![]() |
| Mas Niam menjelaskan bahwa sosiologi pengetahuan Islam menempatkan ilmu bukan sekadar teks atau gagasan, tetapi hasil interaksi antara ulama, masyarakat, lembaga, dan zaman. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Peringatan Hari Guru 25 November 2025 tahun ini
terasa jauh lebih bermakna bagi saya. Bukan hanya karena saya sendiri seorang
guru yang merayakan profesi mulia ini, tetapi karena momen itu bertepatan
dengan sebuah peristiwa besar yang melibatkan keluarga dekat: pengukuhan Guru
Besar mas Khoirun Niam dalam Ranting Ilmu Sosiologi Pengetahuan Islam di UIN
Sunan Ampel Surabaya. Mas Niam adalah suami dari Mbak Lilik Royhanah, sepupu saya.
Hubungan keluarga kami membuat undangan itu terasa bukan sekadar formalitas
akademik, tetapi kehormatan yang mengalir langsung dari lingkaran keluarga.
Undangan
itu datang dua pekan sebelumnya melalui pesan WhatsApp yang sederhana namun
penuh makna. Dengan tutur yang halus, mas Niam menulis, “Nyuwun tulung dipun aturaken
dateng Bapak lan Ibu…” Sebuah permohonan yang tidak mungkin kami
abaikan. Saya membalasnya dengan mantap, “InsyaAllah kami akan hadir.” Dan
benar saja, Neng saya—Ririn Eva Hidayati—juga mendapat undangan serupa, membuat
perjalanan kami serasa seperti arak-arakan keluarga yang hendak merayakan
keberhasilan salah satu anggotanya.
Sebagai
orang yang mencintai ilmu, saya sangat menantikan orasi ilmiah mas Niam. Saya
bahkan sempat berniat mengajak salah satu anak saya, Caraka
atau Wacana, untuk
ikut hadir dengan berharap mendapat
keberkahan majelis ilmu itu. Sayangnya, acara sekolah dan asesmen semester
membuat rencana itu harus saya batalkan.
Namun begitu memasuki Gedung KH. Syaifuddin Zuhri Sport Center UINSA Surabaya,
saya merasakan getaran suasana ilmiah yang begitu kuat—suasana yang ingin
sekali saya wariskan kepada anak-anak saya kelak.
Acara
dimulai dengan pengukuhan dua Guru Besar ke-104 dan 105, yaitu Prof. Dra. Wahidah Zein
Br Siregar, MA. Ph.D.
dalam Bidang Sosiologi Gender dan mas Khoirun Niam dalam Bidang Sosiologi
Pengetahuan Islam. Total, UINSA kini memiliki 105 Profesor—angka yang
mencerminkan vitalitas kampus dalam membangun tradisi akademik. Pengukuhan ini
terasa semakin spesial karena berlangsung tepat pada Hari Guru, seolah
menegaskan bahwa guru bukan hanya mengajar, tetapi juga menghasilkan pengetahuan
dan memajukan peradaban.
Puncak
acara itu adalah orasi ilmiah mas Niam yang menandinya sebagai
profesor ke-105 UINSA Surabaya.
Dengan tenang dan penuh wibawa, beliau menyampaikan gagasan besar tentang “Arah Pengembangan Keilmuan
Pesantren (Tinjauan Sosiologi Pengetahuan Islam).” Orasi itu bukan
hanya sebuah paparan akademik, tetapi juga refleksi mendalam tentang perjalanan
panjang pesantren sebagai pusat pengetahuan Islam Nusantara.
Mas
Niam menjelaskan bahwa sosiologi pengetahuan Islam menempatkan ilmu bukan
sekadar teks atau gagasan, tetapi hasil interaksi antara ulama, masyarakat,
lembaga, dan zaman. Melalui pendekatan ini, pesantren dipahami sebagai
ekosistem pengetahuan yang dinamis, bukan monumen tradisi yang membeku.
Pesantren telah berkembang sejak masa awal ulama Nusantara belajar di Haramain
dan membawa pulang disiplin seperti tafsir, hadis, fikih, tauhid, dan
tasawuf—semua terekam dalam kitab kuning yang menjadi ruh pendidikan pesantren.
Namun
pesantren tidak bisa berhenti pada tradisi semata. Dalam orasi itu, mas Niam
mengurai tiga model epistemologi Islam: bayani,
irfani,
dan burhani.
Pesantren selama ini banyak bergerak dalam kerangka bayani (tekstual) dan
irfani (intuisi-spiritual). Keduanya melahirkan moralitas, hikmah, dan
kedalaman rohani. Tetapi, menurut beliau, pesantren masih minim merangkul
burhani—pendekatan yang berbasis rasionalitas, empiris, dan penelitian ilmiah.
Di
sinilah gagasan mas Niam menemukan relevansinya. Dunia modern bergerak dengan
ilmu pengetahuan, riset, teknologi, dan data. Jika pesantren ingin tetap
menjadi pusat peradaban Islam, maka ia harus membuka diri pada pendekatan
burhani tanpa meninggalkan tradisi bayani dan irfani. Integrasi ketiga
epistemologi inilah yang menjadi “arah pengembangan keilmuan pesantren”
sebagaimana yang dijelaskan mas Niam.
Beliau
juga memaparkan hasil penelitiannya tentang intellectualization
di pesantren—bagaimana Ma’had Aly dan Pascasarjana menjadi ruang lahirnya
tradisi akademik baru: riset, publikasi ilmiah, kolaborasi ilmiah, dan upaya
serius mengaitkan kitab kuning dengan kebutuhan zaman. Pesantren, dalam
pandangan beliau, bukan hanya benteng tradisi, tetapi pusat inovasi keilmuan
Islam yang sanggup berdialog dengan modernitas.
Saya
mendengarkannya dengan penuh kekaguman. Bagi saya, orasi itu bukan hanya peta
akademik, tetapi undangan bagi kita semua untuk melihat pesantren sebagai ruang
masa depan. Pesantren yang tidak hanya mengajarkan adab dan ilmu klasik, tetapi
juga sains, teknologi, penelitian sosial, dan pendekatan interdisipliner.
Pesantren yang memadukan kejernihan spiritual dengan ketajaman nalar ilmiah.
Selesai
acara, saya berdiri lama memandang panggung itu. Dalam hati saya berkata: “Semoga
kami dan anak-anak kami bisa mendapatkan luberan keberkahan majelis ilmu ini.” Bersama
Bapak, Ibu dan Neng Ririn, saya
pun pulang dengan
hati yang penuh syukur. Kehadiran saya di acara itu bukan sekadar untuk
keluarga, tetapi untuk diri saya sebagai seorang guru yang ingin terus belajar
dan sebagai ayah yang ingin mewariskan ilmu dan semangat pembelajar bagi
anak-anaknya. Mas
Niam memberi teladan bahwa ilmu tidak berhenti di bangku kuliah. Ia tumbuh
bersama kesabaran, penelitian, dan komitmen.
Di
Hari Guru itu, saya pulang membawa inspirasi besar: bahwa tugas guru bukan
hanya mengajar, tetapi ikut membangun arah keilmuan bangsanya. Dan orasi mas
Niam membuktikan bahwa pesantren—dengan segala tradisi mulianya—mampu melangkah
ke masa depan dengan cahaya keilmuan yang terus menyala.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang
.jpg)
0 Komentar