[Jombang, Pak Guru NINE] - Menitipkan anak kepada seorang kyai dan
memondokkan mereka di pesantren bukanlah perkara ringan. Itu bukan sekadar
urusan memilih lembaga pendidikan, melainkan keputusan ruhani yang dalam. Di
sana ada ikrar batin, doa, restu, dan kepercayaan spiritual yang mengalir dari
hati orang tua kepada sosok kyai—seorang
alim yang dipercaya menjadi “orang tua kedua” bagi sang anak. Maka ketika
seseorang melecehkan figur kyai,
sejatinya ia sedang menyinggung perasaan ribuan hati orang tua yang telah
menyerahkan masa depan anaknya di bawah bimbingan mereka. Dan inilah mengapa
tayangan “Xpose Uncensored” Trans7 pada 13 Oktober 2025 bukan hanya menimbulkan
kegaduhan, tetapi membangkitkan luka lama dan kemarahan kolektif kaum
santri.
Program
yang seharusnya mengusung semangat jurnalisme
investigatif itu justru tampil dengan narasi dan gaya penyajian
yang ngawur. Dalam salah satu segmennya, sosok kyai digambarkan secara sinis, disertai
visual dan caption
yang merendahkan, seolah kyai
adalah figur yang eksploitatif dan dunia pesantren penuh praktik gelap. Pembaca
naskahnya menggunakan gaya satire dan intonasi yang mengejek, sementara
visualisasi tayangannya memberi kesan buram dan mencurigakan terhadap tradisi
pesantren. Ini bukan “salah tayang”. Ini penghinaan yang sistematis—terlebih
muncul hanya beberapa hari sebelum peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober,
di tengah duka umat atas musibah di Pondok Pesantren Al-Khozini yang masih menyayat
di hati
masyarakat.
Kemarahan
yang meledak dari kalangan santri,
wali santri,
Nahdlatul Ulama, dan masyarakat umum bukanlah reaksi emosional semata. Ia
adalah bentuk perlawanan
moral terhadap upaya pembunuhan karakter yang mengusik simbol-simbol
suci pendidikan Islam tradisional. Hubungan antara kyai, santri, dan wali santri tidak
bisa disamakan dengan hubungan kepala sekolah, murid, dan orang tua murid. Ini
bukan sekadar sistem pendidikan, melainkan ikatan
ruhani dan adab yang telah berakar ratusan tahun dalam peradaban
Islam Nusantara. Menghina kyai
berarti mengguncang fondasi spiritual yang selama ini menjadi penjaga akhlak
dan keseimbangan sosial bangsa.
Yang
membuat tayangan Trans7 ini terasa begitu menyakitkan adalah karena pola naratifnya
mirip dengan strategi lama yang digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)
pada masa-masa gelap sejarah bangsa. Dulu, PKI menggunakan propaganda yang
menampilkan kyai
dan pesantren sebagai pihak kolot, feodal, bahkan penghambat kemajuan. Mereka
menciptakan narasi-narasi sinis, menyebarkan cerita rekaan yang melecehkan kyai, dengan tujuan
menurunkan kewibawaan ulama di mata rakyat. Dan kini, meski dengan format
modern dan kemasan media massa, pola itu terasa diulang kembali: fokus pada
hal-hal sensasional, menampilkan visual pelecehan, mengosongkan konteks
sejarah, dan membangun framing jahat terhadap simbol-simbol keagamaan.
Tidak
heran bila publik segera mengaitkan tayangan “Xpose Uncensored” dengan “pola
lama” propaganda anti-ulama. Ingatan kolektif masyarakat pesantren masih
menyimpan trauma sejarah ketika
banyak kyai
dan santri menjadi korban kekerasan kelompok yang memusuhi agama. Maka ketika
hari ini muncul tayangan yang seolah mengulang pelecehan terhadap kyai, masyarakat
tidak bisa tinggal diam. Mereka melihatnya bukan sekadar sebagai kesalahan
jurnalistik, tetapi ancaman terhadap nilai, identitas, dan kehormatan mereka.
Ada
pula faktor kultural dan spiritual yang membuat reaksi publik begitu keras. Di
Indonesia, posisi kyai
bukan hanya guru agama, tetapi penjaga moral publik. Beliau adalah sumber doa,
penuntun arah, dan teladan dalam ketenangan serta kebijaksanaan. Saat seorang kyai dihina di
media, itu bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi serangan terhadap simbol peradaban Islam
Nusantara. Terlebih ketika yang diserang adalah KH. Anwar Manshur,
pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo dan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur—seorang alim sepuh yang
dikenal lembut, penuh kasih, dan sangat dihormati lintas golongan.
Masyarakat
pesantren dan NU kemudian merespons secara kolektif. Mereka menuntut
klarifikasi, meminta Trans7 bertanggung jawab, dan menyerukan pemboikotan
terhadap Trans7 dan aksi
damai sebagai bentuk protes moral. Reaksi ini bukan anarkis, tetapi
beradab—sesuai ajaran ta’dzim
(penghormatan) yang telah diajarkan kyai-kyai
mereka. Santri tidak membalas penghinaan dengan cacian, tetapi dengan
argumentasi dan sikap tegas. Mereka menunjukkan bahwa cinta kepada kyai adalah bentuk
kesetiaan kepada ilmu dan tradisi kebaikan.
Di
tengah derasnya arus media modern, masyarakat kini semakin sadar bahwa narasi
publik bisa menjadi alat propaganda halus. Media tidak lagi netral; ia bisa
memproduksi opini, memengaruhi persepsi, bahkan mengubah cara pandang orang
terhadap agama dan tokoh-tokohnya. Karena itu, perlawanan terhadap tayangan
“Xpose Uncensored” bukan sekadar soal marah, tetapi kesadaran untuk menjaga
marwah spiritual bangsa dari racun narasi yang menyesatkan.
Bagi
komunitas pesantren, penghormatan kepada kyai
bukanlah fanatisme buta, melainkan wujud cinta kepada ilmu dan pembimbing
ruhani. Dalam kyai
melekat doa, barakah, dan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi keislaman
masyarakat Indonesia. Pesantren adalah benteng akhlak, tempat menempa generasi
agar cerdas sekaligus beradab. Maka melecehkan pesantren sama dengan
mengguncang salah satu pilar kebudayaan bangsa.
Apa
yang dilakukan Trans7 melalui program itu sejatinya membuka mata banyak pihak:
bahwa masih ada kelompok atau individu yang tidak memahami makna ta’dzim dan barakah dalam
kehidupan beragama. Mereka mengira pesantren adalah institusi tertutup, padahal
di situlah tumbuh akar moral bangsa ini. Mereka mengira kyai hanyalah sosok
tradisional, padahal dari tangan kyai-kyai
lahir para pemimpin, cendekiawan, dan pejuang kemerdekaan.
Kini,
menjelang Hari Santri Nasional, umat Islam kembali diingatkan untuk menjaga
warisan itu. Perlawanan terhadap narasi buruk Trans7 bukanlah semata balas
dendam, melainkan peringatan agar media kembali pada etika, objektivitas, dan
penghormatan terhadap nilai-nilai luhur bangsa. Karena ketika layar televisi
mulai merendahkan kyai,
di situlah sesungguhnya nurani kita sedang diuji: apakah kita masih punya rasa
hormat kepada ilmu dan para penjaganya.[pgn]
Nine Adien Maulana, Santri Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas (1992-1995)-Santri Kaliwates Angkatan 9
(1995-1998)
0 Komentar