimana disebut dalam panduan peringatan Sumpah Pemuda 2025, bukan hanya soal aktif di media sosial, melainkan soal menggerakkan nilai. Ini tentang bagaimana setiap unggahan, komentar, dan karya digital menjadi bentuk kontribusi bagi bangsa. Ketika pemuda Indonesia mempromosikan budaya lokal, mendukung UMKM, atau mengangkat isu kemanusiaan lewat konten kreatif, sejatinya mereka sedang membangun nation branding—merek kebangsaan Indonesia yang berkarakter, kreatif, dan bermartabat.

Semangat ini juga sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 yang menempatkan pemuda sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan. Kekuatan moral berarti memegang teguh nilai-nilai etika dan kejujuran dalam setiap tindakan, termasuk di dunia maya. Sebagai kontrol sosial, pemuda harus berani bersuara terhadap ketidakadilan, termasuk melawan penyalahgunaan informasi dan ujaran kebencian. Sebagai agen perubahan, mereka harus mampu menciptakan karya, memimpin inovasi, dan menginspirasi masyarakat luas melalui kreativitas digital.

Saya percaya, teknologi hanyalah alat. Yang menentukan baik-buruknya adalah siapa yang menggunakannya. Maka, di tangan pemuda yang cerdas dan berkarakter, ruang digital bisa menjadi wadah perjuangan baru: perjuangan membangun bangsa dengan cara-cara kreatif dan damai.

Kini, setiap kali saya membuka media sosial dan melihat karya-karya anak muda yang inspiratif—dari video edukasi, podcast kebangsaan, hingga gerakan donasi daring—saya semakin yakin bahwa semangat Sumpah Pemuda masih hidup. Ia tidak lagi diteriakkan di podium, melainkan disuarakan lewat konten, kolaborasi, dan jejaring digital.

Usia boleh bertambah, tetapi semangat untuk bergerak dan mengabdi tidak boleh padam. Bagi saya, menjadi muda bukan soal angka, melainkan tentang kemauan untuk terus belajar, beradaptasi, dan menebar manfaat. Maka, meski saya bukan lagi bagian dari kategori usia “pemuda,” saya tetap ingin menjadi bagian dari gerakannya—gerakan pemuda yang tidak berhenti di ruang kelas, tidak diam di ruang publik, dan tidak ketinggalan di ruang digital.

Karena sejatinya, jiwa muda adalah mereka yang terus bergerak untuk kebaikan, bahkan ketika rambut mulai beruban.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Pembina Kader Muda NU Pacarpeluk

Posting Komentar

0 Komentar