Di Balik Gemerlap Karnaval Desa

Apakah karnaval desa hanya tren sesaat, atau sedang bertransformasi menjadi tradisi baru masyarakat modern?

[Jombang, Pak Guru NINE] - Beberapa tahun terakhir, pemandangan karnaval desa seolah menjadi hal lumrah di berbagai pelosok negeri. Di media sosial, kita kerap melihat arak-arakan meriah dengan sound system raksasa, musik DJ yang memecah keheningan, penampilan para dancer, hingga peserta dengan kostum warna-warni bertema Bhineka Tunggal Ika. Ribuan mata memandang, ribuan langkah mengikuti irama. Karnaval seolah menjadi pesta rakyat yang tak boleh dilewatkan.

Namun di balik gemerlap itu, ada pertanyaan yang menggelitik, yakni apa makna sebenarnya dari semua ini? Apakah karnaval desa hanya tren sesaat, atau sedang bertransformasi menjadi tradisi baru masyarakat modern? Untuk memahami fenomena ini, kita perlu meninjau dari kaca mata sosiologi dan antropologi yang melihat masyarakat bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku dalam panggung kebudayaan.

Sisi Positif

Tak bisa dipungkiri, karnaval desa menghadirkan banyak sisi positif. Pertama, ia menjadi ajang kreativitas warga. Berhari-hari mereka berlatih, membuat kostum unik, mengatur tata panggung, hingga menyiapkan koreografi. Semangat gotong royong yang mungkin mulai memudar dalam kehidupan sehari-hari, kembali terasa hangat di sini.

Kedua, karnaval menciptakan  identitas dan kebanggaan komunal. Masyarakat desa memiliki ruang untuk menegaskan eksistensinya, bahwa mereka punya budaya, punya tradisi, dan punya cara sendiri merayakan kebersamaan. Dalam antropologi, ini disebut ritual publik, sebuah momen ketika masyarakat menunjukkan jati diri mereka di hadapan dunia.

Ketiga, jangan lupakan dampak ekonominya. Karnaval menggerakkan roda usaha kecil: penyewaan kostum, dekorasi, penyedia sound system, pedagang kaki lima, hingga jasa transportasi lokal. Perputaran uang ini menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat desa.

Keempat, fenomena ini menunjukkan bahwa desa tidak tertutup dari arus modernisasi. Musik DJ, lighting, kostum ala karnaval kota — semua itu menandakan adanya dialog antara tradisi lama dan budaya pop modern. Desa tidak hanya menjadi penonton perubahan zaman, tetapi ikut berpartisipasi di dalamnya.

Sisi Negatif

Namun, di balik euforia itu, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Pertama, perubahan orientasi nilai. Ketika hiburan menjadi tujuan utama, nilai-nilai religius dan etika sosial sering kali terabaikan. Musik yang menggema hingga larut malam, penampilan yang dianggap tak sesuai norma, hingga waktu ibadah yang terlewat, memunculkan kritik moral dari sebagian warga.

Kedua, muncul komersialisasi tradisi. Biaya penyelenggaraan yang tak sedikit membuat karnaval hanya bisa diikuti kelompok tertentu, sementara warga lain merasa terbebani. Akibatnya, ada potensi kesenjangan sosial di balik pesta yang terlihat semarak.

Ketiga, potensi konflik nilai tak bisa dihindari. Kelompok konservatif yang menginginkan tradisi sarat makna kerap berbenturan dengan kelompok yang mendorong kebebasan berekspresi. Perbedaan pandangan ini, jika tidak dikelola, bisa memicu ketegangan sosial.

Keempat, ada kekhawatiran degradasi makna tradisi. Dahulu, karnaval mungkin digelar untuk merayakan panen, hari kemerdekaan, atau momen religius. Kini, dikhawatirkan bergeser menjadi sekadar pesta hura-hura tanpa pesan moral atau budaya yang jelas.

Kini, pertanyaan yang muncul adalah apakah karnaval desa hanya tren musiman atau sedang bertransformasi menjadi tradisi baru? Secara sosiologis, jawabannya tergantung pada beberapa hal.

Jika karnaval diadakan setiap tahun dengan dukungan pemerintah desa, tokoh masyarakat, bahkan sponsor swasta, maka lama-kelamaan masyarakat akan melihatnya sebagai tradisi. Apalagi jika generasi muda yang kini tumbuh dengan budaya pop modern terus melestarikannya, fenomena ini berpotensi mengakar meski formatnya mungkin berubah mengikuti zaman.

Menyikapi dengan Bijak

Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ini? Menolak mentah-mentah tentu bukan pilihan bijak, sebab karnaval juga membawa manfaat nyata. Yang diperlukan adalah pendekatan kultural dan edukatif. Tokoh agama, pemuda, dan pemerintah desa bisa duduk bersama merumuskan konsep karnaval yang ramah nilai: misalnya menyediakan jeda waktu untuk sholat, menyisipkan pesan moral atau edukasi dalam pertunjukan, serta menjaga agar hiburan tak melampaui batas etika sosial.

Selain itu, regulasi waktu dan tempat perlu ditegakkan. Volume suara, jam malam, hingga ketertiban umum harus diatur agar karnaval membawa kebaikan, bukan gangguan.

Paling penting, harus ada dialog antar generasi. Dengan komunikasi yang baik, tradisi lama bisa berpadu dengan kreativitas modern tanpa saling meniadakan.

Karnaval desa adalah potret nyata perubahan sosial di akar rumput. Di satu sisi, ia simbol keterbukaan masyarakat terhadap modernitas. Di sisi lain, ia mengingatkan kita akan pentingnya menjaga nilai agama, etika sosial, dan identitas budaya.

Daripada menolak atau membiarkannya tanpa arah, lebih bijak bila kita mengarahkan fenomena ini menjadi tradisi baru yang sehat, inklusif, dan bermakna. Dengan begitu, karnaval desa bukan hanya pesta mata dan telinga, tetapi juga perayaan nilai, kebersamaan, dan kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman.[pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar