Menjaga Jombang dari Sampah Liar

 

Persoalan sampah liar bukan hanya tentang tumpukan benda kotor, tapi cerminan dari sejauh mana kita menghargai ruang hidup bersama.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap pagi dan sore hari, saya melewati jalan yang menghubungkan desa Kedungrejo dengan Balonggemek, serta Dukuharum dengan Ngogri. Jalur ini menjadi favorit saya berangkat ke dan pulang dari SMAN 2 Jombang, karena bebas dari kemacetan dan menyuguhkan pemandangan khas pedesaan yang memanjakan mata, yakni hamparan sawah hijau, udara segar, dan suasana tenang yang menenteramkan. Namun, keindahan itu telah ternoda oleh sampah liar yang berserakan di pinggir jalan tepi sawah itu. Letaknya memang agak jauh dari permukiman warga, tapi cukup mencolok di tengah bentang alam yang seharusnya asri dan bersih. Ironisnya, para pembuang sampah itu bukan berasal dari warga sekitar, melainkan justru datang dari luar desa. Mereka memanfaatkan sepinya jalan di pagi buta atau malam hari untuk membuang sampah seenaknya, seolah tempat itu tidak bertuan.

Pemerintah desa sebenarnya tidak tinggal diam. Papan larangan sudah dipasang, bahkan dilengkapi dengan ancaman denda. Tapi, sebagaimana sering terjadi, larangan tanpa pengawasan hanyalah tulisan kosong. Para pelaku tetap membuang sampah dengan leluasa karena tahu tak ada yang benar-benar mengawasi. Situasi ini menjadi cermin persoalan yang lebih dalam—masalah mentalitas, kepedulian, dan lemahnya sistem kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelola lingkungan.

Saya meyakini bahwa solusi atas persoalan ini tidak bisa hanya bersandar pada tindakan represif atau program insidental. Yang dibutuhkan adalah langkah-langkah praktis dan menyentuh akar permasalahan: keterlibatan warga secara aktif dan peran pemerintah yang cerdas, tanggap, serta tegas. Masyarakat bisa memulai dengan membentuk tim pengawas lingkungan mandiri yang terdiri dari tokoh RT, pemuda, karang taruna, hingga tokoh agama. Mereka tidak hanya memantau, tapi juga menjadi ujung tombak edukasi warga. Tak harus dengan cara konfrontatif, cukup dengan kehadiran yang konsisten dan komunikasi yang persuasif. Keberadaan mereka adalah simbol bahwa lingkungan ini dijaga, bukan ruang kosong yang bebas dirusak.

Edukasi berbasis keluarga juga menjadi kunci penting. Lewat majelis taklim ibu-ibu, kelompok pengajian, atau forum arisan warga, pesan-pesan sederhana tentang memilah sampah, bahaya pencemaran, dan nilai ekonomi dari bank sampah bisa disampaikan secara berulang dan menyentuh hati. Ketika ibu rumah tangga mulai memilah sampah, anak-anak akan meniru. Ketika keluarga memahami pentingnya kebersihan, maka perilaku kolektif mulai terbentuk dari rumah.

Salah satu solusi yang sering luput dari perhatian namun sangat mungkin diterapkan di setiap rumah adalah pengelolaan sampah organik dengan metode sederhana. Setiap warga sebenarnya bisa membuat tempat pembuangan sampah organik rumah tangga di pekarangan atau sekitar rumahnya, meskipun tidak luas. Caranya cukup mudah, yaitu dengan membuat beberapa lubang di tanah seperti model biopori, namun ukurannya bisa disesuaikan agar muat untuk limbah dapur seperti sisa sayuran, nasi basi, atau kulit buah. Lubang ini bisa diberi penutup sederhana agar tidak menimbulkan bau atau mengundang serangga. Dengan model buka-tutup yang praktis, lubang ini akan berfungsi sebagai komposter alami yang membantu mengurangi volume sampah rumah tangga sekaligus menyuburkan tanah. Jika praktik ini dijalankan secara luas, maka potensi sampah organik yang terbuang secara liar bisa ditekan drastis, bahkan nyaris nol.

Namun masyarakat tak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan yang visioner dan responsif. Salah satu langkah strategis adalah pemasangan CCTV tenaga surya di titik rawan, lengkap dengan sensor gerak dan lampu otomatis. Teknologi ini tak hanya memberi efek jera, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa wilayah ini diawasi dan dilindungi. Papan peringatan pun perlu diperbarui. Jangan lagi hanya berisi larangan dan ancaman, melainkan juga ajakan persuasif.

Pemerintah juga bisa mengambil tindakan hukum berbasis bukti nomor polisi kendaraan pelaku. Dengan kerja sama antara Satpol PP dan kepolisian, pelaku bisa dipanggil dan diberikan sanksi sosial atau administratif, seperti kerja bakti, pemuatan nama di papan desa, atau penundaan surat-surat administratif. Tindakan semacam ini tidak harus keras, tetapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa pelanggaran tidak akan dibiarkan.

Di sisi lain, pemerintah juga bisa menyediakan truk mini sampah keliling yang beroperasi di jam-jam rawan. Ini bisa menjadi solusi win-win: warga luar tetap bisa membuang sampah secara legal, sementara lingkungan tidak dikotori. Pembangunan TPS3R portabel di lokasi strategis pun bisa menjadi alternatif sementara, sembari menunggu TPS permanen yang lebih besar dan terstruktur.

Langkah-langkah edukatif dan strategis juga perlu didukung dengan pendekatan komunikasi digital. Gerakan seperti “Jombang Wani Resik” bisa menjadi kampanye viral yang melibatkan warga untuk berbagi video sebelum-sesudah pembersihan, testimoni pejuang lingkungan lokal, hingga tantangan kebersihan antardesa. Semua ini bisa dilakukan dengan pendekatan yang ringan namun kuat dampaknya di media sosial.

Yang terpenting, kita harus sadar bahwa persoalan sampah liar bukan hanya tentang tumpukan benda kotor, tapi cerminan dari sejauh mana kita menghargai ruang hidup bersama. Ini bukan hanya tentang bersih atau kotor, tapi tentang adab, tanggung jawab, dan masa depan. Lingkungan yang bersih bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu kita. Maka, mari kita rawat bersama. Dengan kolaborasi yang kuat, pendekatan yang menyentuh hati, dan tindakan yang nyata, Jombang bukan hanya bisa bebas dari sampah liar—tapi menjadi pelopor budaya bersih yang membanggakan.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar