Ayo Melangkah, Bukan Sekadar Menonton

Pada akhirnya, sekolah terbaik adalah kehidupan itu sendiri. Matsama, pesantren, riset, teater, OSIMA, dan MSQ hanyalah bab-bab dalam satu buku besar bernama proses. 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] – Saat Matsama (Masa Taaruf Madrasah) baru saja usai di MAN 2 Kota Malang ketika Taliya Kayana, anak kedua kami bercerita tentang OSIM (Organisasi Siswa Intra Madrasah), Teater, dan Riset—tiga pintu yang memanggilnya sekaligus. Sebagai ayah, saya bangga. Ketertarikan itu pertanda ia ingin hadir penuh, bukan sekadar menjadi penonton dalam panggung sekolahnya. Namun kebanggaan tak boleh membuat kami abai pada irama baru yang harus ia jalani: kehidupan Ma’had Al-Qalam, dengan disiplin, kebersamaan, dan tanggung jawab yang tak bisa dinegosiasikan.

Karena itu, saya menyarankan ia menahan langkah sejenak. Bukan memadamkan api, tapi mengarahkan nyala. Hidup di pesantren menuntut ritme—bangun, mengaji, belajar, berorganisasi—semua berkelindan. Dalam ritme yang padat, memilih itu seni. Bila harus memprioritaskan, saya mendorongnya ke Riset dan Teater. OSIM memang baik, tetapi kepemimpinan bukan monopoli satu organisasi. Di Ma’had, ada OSIMA—Organisasi Santri Ma’had—ruang belajar manajemen diri, kerja tim, dan pengabdian yang tak kalah membentuk karakter.

Riset melatih ketajaman nalar. Ia memanggil siswa untuk bertanya lebih dalam: mengapa sesuatu terjadi, bagaimana prosesnya, apa dampaknya bagi masyarakat. Ini laboratorium berpikir kritis yang mengasah keberanian menyusun argumen dan menuliskannya dalam bentuk ilmiah. Teater, di sisi lain, adalah sekolah rasa. Di panggung, empati dipraktikkan; ekspresi, keberanian, dan kreativitas ditempa. Keduanya, bila digandengkan, sangat relevan bagi jurusan IPS yang dipilih Taliya: nalar yang jernih bertemu kepekaan sosial—sebuah pasangan yang akan menolongnya membaca realitas dan menyuarakan makna.

Tak lama, Taliya mengabari lagi: ia diminta memilih konsentrasi riset—Sosiologi Humaniora, Psikologi dan Pendidikan, Ekonomi dan Manajemen, Sejarah, Seni dan Budaya, atau Bahasa dan Sastra. Saya menyarankan Sosiologi. Di sana, ia akan menemukan jembatan yang menghubungkan individu, budaya, dan struktur sosial. Namun saya juga menekankan satu bekal yang sering diremehkan: bahasa dan sastra. Tanpa keduanya, riset mudah kering, analisis terasa dingin. “Kalau bisa mengawinkan sosiologi dengan bahasa,” saya bilang, “narasimu akan bernyawa, menggugah, dan menggerakkan.”

Sementara itu, Taliya mendaftar seleksi calon pengurus OSIM MAN 2 Kota Malang. Ia menyiapkan berkas, menata jawaban, berlatih. Namun tim seleksi memutuskan lain—perjalanannya berhenti di tahap itu. Sejak awal, saya memang lebih mendorongnya ke OSIMA, bukan untuk mengecilkan OSIM, melainkan karena saya melihat panggung pengabdian yang lebih kongruen dengan kesehariannya di Ma’had. Gengsi mungkin tak semengkilap OSIM, tetapi substansi kepemimpinan dan keorganisasiannya tak kalah kaya—bahkan sering lebih membumi.

Kegagalan di seleksi OSIM tidak mematahkan langkahnya. Ia tetap giat belajar, tekun mencari informasi lomba—dari artikel hingga puisi. Kini ia bersama tim sedang menyiapkan diri untuk Musabaqah Syarhil Quran (MSQ) yang akan diselenggarakan oleh Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Di sini, perpaduan nalar, rasa, dan bahasa kembali diuji: merangkai pesan Al-Qur’an menjadi narasi yang menyentuh, logis, dan relevan. Saya melihat, jalan memutar kadang justru memantapkan pijak; bukan kalah, hanya sedang menemukan pintu yang tepat.

Ahad, 12 Oktober 2025, kabar baru datang lewat WA: Taliya resmi menjadi pengurus OSIMA, dipercaya di bidang Serba Usaha. Saya tak tahu detail tugasnya, tapi saya menangkap isyarat yang jelas—ini ranah kreativitas praktis ekonomi: mengolah gagasan menjadi program ekonomi, merancang aktivitas bernilai, mungkin juga mengelola kewirausahaan santri. Serba Usaha adalah latihan berpikir “end-to-end”: dari ide, perencanaan, eksekusi, hingga evaluasi. Ini bukan teori di papan tulis, melainkan keterampilan hidup yang mencetak tanggung jawab dan ketekunan.

Kepada Taliya, saya sampaikan: jangan ragu berkhidmat. Pengabdian tidak selalu berdiri di panggung paling terang; sering kali ia tumbuh di balik panggung—di ruang rapat kecil, di daftar inventarisasi, atau di meja evaluasi program yang sepi. Saya berbagi kisah: seorang mantan ketua asrama MANPK Jember—sezaman dengan saya—kini memimpin lembaga sebesar KPU RI. Bukan kebetulan, melainkan akumulasi kepercayaan, disiplin, dan jam terbang organisasi. Pengalaman kecil hari ini bisa menjadi fondasi keputusan besar di masa depan.

Di titik ini, saya belajar sesuatu yang mungkin perlu sering kita ulang kepada anak-anak: memilih bukan berarti menutup kemungkinan, melainkan menata prioritas. OSIM, Teater, Riset, OSIMA—semuanya baik. Namun waktu, energi, dan amanah menuntut kebijaksanaan. Dengan fokus pada Riset dan Teater, ditopang OSIMA sebagai lokus kepemimpinan, Taliya sedang menenun kompetensi yang saling menguatkan: berpikir, berbahasa, berorganisasi, dan beraksi.

Pada akhirnya, sekolah terbaik adalah kehidupan itu sendiri. Matsama, pesantren, riset, teater, OSIMA, dan MSQ hanyalah bab-bab dalam satu buku besar bernama proses. Tugas orangtua bukan menyetir, melainkan memastikan bensin nilai tetap penuh: kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan keberanian mencoba lagi. Gagal di seleksi OSIM? Baik. Itu bukan garis finis, melainkan tanda koma menuju kalimat berikutnya.

Maka, melangkahlah, Taliya. Bukan untuk tampil gemilang setiap saat, tetapi untuk hadir penuh pada setiap amanah. Rawat nalar dengan riset, hangatkan rasa dengan teater, latih kepemimpinan di OSIMA, dan jaga kata-kata agar selalu membawa cahaya. Suatu hari, ketika halaman-halaman itu dibuka kembali, kamu akan melihat satu pola yang konsisten: kamu tidak pernah sekadar menonton. Kamu memilih berjalan dan memberi makna.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar