Dilema Saat Mengisi Survei Lingkungan Belajar

 

Dalam suasana seperti itu, mengisi survei yang mengulik berbagai aspek internal sekolah menjadi bukan sekadar menjawab pertanyaan. Ia menjadi ujian nurani antara kejujuran personal dan loyalitas kelembagaan.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Pendidikan yang berkualitas adalah impian setiap bangsa, dan upaya mewujudkannya menuntut sistem penilaian yang jujur, terukur, serta berpihak pada peningkatan mutu secara menyeluruh. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2025 ini masih tetap menyelenggarakan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) untuk menjawab tantangan tersebut. ANBK ini tidak hanya mengukur kompetensi siswa melalui AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), tetapi juga melalui Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar yang menyasar kondisi proses belajar-mengajar.

Namun, di balik semangat besar untuk membangun ekosistem pendidikan yang lebih baik, muncul pula kenyataan yang tak bisa diabaikan: dilema para guru sebagai responden, terutama dalam menjawab Survei Lingkungan Belajar (Sulingjar). Hal ini berdasarkan pengalaman nyata tahun lalu. Saya adalah salah satu guru di sekolah yang telah lama dipercaya sebagai sekolah terfavorit di kota kami. Di sinilah, dilema itu benar-benar saya rasakan secara pribadi.

Sebagai sekolah yang dipersepsi masyarakat sebagai yang terbaik, kami tidak hanya dituntut untuk memberikan pendidikan bermutu, tetapi juga menjaga citra institusi di mata publik. Reputasi adalah hal yang sensitif. Bila yang muncul adalah kabar baik, publik akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Tapi bila ada sedikit saja hal negatif, kritik bisa datang bertubi-tubi. Dalam suasana seperti itu, mengisi survei yang mengulik berbagai aspek internal sekolah menjadi bukan sekadar menjawab pertanyaan. Ia menjadi ujian nurani antara kejujuran personal dan loyalitas kelembagaan.

Ketika saya duduk di depan layar komputer, membaca pertanyaan demi pertanyaan—tentang kepemimpinan kepala sekolah, kolaborasi antar guru, budaya reflektif, atau dukungan terhadap siswa—pikiran saya bercabang. Sebagian dari pertanyaan itu mungkin memang belum sepenuhnya mencerminkan kenyataan ideal di sekolah kami. Namun, menjawabnya secara jujur seolah-olah membuka pintu bagi pihak luar untuk menilai kami secara negatif. Kekhawatiran itu sungguh nyata: apakah jawaban saya akan mempengaruhi akreditasi sekolah? Apakah data ini akan dibaca sebagai kelemahan institusi?

Pada akhirnya, saya memilih untuk menjawab secara ideal. Bukan karena ingin menipu, tetapi karena saya ingin menjaga kehormatan sekolah kami. Kami percaya bahwa jika ada kekurangan, biarlah kami sadari secara internal, dan kami perbaiki bersama-sama. Kami mengikuti prinsip, “menolak kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan yang masih bersifat dugaan.” Dalam konteks sosial sekolah, menjaga nama baik adalah ikhtiar moral. Kami tahu bahwa pengungkapan yang prematur dan tidak kontekstual bisa membuka luka yang justru menghambat proses perbaikan.

Ternyata, dilema ini bukan hanya milik saya. Teman-teman saya sesama guru juga mengalaminya. Selain itu, banyak guru dari berbagai daerah menyampaikan kekhawatiran serupa. Beberapa pertanyaan dinilai terlalu sensitif, seolah “menguliti” privasi institusi. Ada yang menyebut bahwa pertanyaan-pertanyaan itu terlalu banyak, panjang, dan cenderung repetitif. Tak sedikit yang mengaku merasa jenuh bahkan sebelum menyelesaikan survei. Jika guru yang terbiasa membaca dan berpikir saja bisa merasa demikian, bagaimana dengan siswa yang mungkin lebih rentan terhadap kejenuhan dan kurangnya pemahaman konteks?

Dalam teori psikologi sosial, kondisi ini bisa dijelaskan lewat konsep mekanisme pertahanan diri. Seperti dikemukakan Hall & Lindzey, manusia cenderung menyangkal atau memanipulasi kenyataan untuk melindungi identitas diri atau kelompoknya. Dalam konteks kami, yang dilindungi bukan sekadar individu, melainkan citra institusi. Ini adalah ungkapan antisipatif terhadap kemungkinan dampak buruk yang tak terkontrol.

Namun saya percaya, semua ini bukanlah bentuk penolakan terhadap perubahan. Justru sebaliknya. Ini adalah bagian dari fase awal dalam teori perubahan Kurt Lewin yang disebut unfreezing—fase ketika individu atau kelompok harus keluar dari zona nyaman dan dipaksa menghadapi kenyataan baru. Dalam fase ini, resistensi sangat wajar muncul, karena kita belum cukup siap, belum cukup percaya, dan belum cukup diberi pemahaman.

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa pelaksanaan survei ini perlu ditinjau ulang, bukan pada substansinya, tapi pada pendekatan dan implementasinya. Ada beberapa hal yang bisa menjadi catatan perbaikan.

Pertama, perlu dilakukan sosialisasi yang menyeluruh dan komunikatif kepada para responden, baik guru maupun kepala sekolah. Tidak cukup dengan edaran atau petunjuk teknis. Harus ada forum dialog yang membangun pemahaman bahwa survei ini bukan alat penilaian akreditasi atau penghukuman, melainkan alat bantu perbaikan mutu.

Kedua, perlu dilakukan penyederhanaan dan penajaman redaksi soal. Pertanyaan yang terlalu panjang dan berulang hanya akan melelahkan dan melemahkan niat responden untuk menjawab dengan sungguh-sungguh. Kalimat yang ringkas, padat, dan jelas akan lebih efektif mendorong kejujuran dan refleksi.

Ketiga, perlu dibangun budaya evaluasi internal yang sehat di setiap sekolah. Jika setiap institusi pendidikan terbiasa melakukan refleksi diri secara berkala, maka survei seperti ini bukanlah ancaman, melainkan perpanjangan tangan dari upaya internal yang sudah berlangsung.

Survei Lingkungan Belajar pada dasarnya adalah upaya luhur dalam memetakan kondisi pendidikan kita. Tapi di balik data, ada manusia—ada guru, ada kepala sekolah, ada rasa cemas dan harapan, ada beban sosial dan komitmen moral. Maka untuk mencapai tujuan besar pendidikan yang bermutu, kita perlu membangun sistem yang bukan hanya ilmiah, tetapi juga manusiawi.

Karena pada akhirnya, kejujuran itu bukan hanya soal isi jawaban, tapi juga soal suasana batin yang merasa aman untuk berkata jujur. Dan tugas kitalah—sebagai guru, sebagai penyelenggara, dan sebagai bangsa—untuk membangun suasana itu bersama.[pgn]

Nine Adien Maulana, Guru Penggerak Angkatan 9 Tahun 2024

Posting Komentar

0 Komentar