Saat Regulasi Membelenggu Sekolah: Sebuah Aspirasi di Hari Guru 2025

 

Semoga suara kecil ini dapat sampai pada Bapak Menteri, dan semoga keberanian memperbaiki regulasi menjadi bagian dari upaya besar untuk memperkuat pendidikan Indonesia. Karena guru hebat hanya dapat lahir dari sistem yang melindungi dan memberdayakan mereka.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Peringatan Hari Guru 25 November 2025 menjadi hari yang tak hanya penuh syukur, tetapi juga penuh makna bagi saya. Pada hari itu, saya berkesempatan menghadiri Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang mengukuhkan dua guru besar luar biasa: Prof. Dra. Hj. Wahidah Zein Br. Siregar, M.A., Ph.D., sebagai Guru Besar ke-104 dalam Bidang Sosiologi Gender, dan Prof. Dr. phil. Khoirum Ni’am, S.Ag., sebagai Guru Besar ke-105 dalam Bidang Sosiologi Pengetahuan Islam. Acara yang digelar di Gedung KH. Syaifuddin Zuhri Sport Center and Multipurpose itu sarat dengan atmosfer kebanggaan, keilmuan, dan inspirasi.

Namun ada satu hal yang membuat momentum itu terasa semakin istimewa—yakni kehadiran Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. Beliau hadir atas undangan Prof. Wahidah dan suaminya, Prof. Kacung, teman satu angkatan saat menempuh studi S2 di Flinders University of South Australia. Hubungan akademik dan persahabatan itu terpancar hangat dalam pertemuan tersebut.

Setelah acara seremonial usai, saya memberanikan diri mendekati Pak Mu’ti untuk berfoto dan memperkenalkan diri sebagai Guru SMAN 2 Jombang—yang sebelumnya pernah mengikuti Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Kempinski Jakarta, di mana beliau menjadi salah satu narasumbernya. Tetapi di tengah ramainya antrean foto dan ucapan selamat, saya mengurungkan niat untuk menyampaikan satu aspirasi penting yang selama ini mengganjal di hati saya. Sebuah aspirasi yang menyangkut nasib ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia. Karena itulah, melalui esai inilah saya ingin menitipkan suara kecil para guru.

Pak Mu’ti yang saya hormati,

Andaikata kemarin ruang dan waktu mengizinkan, saya ingin menyampaikan sebuah kegelisahan: bahwa sudah saatnya Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dicabut, dan diganti dengan regulasi baru yang lebih realistis, lebih adil, dan lebih melindungi guru serta sekolah.

Saya menyampaikan ini bukan tanpa dasar. Kasus hukum yang menimpa Rasnal (Kepala SMAN 1 Luwu Utara) dan Abdul Muis Muharram (Bendahara Komite) adalah bukti nyata betapa berbahayanya regulasi tersebut bagi sekolah. Mereka divonis bersalah atas tuduhan pungutan liar hanya karena menjalankan mekanisme sumbangan rutin—yang sejatinya dilakukan hampir di semua sekolah untuk menutup kebutuhan pendidikan yang tidak dapat dipenuhi APBN maupun APBD.

Sementara itu, di sisi lain, madrasah justru berada dalam posisi yang lebih aman dan tertata karena memiliki regulasi khusus: PMA No. 16 Tahun 2020 tentang Komite Madrasah. Dalam PMA tersebut, komite boleh menerima sumbangan rutin sejauh ada kesepakatan orang tua dan kepala madrasah (Pasal 11 ayat (3)). Artinya, negara mengakui bahwa pendidikan membutuhkan dukungan finansial partisipatif yang legal, transparan, dan terstruktur.

Bandingkan dengan Permendikbud 75/2016 yang hanya memberi dua kata kunci: “bantuan” dan “sumbangan”, sambil melarang segala bentuk “pungutan” tanpa memberikan definisi operasional yang jelas. Akibatnya, batas antara sumbangan dan pungutan menjadi sangat kabur. Persis seperti bom waktu yang suatu saat dapat meledak di meja kepala sekolah atau guru mana pun.

Perbandingan yang saya baca dari beberapa regulasi tentang Komite Sekolah/Madrasah semakin memperjelas bahwa regulasi yang mengikat sekolah negeri jauh lebih kaku dibandingkan regulasi yang mengatur madrasah. Terlebih lagi di Jawa Timur, Pergub No. 8 Tahun 2023 justru menambah ketegangan itu dengan mewajibkan adanya proposal dan persetujuan Kepala Cabang Dinas untuk penggalangan dana. Sekolah dibuat semakin takut bergerak.

Masalah besarnya satu:

Sekolah boleh menggalang dana, tetapi tidak boleh menghimpun dana yang “bersifat pasti”. Padahal sebagian besar kebutuhan peningkatan mutu pendidikan tidak bisa bergantung pada donasi sukarela yang sifatnya tidak menentu.

Jika sekolah nekat membuat kesepakatan dengan orang tua, mereka bisa dituduh melakukan pungutan liar. Namun jika sekolah hanya menunggu sumbangan sukarela, program mutu mustahil berjalan. Inilah absurditas yang setiap hari kami hadapi di lapangan.

Pada saat yang sama, madrasah dapat mengelola sumbangan rutin secara legal, transparan, dan mendapat kepastian hukum. Ketimpangan ini bukan hanya tidak adil—tetapi juga melahirkan diskriminasi di dalam satu sistem pendidikan nasional yang seharusnya setara.

Oleh sebab itu, Pak Menteri,

Sudah waktunya Permendikbud 75/2016 direvisi total atau dicabut. Kami membutuhkan regulasi baru yang lebih berpihak pada kebutuhan riil sekolah.

Regulasi itu sebaiknya:

  1. Mengadopsi semangat PMA 16/2020, yakni memungkinkan adanya sumbangan rutin melalui kesepakatan bersama orang tua.
  2. Menjamin transparansi, dengan mewajibkan rekening resmi bersama serta laporan berkala kepada orang tua.
  3. Memberi perlindungan hukum yang jelas bagi kepala sekolah, komite, dan guru.
  4. Menegaskan peran negara, bahwa partisipasi masyarakat bukan berarti negara lepas tangan dalam pendanaan pendidikan.
  5. Memberikan sanksi tegas terhadap penyimpangan, agar tidak melahirkan ruang abu-abu yang membahayakan.

Dengan revisi regulasi, sekolah tidak lagi beroperasi dalam ketakutan. Komite tidak lagi menjadi kambing hitam. Guru tidak lagi menjadi pihak yang sewaktu-waktu dapat dikorbankan hanya karena mencoba memperbaiki mutu layanan pendidikan.

Pada akhirnya, pendidikan tidak hanya soal idealisme dan dedikasi. Ia juga membutuhkan regulasi yang menjamin kepastian hukum, keadilan, dan keberpihakan pada realitas lapangan. Hari Guru 2025 bagi saya bukan hanya momentum merayakan jasa guru, tetapi juga momentum menyuarakan harapan agar para guru dilindungi oleh aturan yang adil.

Semoga suara kecil ini dapat sampai pada Bapak Menteri, dan semoga keberanian memperbaiki regulasi menjadi bagian dari upaya besar untuk memperkuat pendidikan Indonesia. Karena guru hebat hanya dapat lahir dari sistem yang melindungi dan memberdayakan mereka.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang - Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

 

Baca juga!

Pesantren di Simpang Jalan Ilmu: Sebuah Catatan Pengukuhan Sang Profesor

Posting Komentar

0 Komentar