Inspirasi Ekoteologi: Harmoni dalam Kerja Bakti

 

Ekoteologi mengajarkan bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Manusia bukan hanya makhluk sosial, tapi juga khalifah fil ardh—pemegang amanah Tuhan untuk merawat bumi.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Pagi belum benar-benar benderang saat suara langkah kaki dan sapaan hangat mulai terdengar di sepanjang jalan kecil Dusun Peluk, Desa Pacarpeluk, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang. Di RT 03 RW 04, warga berkumpul membawa cangkul, sabit, sapu lidi, dan keranjang seadanya. Bukan untuk berdagang, bukan pula untuk demo, tapi untuk satu hal yang sangat sederhana—kerja bakti membersihkan lingkungan.

Bermula dari tepi jalan raya yang ramai dilalui warga, kegiatan ini berlanjut menyusuri jalan kecil menuju Masjid Baitul Muslimin, rumah ibadah yang menjadi titik pusat kehidupan spiritual sekaligus sosial masyarakat sekitar. Rumput liar yang sebelumnya tumbuh tak terkendali mulai ditebas. Sampah-sampah yang mengotori sisi jalan dikumpulkan. Debu yang menempel di sudut-sudut jalan disapu bersih. Tapi bukan hanya tanah yang menjadi bersih—rasa kebersamaan pun ikut terbangun.

Yang membuat kegiatan ini istimewa bukan sekadar karena berhasil menjadikan lingkungan rapi dan bersih, tapi karena di balik kerja bakti itu tumbuh nilai-nilai yang lebih dalam: persaudaraan, solidaritas, dan harmoni. Masyarakat RT ini terdiri dari latar belakang keagamaan yang berbeda—sebagian adalah warga Nahdlatul Ulama (NU), sebagian lagi warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Namun, di pagi itu, perbedaan itu tak menjadi penghalang. Semuanya larut dalam semangat yang sama: menjaga rumah bersama.

Inilah wajah asli dari kearifan lokal yang nyaris terlupakan. Di tengah zaman yang kian individualistis, warga Dusun Peluk memperlihatkan bahwa nilai gotong royong dan persatuan masih hidup. Mereka tidak menunggu datangnya proyek pemerintah, tidak pula mengandalkan program bantuan. Mereka bergerak atas dasar kepedulian. Dari hati, untuk bumi, dan demi kehidupan bersama.

Gerakan kecil ini sangat selaras dengan gagasan besar yang sedang diusung oleh Kementerian Agama Republik Indonesia: ekoteologi. Sebuah pendekatan spiritual terhadap lingkungan hidup, ekoteologi mengajarkan bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Manusia bukan hanya makhluk sosial, tapi juga khalifah fil ardh—pemegang amanah Tuhan untuk merawat bumi.

Melalui berbagai program, Kementerian Agama telah mulai menanamkan kesadaran ini di berbagai lini kehidupan umat: gerakan menanam pohon, penciptaan eco-masjid dan eco-pesantren, gerakan zero waste, hingga pendidikan lingkungan berbasis spiritual di madrasah dan pesantren. Tapi sejatinya, esensi dari semua itu adalah tumbuhnya kesadaran bahwa bumi adalah amanah, bukan properti. Dan merusaknya adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai iman.

Dusun Peluk telah mempraktikkan ekoteologi tanpa menyebut namanya. Mereka menyapu bukan hanya untuk membersihkan jalan, tapi juga menyapu sekat-sekat sosial. Mereka mencangkul bukan hanya untuk membabat rumput, tapi juga untuk menumbuhkan persaudaraan. Di antara peluh dan canda, tumbuh nilai-nilai yang jauh lebih dalam dari sekadar kegiatan fisik: nilai spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan cinta lingkungan.

Peran guru dan tokoh agama dalam gerakan seperti ini menjadi sangat penting. Di sekolah, madrasah dan pesantren, mereka bukan hanya penyampai ilmu, tapi juga penjaga nilai. Keteladanan mereka bisa menjadi penyulut kesadaran ekologis bagi generasi muda. Saat guru mengajak murid membersihkan lingkungan, dan tokoh agama menyampaikan khutbah tentang cinta bumi, maka nilai-nilai ekoteologi tidak lagi jadi wacana, melainkan praktik nyata dalam kehidupan.

Lebih jauh lagi, gerakan seperti ini bisa menjadi jembatan lintas iman. Jika warga NU dan LDII di Dusun Peluk bisa bahu-membahu menjaga lingkungan, mengapa tidak dikembangkan dalam skala lebih luas? Bayangkan jika kerja bakti menjadi momentum dialog lintas agama. Tak lagi sekadar membersihkan jalan, tapi juga membuka ruang perjumpaan dan saling memahami di antara umat. Lingkungan bersih, dan persaudaraan antarmanusia pun tumbuh subur.

Dari Dusun Peluk kita belajar bahwa perubahan tidak harus menunggu revolusi besar. Satu cangkul, satu sapu, satu langkah kecil bersama-sama bisa membawa perubahan luar biasa. Dan ketika kita melakukannya dengan cinta, kesadaran, dan nilai spiritual, maka kerja bakti sederhana pun menjelma menjadi ibadah.

Kini saatnya kita bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah kita terlibat dalam menjaga lingkungan? Sudahkah kita menyapa tetangga bukan hanya dalam kata, tetapi juga dalam aksi? Sudahkah kita menghidupkan kembali kerja bakti yang dahulu menjadi ruh desa-desa kita?

Mari kita mulai dari tempat tinggal kita sendiri. Dari jalanan kecil di depan rumah, dari selokan yang butuh dibersihkan, dari taman yang perlu dirawat. Mari kita sadari bahwa cinta lingkungan bukan hanya tugas aktivis, tetapi juga tanggung jawab setiap insan beriman. Karena bumi bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu. [pgn]

Nine Adien Maulana, Warga RT 03 RW 04 Dusun Peluk - Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar