![]() |
Jika guru memang beban, maka setiap hari Indonesia sedang menggendong jutaan beban di ruang-ruang kelas. Ironisnya, “beban” itu justru sedang menulis masa depan bangsa di papan tulis. |
[Jombang, Pak Guru NINE] – Belakangan
sempat beredar sebuah video hoax singkat yang menampilkan suntingan ucapan Menteri
Keuangan, Sri Mulyani, seolah-olah mengatakan, “Guru itu beban negara.”
Tidak jelas siapa yang membuat dan menyebarkannya. Namun yang jelas, hoax ini
bukan sekadar salah kutip, melainkan kesalahan fatal yang merendahkan martabat
profesi guru. Sebagai seorang guru, saya merasa terpanggil untuk menanggapi,
bukan dengan amarah, tetapi dengan logika dan hati nurani: membukakan fakta
tentang siapa sebenarnya guru itu.
Pernyataan “guru beban negara” adalah
lelucon paling tidak lucu yang pernah lahir di republik ini. Jika guru memang
beban, maka setiap hari Indonesia sedang menggendong jutaan beban di
ruang-ruang kelas. Ironisnya, “beban” itu justru sedang menulis masa depan
bangsa di papan tulis. Bukankah ini paradoks paling menggelikan?
Mari kita sejenak membayangkan parodi
sederhana. Seorang guru berdiri di depan kelas, tangannya memegang spidol yang
tintanya nyaris habis, suaranya serak karena mengulang penjelasan untuk ke-30
kali, sementara di kepalanya masih berputar daftar panjang administrasi yang
harus segera diselesaikan. Jika guru memang “beban negara”, maka seharusnya ia
hanya duduk manis menunggu negara menggendongnya pulang dengan layanan
istimewa. Tetapi kenyataan berkata lain: guru justru memikul begitu banyak
tugas yang bila ditumpuk, bisa membuat superhero pensiun dini.
Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005, tugas guru tidak main-main. Mereka wajib merencanakan, melaksanakan,
mengevaluasi pembelajaran, membimbing siswa, dan menjalankan berbagai tugas
tambahan: menjadi wali kelas, pembina OSIS, penggerak ekstrakurikuler, hingga
pengurus kegiatan sekolah. Lebih dari itu, guru juga dituntut terus
meningkatkan kompetensi, menjunjung tinggi kode etik, membentuk karakter siswa,
sekaligus mengembangkan diri. Semua itu bukan demi dirinya, melainkan demi
generasi penerus bangsa yang bahkan sering lupa sekadar mengucap terima kasih.
Ironisnya, masih ada saja yang
berkomentar enteng, “Guru itu enak, kerja setengah hari.” Ah, mungkin
mereka hanya melihat panggung depan. Mereka tidak tahu panggung belakang yang
penuh tumpukan RPP, lembar penilaian, rapor, evaluasi, hingga rapat sekolah
yang panjangnya bisa mengalahkan jalan tol. Guru memang aktor utama dalam
panggung pendidikan, tetapi sayangnya sering dilupakan begitu lampu sorot
dipadamkan.
Sekarang mari kita lakukan eksperimen
imajiner: bagaimana jika profesi guru dihapus dari republik ini selama setahun?
Anak-anak belajar langsung dari internet tanpa bimbingan. Mereka akan lebih
cepat percaya teori bumi datar daripada hukum gravitasi. Mereka lebih fasih
menghafal konten TikTok daripada Pancasila. Mereka hafal nama selebritas
mancanegara, tetapi gagap ketika diminta menyebut nama pahlawan nasional.
Apakah ini lucu? Tidak. Itu parodi gelap dari negeri yang menyingkirkan
gurunya.
Lalu muncul pertanyaan sederhana: jika
guru benar beban, lalu bangsa ini hidup dari siapa?
Guru Bukan Beban, Tetapi Fondasi Bangsa
Sudahlah, satire cukup sampai di sini.
Mari kita bicara dengan logika yang lebih jernih. Menyebut guru sebagai beban
negara sama anehnya dengan menyebut fondasi sebagai beban bangunan. Ya, fondasi
memang menghabiskan biaya, tetapi coba cabut fondasi itu—seluruh rumah ambruk.
Begitu pula dengan guru: memang profesi mereka membutuhkan anggaran, tetapi
tanpa mereka, bangsa ini roboh.
Pemerintah pun sadar bahwa guru adalah
kunci peradaban. Karena itu, ada kewajiban memberi perlindungan hukum,
kesejahteraan yang layak, sarana pengembangan diri, fasilitas pendidikan,
hingga kesempatan karir yang adil. Semua ini bukan hadiah, melainkan amanat
undang-undang.
Namun realitas di lapangan sering tak
seindah teks regulasi. Masih ada guru honorer yang menerima gaji lebih kecil
daripada uang jajan siswanya. Masih ada guru di pelosok yang mengajar di ruang
kelas bocor sambil membawa kapur atau spidol sendiri. Masih ada guru yang
dituntut profesional, tetapi biaya kuliah S2 atau pelatihan harus ia tanggung
sendiri. Di satu sisi, tuntutan tak pernah berkurang; di sisi lain, penghargaan
seringkali jauh panggang dari api. Maka pertanyaan pun bergeser: siapa
sebenarnya yang menjadi beban—guru pada negara, atau negara pada guru?
Di sinilah kita harus jujur.
Sesungguhnya guru bukanlah beban, melainkan justru penopang berat yang selama
ini menggendong negara. Mereka yang mengajari anak-anak membaca dan menulis,
sehingga kelak lahir dokter, insinyur, ekonom, dan pemimpin bangsa. Mereka yang
menanamkan kejujuran dan disiplin, ketika godaan jalan pintas begitu menggoda.
Mereka yang setia di pelosok, mendidik generasi dengan segala keterbatasan,
agar anak-anak di desa pun punya kesempatan yang sama untuk bermimpi besar.
Maka, solusi dari kebingungan ini
sederhana tetapi mendesak. Pertama, hentikan penyebaran hoax yang melecehkan
profesi guru. Kedua, pemerintah harus konsisten menjalankan amanat
undang-undang: memberikan perlindungan hukum, kesejahteraan yang layak,
fasilitas memadai, serta jalur pengembangan diri yang nyata. Ketiga, masyarakat
pun mesti bergandengan tangan. Pendidikan adalah kerja kolektif, bukan hanya
tanggung jawab sekolah. Orang tua tidak bisa hanya menyerahkan anak lalu
menuding guru jika hasilnya tak sesuai harapan.
Akhirnya, guru adalah oksigen bangsa.
Tanpa mereka, bangsa ini mungkin masih bisa bernafas, tetapi hanya dengan tubuh
kosong tanpa jiwa pengetahuan. Guru adalah fondasi. Ia mungkin tak selalu
terlihat, tak selalu dipuji, tetapi di atasnya berdirilah gedung besar bernama
Indonesia.
Jadi, bila ada yang masih bersikeras
mengatakan, “Guru itu beban negara,” tersenyumlah. Jawablah dengan
satire: “Ya, guru memang beban… tetapi beban yang selama ini menggendong
masa depanmu, agar Indonesia tidak runtuh.” [pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
0 Komentar