Apel di Bawah Matahari dan Doa di Dalam Hati

 

Saya memulai amanat dengan sejarah singkat Kabupaten Jombang—bahwa hari jadi daerah ini ditetapkan berdasarkan Besluit Hindia Belanda No. 25 tanggal 21 Oktober 1910. 


[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Selasa, 21 Oktober 2025, menjadi pagi yang tak biasa bagi saya. Matahari baru naik, namun semangat di lapangan sekolah sudah terasa menggelora. Hari itu, saya mendapat kehormatan menjadi Pembina Apel Peringatan Hari Jadi ke-115 Pemerintah Kabupaten Jombang yang sekaligus disinergikan dengan Peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025. Satu apel untuk dua peringatan besar—sebuah momentum yang memadukan semangat sejarah dan spiritualitas dalam satu tarikan napas kebersamaan.

Sejak pagi, halaman sekolah berubah menjadi lautan kain sarung dan busana muslim. Para siswa laki-laki tampak gagah dengan sarung dan kemeja lengan panjang, sementara siswi-siswi muslimah tampak anggun dalam balutan busana muslimah yang santun. Mereka yang beragama selain Islam pun tampil rapi dan sopan, mencerminkan wajah toleransi yang hidup di sekolah kami—miniatur dari masyarakat Jombang yang majemuk namun harmonis.

Di tengah suasana khidmat itu, ada satu momen yang membuat dada saya bergetar. Dari atas podium apel, pandangan saya tertuju pada Caraka Shankara, putra pertama saya, yang berdiri di barisan tengah kelas XII-10. Ia tampak gagah dengan sarung biru tua, kemeja biru muda, dan peci hitam. Sejenak saya terdiam, menatapnya dengan perasaan haru dan penuh syukur. Dalam hati saya berdoa lirih, “Ya Allah, semoga ini menjadi titik balik keshalihan putraku, Caraka. Jadikan ia anak yang berakhlak, cinta ilmu, dan berakhir dengan husnul khotimah di sekolah ini. Aamiin.”

Saat berjalan menuju podium apel di tengah lapangan, terdengar suara lirih beberapa siswa dari barisan depan. “Hei, iku lho Caraka gede! Caraka gede!” Suara itu diiringi tawa kecil. Saya tahu, mereka sedang menggoda Caraka dengan cara khas remaja. Maklum, mereka tahu saya adalah ayahnya. Alih-alih terganggu, saya justru tersenyum kecil. Momen itu terasa hangat dan manusiawi—sebuah warna kecil di tengah acara yang begitu resmi.

Apel dimulai sekitar pukul 07.15. Cuaca terasa menyengat. Panas matahari seperti ingin ikut hadir dalam perayaan, menyoroti setiap wajah yang berdiri di bawahnya. Karena itu, saya menyesuaikan nada orasi dengan gaya yang lebih tegas dan berapi-api agar peserta apel tetap fokus, mengalihkan perhatian dari panas yang membakar menjadi semangat yang membara.

Saya memulai amanat dengan sejarah singkat Kabupaten Jombang—bahwa hari jadi daerah ini ditetapkan berdasarkan Besluit Hindia Belanda No. 25 tanggal 21 Oktober 1910. Sejak saat itu, Jombang tumbuh menjadi kabupaten yang kaya nilai sejarah, budaya, dan religiusitas. Usia 115 tahun bukan sekadar angka, tetapi cermin perjalanan panjang penuh perjuangan dan pengabdian. Momentum ini, saya sampaikan, bukan hanya untuk bernostalgia, tetapi untuk memperkuat komitmen melayani rakyat dengan sepenuh hati.

Setelah itu, saya membawa peserta apel pada makna yang lebih mendalam: identitas Jombang sebagai Kota Santri. Saya katakan bahwa julukan “Kota Santri” bukan sekadar simbol kebanggaan, melainkan cerminan sejarah panjang di mana nilai-nilai keislaman tumbuh subur di tanah yang juga menjunjung tinggi kebinekaan. Menariknya, kata santri sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Sanskerta—sebuah bukti bahwa istilah ini lahir dari akar kebudayaan Nusantara yang terbuka terhadap perbedaan.

Karena itu, menyebut Jombang sebagai Kota Santri berarti menegaskan semangat keterbukaan, kemajemukan, dan harmoni antara iman, ilmu, dan budaya. Nilai-nilai kesantrian bukan hanya milik umat Islam, tetapi juga bagian dari karakter luhur bangsa: cinta tanah air, hormat kepada guru, berakhlak mulia, dan menjunjung persaudaraan. Menjadi santri sejati berarti menjaga keseimbangan antara religiusitas dan kemanusiaan, antara keislaman dan kenusantaraan.

Saya juga menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, ulama, dan pesantren. Di tengah perubahan zaman yang serba cepat, pesantren tidak boleh dilihat sebagai lembaga tradisional semata, tetapi sebagai sumber energi moral dan intelektual bagi bangsa. Pemerintah perlu menggandeng pesantren dalam mengembangkan pendidikan karakter, ekonomi kerakyatan, dan literasi kebangsaan. Sebab, santri bukan masa lalu Indonesia—mereka adalah masa depannya.

Di akhir amanat, saya mengajak seluruh peserta apel untuk bersama-sama mewujudkan “Jombang yang Maju, Religius, dan Berkarakter Santri.” Di usia ke-115 ini, saya menyerukan agar seluruh warga menjaga persatuan, memperkuat gotong royong, dan menanamkan nilai kejujuran serta pelayanan. Saya akhiri amanat dengan doa agar Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah kepada Kabupaten Jombang dan seluruh warganya.

Hari itu saya belajar sesuatu yang penting: bahwa tugas dan keluarga, sejarah dan harapan, bisa berpadu dalam satu ruang dan waktu. Bahwa dari podium yang panas di bawah matahari, ada pesan yang lebih dalam daripada sekadar peringatan hari jadi—yaitu tentang cinta, doa, dan pengabdian yang tidak pernah lekang oleh waktu.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar