Glowing Secukupnya, Anggun Pada Tempatnya

 

Tampil segar itu baik, tapi jangan sampai energi lebih difokuskan untuk glowing ketimbang memahami pelajaran. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Di suatu siang yang tidak terlalu ramai, saya melihat seorang murid perempuan duduk dengan wajah merengut. Ekspresinya seperti orang yang sedang memikul beban yang sebenarnya tidak ingin ia jelaskan. Namun karena saya penasaran, saya pun mendekatinya sambil bertanya pelan, “Ada apa, Nak? Kok wajahmu tampak sewot begitu?” Ia mengangkat muka, lalu dengan nada kesal menyahut, “Saya baru saja ditegur, Pak… katanya saya pakai make-up dan lipstik.”

Ia bercerita bahwa seorang guru memintanya menghapus warna di bibirnya yang dianggap sebagai lipstik. Padahal, menurutnya, itu hanyalah lip balm yang ia gunakan agar bibirnya tidak kering dan pecah-pecah. “Saya nggak make-up, Pak. Ini cuma perawatan biar nggak kelihatan pucat,” katanya sambil menunjukkan tisu yang penuh bekas gesekan tadi.

Sebagai guru yang tidak terlalu akrab dengan istilah serum, toner, peeling, atau lip essence, saya hanya mengangguk-angguk sambil menenangkan dirinya. Saya menjelaskan bahwa sekolah memang punya aturan tentang larangan memakai make-up. Namun saya juga memahami bahwa merawat diri bukanlah sesuatu yang salah. Sebaliknya, dalam Islam dan ajaran moral, merawat kebersihan tubuh, menjaga kerapian penampilan, dan tampil elok adalah bentuk syukur dan penghormatan terhadap diri sendiri.

Tetapi, sebagaimana sering saya sampaikan kepada murid-murid adalah jangan sampai kita terjatuh pada tabarruj atau berlebihan dalam berdandan, berhias dan berpenampilan. Dengan sedikit humor, saya sampaikan kepada murid-murid, “Kalau kalian berdandan maksimal dan wangi sampai satu kelas pening, itu bisa jadi fitnah. Tapi kalau kalian nggak merawat diri, kusut, dan bau badan kalian bikin lingkungan ‘harum’ dengan cara yang salah, itu juga fitnah! Jadi intinya: jangan berlebihan. Pahami ruang dan suasananya.”

Kejadian itu membuat saya berpikir. Rupanya, bukan hanya murid yang bingung membedakan mana perawatan kulit yang wajar dan mana make-up yang dilarang. Guru dan orang tua pun sering memiliki persepsi yang tidak seragam. Karena itu, penting rasanya bagi sekolah untuk menyamakan pemahaman: skincare boleh sejauh untuk kesehatan, bukan untuk kosmetik; perawatan bisa diterima sejauh tidak menyerupai riasan pesta; dan penampilan harus tetap selaras dengan identitas siswa sebagai pelajar.

Tren glowing look memang menjadi bagian dari kehidupan remaja saat ini. Untuk memahami bagaimana siswi memaknai fenomena ini, saya melakukan survei representatif kepada 157 murid putri SMAN 2 Jombang dari kelas X hingga XII. Ketika saya bertanya, “Apa pendapat Anda tentang tren glowing look di kalangan remaja saat ini?”, jawaban mereka panjang, jujur, dan sangat menarik untuk dicermati.

Mayoritas siswi menilai glowing look bukan hal yang buruk. Bahkan, banyak yang menganggap tren ini membawa dampak positif: remaja menjadi lebih peduli terhadap kesehatan kulit, lebih rajin membersihkan wajah, memakai sunscreen, menjaga kelembapan kulit, dan menghindari jerawat. Glowing, bagi mereka, berarti kulit sehat, segar, dan tidak kusam.

Banyak pula yang mengatakan bahwa merawat wajah membantu meningkatkan rasa percaya diri. Mereka lebih siap tampil di depan publik, tidak lagi minder dengan kulit kering atau noda jerawat, dan merasa lebih nyaman menjalani aktivitas sehari-hari. Merawat diri dianggap sebagai bentuk self-care—cara mereka menghargai tubuh yang Allah titipkan.

Namun yang menarik, mereka sangat tegas dalam membedakan glowing dari skincare dan glowing dari make-up tebal. Glowing ideal menurut mereka adalah hasil dari kulit yang terjaga, bukan hasil dari foundation setebal tembok. Make-up berlapis? Mereka menilai itu sebagai bentuk berlebihan, bahkan sering dianggap membebani.

Tema lain yang kuat adalah kesadaran konteks: glowing look boleh di luar sekolah, tetapi tidak pantas dibawa ke ruang kelas. Mereka menganggap sekolah sebagai tempat belajar, bukan tempat fashion show. Penampilan boleh rapi dan segar, tetapi tidak perlu tampil seperti mau kondangan di hadapan buku pelajaran.

Tidak sedikit pula yang menyampaikan kekhawatiran terhadap tekanan sosial. Media sosial sering menghadirkan standar kecantikan yang tidak realistis. Banyak remaja merasa harus mengikuti tren, padahal tidak semuanya memahami cara perawatan yang tepat. Ada risiko kulit iritasi, breakout, hingga ketergantungan produk. Ada pula tekanan ekonomi: tidak semua skincare terjangkau, dan beberapa murid sadar bahwa memaksa orang tua membeli produk mahal demi tren bukanlah hal yang bijak.

Sebagian siswi juga menekankan pentingnya menempatkan diri sesuai usia. Mereka menyadari bahwa pelajar tetap harus fokus belajar. Tampil segar itu baik, tapi jangan sampai energi lebih difokuskan untuk glowing ketimbang memahami pelajaran. Identitas sebagai pelajar menjadi batas nilai yang mereka pegang.

Tak kalah penting, banyak siswi merasa bahwa guru dan orang tua perlu memberikan edukasi tentang skincare: mana yang aman, mana yang wajar, mana yang termasuk make-up, dan mana yang tidak pantas di sekolah. Banyak kesalahpahaman terjadi hanya karena kurangnya pemahaman teknis.

Dari seluruh jawaban itu, saya melihat satu hal jelas: remaja masa kini sesungguhnya sudah cukup matang memandang penampilan. Mereka tidak menolak merawat diri, tetapi mereka juga memahami batasan. Mereka ingin tampak segar dan wangi, tetapi tetap menyadari pentingnya kesederhanaan. Mereka mengikuti tren, tetapi tetap ingin berada dalam koridor moral dan aturan sekolah.

Maka glowing look sebenarnya bukan masalah. Yang kita butuhkan adalah pemahaman bersama: bahwa merawat diri itu baik, tampil wajar itu cantik, dan menempatkan diri sesuai konteks itu bijaksana. Ketika aturan disampaikan dengan dialog, bukan dengan kecurigaan, remaja akan mengikutinya dengan sukarela.

Pada akhirnya, glowing terbaik bukanlah yang memantulkan cahaya dari make-up, tetapi yang lahir dari kesehatan kulit, keseimbangan sikap, dan kebijaksanaan membaca situasi serta akhlak mulia yang tampak dari perbuatan.

Glowing secukupnya, anggun pada tempatnya. Itulah yang membuat seorang remaja bukan hanya tampak cantik, tetapi juga dewasa.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang

Posting Komentar

0 Komentar