Pancasila: Jalan Tengah di Tengah Riuh Ideologi Dunia

 

Pancasila lahir dari rahim sejarah bangsa yang beragam dan penuh dinamika, tetapi dipersatukan oleh semangat gotong royong.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Sejak awal peradaban, manusia selalu mencari sistem terbaik untuk hidup bersama. Dari ekonomi hingga politik, dari moral hingga sosial, lahirlah berbagai ideologi yang menawarkan jalannya masing-masing. Kapitalisme mengusung kebebasan individu, sosialisme menjunjung kepemilikan bersama, komunisme hadir dengan gagasan radikal tanpa kelas, sementara syariat Islam berpijak pada wahyu untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat. Semua hadir dengan kelebihan dan kekurangan. Di tengah riuh ideologi dunia inilah Indonesia menghadirkan sesuatu yang khas: Pancasila.

Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan pandangan hidup yang memayungi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, hingga keadilan sosial. Ia lahir dari rahim sejarah bangsa yang beragam dan penuh dinamika, tetapi dipersatukan oleh semangat gotong royong. Uniknya, Pancasila hadir bukan sebagai salinan ideologi luar, melainkan kristalisasi nilai yang sudah hidup di masyarakat Nusantara. Ia menjadi “jalan tengah” yang merangkul nilai-nilai universal dari ideologi lain tanpa kehilangan jati dirinya.

Kapitalisme memberi kebebasan penuh bagi individu untuk berusaha, tetapi sering melahirkan kesenjangan tajam. Kaya makin kaya, miskin makin tersisih. Sosialisme ingin meluruskan ketimpangan dengan memperkuat peran negara, namun dalam praktiknya tersandung birokrasi dan korupsi. Komunisme, yang lahir dari sosialisme, lebih radikal dengan meniadakan kepemilikan pribadi. Alih-alih menghadirkan masyarakat tanpa kelas, banyak negara justru jatuh pada kediktatoran. Syariat Islam membawa perspektif lain dengan mengakui kepemilikan pribadi namun membatasinya dengan aturan halal-haram. Ada kepemilikan umum dan negara untuk sektor vital, sementara negara wajib menegakkan keadilan dan mencegah penindasan. Sistem ini menekankan keseimbangan antara material dan spiritual.

Lantas di mana posisi Pancasila? Ia hadir bukan untuk menyalin, melainkan menawarkan sintesis. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bangsa Indonesia berdiri di atas fondasi spiritualitas, berbeda dengan komunisme yang menolak Tuhan dan kapitalisme yang sekuler. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjadi kritik halus terhadap kapitalisme yang abai pada nilai manusia, sekaligus pagar agar negara tidak menindas rakyat sebagaimana dalam sosialisme. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, memperlihatkan bahwa bangsa ini dibangun dari keberagaman, bukan keseragaman.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menawarkan demokrasi khas Indonesia. Ia bukan demokrasi liberal yang hanya menekankan suara mayoritas, bukan pula diktator proletariat, melainkan musyawarah mufakat yang lahir dari budaya gotong royong. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menegaskan komitmen bangsa untuk menghadirkan kesejahteraan yang merata, menjadi titik temu antara kapitalisme yang mengakui kepemilikan pribadi dan sosialisme yang menuntut pemerataan.

Dengan lima sila ini, Pancasila bukan sekadar kompromi politik, tetapi sebuah sintesis ideologis yang menyatukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan. Ia adalah jalan tengah yang tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri, namun tetap berakar pada budaya bangsa sendiri.

Sayangnya, semua keindahan itu sering hanya indah di atas kertas. Dalam kenyataan, kita masih berhadapan dengan korupsi, kesenjangan sosial, intoleransi, dan lemahnya hukum. Ironis, bangsa lain mungkin kagum dengan Pancasila, tetapi kita justru sering mengabaikannya. Karena itu, Pancasila tidak boleh berhenti sebagai hafalan atau slogan. Ia harus hadir dalam praktik nyata: di ruang kelas, di kantor, hingga ruang digital.

Menghidupkan Pancasila berarti mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sila keadilan sosial bisa ditransformasikan menjadi kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Sila persatuan bisa dijalankan dengan sikap toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Sila ketuhanan bisa diwujudkan dengan menjadikan nilai moral dan spiritual sebagai rambu dalam pengambilan keputusan. Pancasila harus hidup, bukan hanya dalam simbol, tetapi dalam perilaku nyata bangsa.

Dunia saat ini semakin terpolarisasi oleh ideologi. Kapitalisme sering dituding melahirkan kesenjangan, sosialisme rawan otoritarianisme, komunisme banyak gagal dalam praktik. Pancasila bisa menjadi alternatif: fleksibel, terbuka pada modernitas, tetapi tetap berakar kuat pada budaya sendiri. Ia menyeimbangkan kebebasan individu dan kepentingan bersama, material dan spiritual, nasionalisme dan kemanusiaan universal.

Indonesia sebenarnya memiliki modal besar untuk menawarkan inspirasi global. Pancasila bisa menunjukkan bahwa kehidupan dapat dijalani dengan seimbang—antara ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Pesan Pancasila bukan hanya untuk bangsa ini, tetapi juga bagi dunia: bahwa manusia bisa hidup damai tanpa harus terjebak ekstrem kapitalisme atau komunisme, bahwa kesejahteraan bisa diraih tanpa menanggalkan nilai spiritual, dan bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman.

Kini tugas kita bukan lagi memperdebatkan relevansi Pancasila, melainkan menghidupkannya. Di persimpangan ideologi dunia yang sering buntu, Pancasila adalah jalan tengah yang terbuka lebar, penuh harapan, dan siap menuntun kita menuju masa depan yang adil, damai, dan bermartabat. [pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institue - GPAI SMAN 2 Jombang

Posting Komentar

0 Komentar