![]() |
| Saya masih ingat jelas, sebelum ujian UMPTN, kami berdua mengikuti bimbingan belajar di Phi Beta. Dengan sepeda pancal tua, kami berboncengan dari asrama menuju tempat belajar. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu, 22 Oktober 2025, Aula Garuda Mukti di
lantai lima Kantor Manajemen Universitas Airlangga, Surabaya, menjadi saksi
momen istimewa: pengukuhan Prof. Dr. Zaenal Fanani, S.E., MSA., Ak., CA., ACPA.
sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Akuntansi Keuangan dan Pasar Modal. Dengan orasi ilmiah
berjudul “Transformasi Akuntansi Keuangan di Era Digital: Peran Big Data,
Blockchain, Artificial Intelligence, dan Cloud Accounting dalam Peningkatan
Tata Kelola Keuangan Perusahaan”, ia menandai puncak perjalanan akademiknya—sebuah
kisah inspiratif tentang kegigihan, ketekunan, dan pengabdian ilmu.
Bagi saya, momen itu lebih dari sekadar
pengukuhan gelar akademik. Ia adalah penggenapan dari perjalanan panjang
seorang sahabat lama, sesama santri Kaliwates Angkatan 9, yang sejak remaja
sudah menunjukkan tanda-tanda istimewa dalam berpikir logis dan sistematis. Di
masa belajar di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Jember, Zaenal Fanani
dikenal sebagai murid yang menonjol dalam pelajaran Matematika—disiplin yang
kelak menjadi pijakan kuat bagi kepiawaiannya dalam akuntansi dan analisis
keuangan.
Kami pernah tinggal di asrama yang
sama, berbagi cerita dan cita-cita di sela lantunan ayat suci. Sebagian besar
santri MAKN kala itu bermimpi melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN). Namun, Zaenal memilih jalan berbeda. Ia menembus Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima di Jurusan Akuntansi, Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Keberaniannya melangkah ke jalur yang tidak
lazim di kalangan santri adalah bentuk keberanian intelektual—sebuah keputusan
yang kemudian mengantarnya pada puncak karier akademik.
Saya masih ingat jelas, sebelum ujian
UMPTN, kami berdua mengikuti bimbingan belajar di Phi Beta. Dengan sepeda
pancal tua, kami berboncengan dari asrama menuju tempat belajar. Saya yang kala
itu bercita-cita masuk PTN pun gagal. Akhirnya, saya memilih jalan menjadi mahasiswa Jurusan Kependidikan IsIam Fakultas Tarbiyah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sementara Zaenal terus menapaki
tangga akademik di dunia akuntansi, saya menempuh jalur pendidikan Islam. Sejak
itu, langkah kami berpisah arah, tapi tetap beririsan dalam semangat yang sama:
pengabdian pada ilmu.
Beberapa waktu lalu, kami sempat
kembali bertemu dalam Reuni Santri Kaliwates Angkatan 9 di rumah Muhammad
Afifuddin, Ketua KPU RI, di Pejangkungan, Prambon, Sidoarjo. Di sana, kabar
gembira itu sudah berhembus: pangkat guru besar untuk Zaenal Fanani tinggal
menunggu waktu. Kami bersyukur dan berjanji akan hadir pada pengukuhannya.
Namun, takdir berkata lain. Hari pengukuhan itu bertepatan dengan Hari Santri
Nasional, dan saya ditugasi menjadi pembina acara dzikir dan doa bersama di
SMAN 2 Jombang. Meski tak hadir secara fisik, hati saya ikut bergetar di Aula
Garuda Mukti.
Membaca perjalanan hidupnya dari dekat,
saya merasa bahwa gelar profesor itu bukan sekadar simbol status akademik,
melainkan hasil dari dedikasi luar biasa. Prof. Zaenal Fanani bukan hanya dosen
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, tetapi juga akademisi
produktif dengan 19 publikasi internasional terindeks Scopus, memiliki H-Index
Scopus 5, Google Scholar 15, serta Sinta Score Overall 1.402. Di dunia
profesional, ia tercatat sebagai Certified Accountant (CA), Asean CPA, dan ACPA—sertifikasi
yang menunjukkan pengakuan kompetensinya lintas negara.
Namun, di balik semua pencapaian itu,
yang membuat saya paling bangga adalah semangat “santri”-nya yang tak pernah
luntur. Meski telah menjelajahi forum akademik internasional dari Bali hingga
Hanoi, dari Malang hingga Kuala Lumpur, ia tetap memandang ilmu sebagai ibadah,
bukan sekadar karier. Ia tidak hanya meneliti tentang akuntansi korporasi dan
tata kelola keuangan, tetapi juga menjadi narasumber bagi desa-desa BRILiaN,
membantu BUMDes mengelola laporan keuangan, dan mendampingi banyak pemerintah
daerah dalam tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Dari jejak akademiknya, tampak jelas
bahwa Prof. Zaenal Fanani bukan sekadar pengajar di ruang kuliah, tetapi juga praktisi
ilmu yang menjembatani kampus dengan masyarakat. Ia mengajarkan bahwa akuntansi
bukan hanya soal angka, tetapi tentang amanah dan integritas. Di tengah era
digital, ketika data menjadi komoditas baru, ia menyerukan agar teknologi
seperti Big Data, Blockchain, AI, dan Cloud Accounting digunakan untuk
memperkuat transparansi, bukan menutupi penyimpangan.
Di situlah letak keistimewaan orasi
ilmiahnya. Judul yang panjang itu sesungguhnya menyiratkan satu pesan pendek
namun mendalam: “Akuntansi yang beradab adalah akuntansi yang jujur.”
Saya percaya, jejak langkahnya menjadi
inspirasi bagi banyak santri, guru, dan mahasiswa di negeri ini. Bahwa menjadi
santri bukan berarti terbatas pada bidang agama saja; santri bisa menjadi
profesor di bidang ekonomi, dokter, insinyur, atau bahkan pemimpin
bangsa—selama tetap berakar pada nilai-nilai kejujuran dan pengabdian.
Kisah Prof. Dr. Zaenal Fanani adalah
kisah tentang perpaduan iman, ilmu, dan kerja keras. Dari ranjang (sarir) kecil asrama di
Kaliwates, ia menapaki tangga ilmu hingga mencapai menara gading Universitas
Airlangga. Ia membuktikan bahwa kesungguhan tak pernah menghianati hasil, dan
bahwa jalan keilmuan adalah jihad panjang yang menuntut kesabaran, keikhlasan,
dan ketekunan tanpa batas.
Hari ini, ketika nama sahabat saya itu
disebut dengan gelar “Profesor”, saya tidak hanya mendengar kemuliaan akademik,
tetapi juga gema dari masa lalu—suara seorang santri yang pernah berboncengan
naik sepeda menuju bimbingan belajar, membawa satu keyakinan sederhana: bahwa
ilmu adalah cahaya, dan siapa pun yang menapakinya dengan niat yang lurus, akan
sampai pada terang yang tak pernah padam.[pgn]
Nine Adien Maulana, Santri Kaliwates Angkatan 9

0 Komentar