Belajar dengan CINTA: Dari Fenomena ke Aksi Nyata

 

Karena tidak bisa mengikuti Raker ini, saya pun menyampaikan ucapan selamat melalui flyer ini sambil melengkapi mater-materi LMS Belajar Alur CINTA yang terpasang di blog ini.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Di tengah kesibukan dunia pendidikan yang semakin kompleks, guru tidak hanya dituntut menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menyalakan api cinta dalam diri peserta didik. Cinta pada ilmu, cinta pada nilai-nilai, dan pada akhirnya cinta pada Sang Pencipta. Inilah yang melatari lahirnya gagasan alur belajar CINTA (Cermati Fenomena, Integrasi dengan Ilmu, Nalar Islami, Tindak Nyata, Apresiasi & Refleksi) sebagai salah satu strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dirancang bukan sekadar untuk “mengajar,” tetapi untuk menghidupkan nilai.

Awal mula lahirnya gagasan ini bukan dari ruang sidang besar atau seminar akademik megah, melainkan dari sebuah momen sederhana: saat penulis tidak bisa menghadiri Rapat Kerja DPD Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia Kabupaten Jombang di Pacet, Mojokerto. Alih-alih larut dalam rasa kehilangan, waktu itu justru menjadi ruang produktif. Di rumah, penulis melanjutkan pembangunan LMS sederhana di www.pakgurunine.com, terinspirasi dari karya Pak Abdul Muis Joenaidy dengan LMS berbasis strategi belajar MODERAT.

Strategi MODERAT (Muhasabah, Observasi, Dalami Materi, Elaborasi, Ruang Aktualisasi, Afirmasi & Refleksi, Tes Kompetensi) mengajarkan bahwa belajar agama tidak cukup hanya dipahami, tetapi perlu dialami. Dari sinilah muncul ide baru yang lebih personal, yakni alur belajar CINTA. Bukan sekadar singkatan, CINTA menggambarkan esensi pendidikan Islam, yakni menumbuhkan kasih dalam memahami, mengamalkan, dan menyebarkan ajaran agama yang diungkapkan dengan 5 langkah sebagai berikut:

1.  Cermati Fenomena: Belajar dari Kehidupan Nyata

Tahap pertama adalah Cermati Fenomena. Peserta didik diajak peka terhadap realitas sekitar: perilaku jujur di kantin sekolah, budaya gotong royong di lingkungan rumah, atau bahkan kebersihan masjid di sekitar tempat tinggal.

Mengapa ini penting? Karena agama sejatinya hadir untuk membimbing manusia dalam kehidupan nyata, bukan berhenti di lembaran buku. Dengan mengamati, siswa belajar bahwa Islam bukan hanya teori, tetapi hadir dalam denyut kehidupan sehari-hari.

2.  Integrasi dengan Ilmu: Menemukan Akar Nilai

Tahap berikutnya, fenomena nyata tadi dihubungkan dengan teks suci: ayat Al-Qur’an atau hadis. Misalnya, saat siswa menemukan kasus kurangnya kepedulian terhadap kebersihan masjid, mereka bisa mengaitkannya dengan hadis tentang kebersihan sebagai bagian dari iman.

Integrasi ini memberi pesan kuat bahwa ilmu agama tidak terpisah dari kehidupan, melainkan menjadi kaca pembesar yang membantu siswa memahami realitas dengan perspektif ilahi.

3.  Nalar Islami: Berpikir Kritis dan Argumentatif

Tahap ketiga adalah Nalar Islami. Di sini siswa tidak hanya menelan informasi, tetapi diajak berpikir kritis. Mengapa fenomena itu terjadi? Apa dampaknya? Bagaimana Islam memberi solusi?

Diskusi kelompok, mind map, atau tabel analisis menjadi alat bagi siswa untuk melatih logika berpikir yang sehat sekaligus berbasis dalil. Mereka tidak hanya menjadi penghafal, melainkan juga pembelajar aktif yang mampu berargumentasi dengan nilai Islami.

Inilah keterampilan abad 21: critical thinking yang berpadu dengan spiritual thinking.

4.  Tindak Nyata: Dari Kata ke Aksi

Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Tahap keempat menekankan pentingnya aksi nyata. Siswa diajak melakukan proyek kecil: kampanye kebersihan, program sedekah sederhana, atau membuat konten edukasi Islami.

Tahap ini melatih keberanian, kepedulian, sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri. Lebih jauh, tindak nyata mengajarkan bahwa belajar agama bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memberi manfaat bagi orang lain.

5.  Apresiasi & Refleksi: Menghargai Proses, Menguatkan Nilai

Tahap terakhir adalah Apresiasi & Refleksi. Presentasi hasil kerja, saling memberikan masukan, dan umpan balik dari guru menciptakan budaya belajar yang penuh penghargaan.

Refleksi pribadi membantu siswa meneguhkan kembali nilai yang mereka peroleh: apa yang paling berkesan, apa yang ingin terus diterapkan, dan bagaimana langkah ke depan. Dengan demikian, belajar agama bukan hanya berhenti pada satu pertemuan, tetapi berlanjut dalam perjalanan hidup sehari-hari.

CINTA sebagai Model Pembelajaran

Jika dilihat dari alurnya, CINTA dapat dikategorikan sebagai model pembelajaran berbasis Experiential Learning (pembelajaran berbasis pengalaman) yang dipadukan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).

Begini rasionalisasinya:

  1. Experiential Learning (Kolb’s Cycle):
    • Cermati Fenomena sejalan dengan Concrete Experience (pengalaman nyata).
    • Integrasi dengan Ilmu dan Nalar Islami sesuai tahap Reflective Observation dan Abstract Conceptualization (merenung lalu mengonsepkan).
    • Tindak Nyata adalah Active Experimentation (menguji dalam tindakan).
      Dengan demikian, CINTA merepresentasikan siklus belajar melalui pengalaman nyata yang diproses menjadi pemahaman mendalam.
  2. Contextual Teaching and Learning (CTL):
    • Siswa belajar menghubungkan fenomena dunia nyata dengan materi agama.
    • Konsep agama tidak berhenti sebagai teori abstrak, tetapi kontekstual dan aplikatif.
    • CTL menekankan belajar bermakna, relevan, dan dekat dengan kehidupan siswa, persis seperti yang dilakukan dalam CINTA.
  3. Konstruktivisme Islami:
    • CINTA membangun pemahaman melalui interaksi aktif antara siswa dengan realitas, teks agama, dan aksi nyata.
    • Guru berperan sebagai fasilitator, bukan satu-satunya sumber pengetahuan.
    • Siswa belajar “membangun” sendiri makna agama dengan nalar dan cinta.

Belajar Agama dengan Hati

Alur CINTA adalah ajakan untuk menjadikan belajar agama sebagai perjalanan penuh makna, bukan sekadar hafalan. Ia mengajarkan siswa untuk merasakan, merenungkan, dan mengamalkan nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Jika MODERAT menekankan pengalaman spiritual yang sistematis, maka CINTA menambahkan dimensi emosional: belajar dengan hati. Sebab pada akhirnya, ilmu agama tidak hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk ditumbuhkan dengan cinta—kepada Allah, Rasul, ilmu, dan sesama manusia.[pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute-GPAI SMAN 2 Jombang yang sedang menyusun LMS Alur CINTA.

Posting Komentar

0 Komentar