Merawat Damai, Merangkul Perbedaan dari Masjid Ahmad Dahlan

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KUB) Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu siang, 8 Oktober 2025, halaman Masjid Ahmad Dahlan SMA Muhammadiyah 1 Jombang terasa lebih hangat dari biasanya. Di tengah deretan seragam almamater sekolah, 64 pelajar delegasi SMA/MA negeri dan swasta se-Kabupaten Jombang duduk melingkar, menyimak serius. Mereka datang bukan sekadar untuk menghadiri kegiatan formal, melainkan untuk belajar satu keterampilan hidup yang akan mereka bawa jauh melebihi bangku sekolah: seni merawat toleransi dan kerukunan antar umat beragama.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KUB) Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang. Pukul 13.00 WIB acara dimulai. Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi, Lc., M.A. (Ketua Umum) berhalangan hadir karena sebelumnya telah terjadwal agenda di Probolinggo, namun mandat disampaikan kepada H. Ahmad Faqih, M.Pd.I (Sekretaris) untuk mewakili dan memberikan pidato pengantar. Dalam pengantar yang ringkas namun berbobot itu, beliau menggarisbawahi prinsip dasar relasi antariman: berlaku adil kepada siapa pun, menjunjung etika dialog, serta aktif menolak ekstremisme—kerangka yang bersandar pada nilai-nilai agama sekaligus kebangsaan.

Selepas pengantar, kendali forum beralih kepada H. Zulfikar Dawam Ikhwanto, M.Si. (Ketua Komisi KUB) yang menyampaikan materi inti “Pendidikan dan Penyuluhan: Pentingnya Toleransi dan Kerukunan Antar Umat Beragama.” Ia mengajak peserta menengok kembali pilar rumah besar Indonesia: Pancasila, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menegaskan kebebasan beragama sekaligus persaudaraan kebangsaan. Toleransi, katanya, bukan mencampuradukkan keyakinan; toleransi adalah kesediaan untuk saling menghormati perbedaan sambil bekerja sama dalam kebaikan.

Bahasa Zulfikar mudah dipahami: toleransi bukan konsep abstrak; ia hadir di meja makan tetangga berbeda keyakinan, di ruang kelas tempat debat dilatih dengan santun, dan di jalanan ketika kita memilih menahan diri daripada terpancing amarah. Di titik ini, agama memberikan panduan yang sangat praktis. Sikap adil kepada siapa pun, larangan mencela keyakinan orang lain, serta anjuran berdialog secara bijak adalah etika sosial yang, bila dirawat, mengubah perbedaan menjadi kerja sama. Di forum ini, etika itu tidak hanya dihafalkan, tetapi dipraktikkan: peserta dilatih menyusun argumen, mendengar aktif, dan merumuskan “aksi kecil” toleransi di keluarga serta sekolah.

Mengapa pendidikan dan penyuluhan menjadi strategis? Karena toleransi adalah kebiasaan, bukan momen insidental. Sekolah, keluarga, dan komunitas menjadi tiga ruang latihan karakter. Kurikulum bisa memasukkan proyek multikultural; OSIS dapat merancang bakti sosial lintas sekolah; keluarga bisa memulai dari obrolan makan malam: “Bagaimana cara menghormati teman yang berbeda ibadah?” Kebiasaan kecil ini, saat berulang, menumbuhkan rasa aman, mempererat gotong royong, dan mencegah konflik yang merugikan siapa pun. Inilah jalur sunyi yang membangun damai secara berkelanjutan.

Argumennya sederhana tapi kuat: bangsa yang rukun menghemat energi sosial yang mahal. Ketika kebencian berkurang, ruang kolaborasi terbuka. Dana dan waktu yang biasanya tersedot untuk memadamkan konflik bisa dialihkan untuk inovasi, beasiswa, atau layanan publik. Dengan kata lain, toleransi bukan hanya moral baik, melainkan strategi pembangunan. Ia menambah “modal sosial” sebuah daerah—kepercayaan, jaringan, dan solidaritas—yang menjadi prasyarat kemajuan.

Acara ini juga menunjukkan ekosistem kepemimpinan yang kompak. Sejumlah pengurus yang hadir adalah H. Ilham Rohim, S.Ag., M.HI. (Sekretaris Umum); H. Herly Yusuf Wibisono, MM., Pd. (Bendahara Umum); Nine Adien Maulana, M.Pd.I serta H. Ahmad Faqih, M.Pd.I (Sekretaris); H. Zulfikar Dawam Ikhwanto, M.Si. (Ketua Komisi KUB); H. Yusuf Mu’addin, M.Pd.I (Sekretaris Komisi KUB); dan Sugeng Santoso, S.Pd. (Anggota Komisi KUB). Kolaborasi lintas peran ini memberi teladan: kerukunan dimulai dari para penggeraknya.

Bagian paling hidup dari forum terjadi saat tanya jawab. Para pelajar mengajukan pertanyaan kritis: bagaimana bersikap ketika humor menyinggung agama beredar di grup kelas? Apa batas antara dakwah dan ujaran kebencian? Bagaimana menolak ajakan yang mengarah pada perundungan berbasis agama tanpa mempermalukan teman? Diskusi-diskusi ini penting: ia melatih keberanian untuk berkata “tidak” pada kebencian, sambil tetap “ya” pada hormat dan persahabatan. Jawaban narasumber berputar pada tiga strategi: (1) perkuat persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan; (2) biasakan dialog dan kerja sama lintas iman dalam kegiatan nyata; (3) tolak radikalisme dan polarisasi, serta laporkan bila ada pelanggaran hukum.

Dari ruang inti Masjid Ahmad Dahlan, kita belajar bahwa narasi damai bisa dituturkan dengan ramah, argumentatif, dan membumi. Kita tak perlu menunggu viral untuk mulai; cukup memulai dari hal-hal kecil: memilih kata-kata yang tidak merendahkan, mengirim ucapan selamat pada hari besar agama lain, hadir saat tetangga butuh bantuan, atau mengajak teman berbeda iman kerja bareng proyek kemanusiaan di sekolah. Tindakan ini sederhana, tetapi bila dilakukan konsisten, ia membentuk kultur.

Kegiatan siang itu mungkin hanya beberapa jam, namun dampaknya dapat bertahun-tahun. Para pelajar pulang membawa gagasan sekaligus kompas moral: bahwa Indonesia kuat justru karena beragam, dan kerukunan adalah keputusan yang harus dirawat setiap hari. Mereka juga membawa bekal metodis—etika berdialog, peta kerja sama, dan contoh konkret praktik toleransi—yang sudah dirangkum dalam materi penyuluhan.

Menutup narasi ini, mari kita ambil satu kesepakatan sederhana: setiap dari kita adalah “duta kecil” kerukunan. Di kelas, kantor, rumah, atau ruang digital, kita punya pilihan untuk menyiram atau membakar. Pilih menyiram: dengan adil, santun, dan sigap berkolaborasi dalam kebaikan. Sebab damai tidak datang dari langit sebagai hadiah; ia tumbuh dari kebiasaan baik yang terus diulang—hari ini, besok, dan seterusnya.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar