Ketika Sarung Santri Bertemu Sepatu Resmi

 

Dalam tradisi santri, sarung tidak pernah dimaksudkan sebagai pakaian formal yang mengikat. Ia simbol keikhlasan dan keseharian. Maka, ketika sarung dibawa ke ruang-ruang formal seperti kantor atau aula upacara, yang perlu disesuaikan bukan ruh sarungnya, melainkan cara kita menempatkan diri agar tetap pantas tanpa menghilangkan makna.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap kali tiba peringatan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober, suasana di kantor-kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah berubah. Para laki-laki Muslim mengenakan sarung, dipadukan dengan baju koko atau kemeja lengan panjang, sementara para perempuan mengenakan busana muslimah. Instruksi ini tentu bukan tanpa alasan. Sarung adalah simbol identitas santri—pakaian sederhana yang melekat dalam keseharian para penuntut ilmu di pondok pesantren. Ia bukan sekadar kain yang dililit di pinggang, melainkan lambang kesahajaan, kesopanan, dan keluwesan dalam menjalani kehidupan.

Saya pribadi tumbuh dalam tradisi sarung sejak kecil. Lahir di lingkungan keluarga santri, saya sudah terbiasa melihat ayah, kakek, dan para tetangga mengenakan sarung dalam berbagai aktivitas harian—dari salat berjamaah di masjid, mengaji di langgar, hingga duduk santai di teras rumah. Bahkan, selama enam tahun menimba ilmu dalam habitat santri—tiga tahun di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas dan tiga tahun di MAPK Jember—sarung menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian saya. Maka, ketika berbicara tentang kepantasan dalam berpakaian sarung, saya tidak hanya menilainya dari segi estetika, melainkan juga dari sisi kultural dan filosofisnya.

Oleh karena itu, saya sepenuhnya mendukung kebijakan yang mewajibkan penggunaan busana khas santri pada momen Hari Santri. Namun di balik dukungan itu, saya merasa perlu menyampaikan satu hal yang sering terabaikan: soal kepantasan dalam memadukan sarung dengan sepatu resmi dan kaos kaki. Di mata saya, kombinasi ini terasa janggal, bahkan bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam sarung itu sendiri.

Sarung adalah simbol kesederhanaan dan keluwesan. Ia dibuat untuk memberi kebebasan bergerak bagi pemakainya. Santri bisa melangkah ke masjid, duduk bersila di serambi, atau berjalan cepat menuju kelas tanpa kehilangan kenyamanan. Dalam konteks itu, sarung jelas bukan busana “official”—bukan pakaian yang diciptakan untuk berdiri kaku di balik meja kantor dengan sepatu mengilap dan kaos kaki hitam. Maka, ketika sarung dipadukan dengan sepatu pantofel, muncul ketidakharmonisan visual dan makna.

Bersepatu dan berkaos kaki adalah bagian dari budaya berpakaian formal—mewakili dunia birokrasi, rapat resmi, dan etika profesional perkantoran. Sementara sarung adalah pakaian rakyat, pakaian ibadah, dan pakaian santai yang penuh nilai spiritual. Ketika keduanya disatukan tanpa memahami karakter masing-masing, lahirlah ketimpangan: antara kesederhanaan dan kemewahan, antara keluwesan dan kekakuan.

Saya pernah merasakannya sendiri. Saat itu, pimpinan sekolah meminta seluruh guru mengenakan sarung lengkap dengan sepatu resmi dalam rangka peringatan Hari Santri. Awalnya, saya menuruti dengan ikhlas. Namun, sepanjang hari, rasa risih itu tak tertahankan. Setiap langkah terasa kikuk. Ujung sarung menutupi sepatu, dan ketika duduk, kaos kaki hitam itu tampak seperti ingin berteriak: “Aku salah tempat!” Ada benturan antara akal sehat dan kepatuhan. Akal saya menolak, tapi hati saya memilih patuh.

Bagi saya, memaksakan sarung berpadu dengan sepatu resmi sama tidak pantasnya seperti seseorang yang memakai seragam bela diri lengkap lalu mengenakan sepatu pantofel. Kita tahu, pakaian bela diri itu identik dengan kaki telanjang—melambangkan kesiapan, keseimbangan, dan kontak langsung dengan bumi. Jika pun harus beralas kaki, sandal gunung atau sepatu khusus yang fleksibel adalah pilihan logis. Demikian pula sarung. Pantasnya ia dipadukan dengan sandal selop, sandal kulit, atau sepatu sandal yang tetap menjaga sopan santun namun tidak mengkhianati ruh kesederhanaannya.

Kepantasan berpakaian sebenarnya tidak hanya soal penampilan luar, tapi juga soal pemahaman terhadap fungsi dan karakter pakaian itu sendiri. Dalam tradisi santri, sarung tidak pernah dimaksudkan sebagai pakaian formal yang mengikat. Ia simbol keikhlasan dan keseharian. Maka, ketika sarung dibawa ke ruang-ruang formal seperti kantor atau aula upacara, yang perlu disesuaikan bukan ruh sarungnya, melainkan cara kita menempatkan diri agar tetap pantas tanpa menghilangkan makna.

Kita boleh menyesuaikan sarung dengan atasan yang rapi—kemeja putih, peci hitam, atau jas panjang misalnya—tetapi jangan sampai kita menyalahi nilai yang melekat pada sarung itu sendiri hanya demi terlihat “resmi”. Jika tujuannya ingin menunjukkan semangat santri, maka yang ditampilkan bukan sekadar pakaian, melainkan juga sikap—tawadhu’, sopan, dan sederhana. Sepatu pantofel tidak membuat seseorang lebih santri; justru bisa membuatnya kehilangan esensi kesantrian yang sejati.

Maka, jika pemerintah daerah atau instansi pendidikan ingin mempertahankan tradisi ini, hendaknya juga memahami filosofi di balik busana tersebut. Tidak semua hal yang tampak rapi berarti pantas, dan tidak semua yang sederhana berarti tidak layak. Pakaian yang pantas adalah pakaian yang sesuai konteks dan nilai. Dalam konteks Hari Santri, keindahan sarung justru terpancar ketika ia tampil apa adanya: sederhana, bersahaja, namun bermartabat.

Akhirnya, sarung dan sepatu resmi mungkin bisa bertemu dalam satu kesempatan, tetapi tidak dalam satu tubuh yang sama. Biarlah sarung tetap menjadi lambang kesederhanaan, bukan alat pencitraan formalitas. Karena sejatinya, makna kesantrian tidak diukur dari kilau sepatu yang dipoles, melainkan dari keikhlasan langkah yang mengiringinya.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang - Santri Kaliwates Angkatan 9

Posting Komentar

0 Komentar