![]() |
Tadarus al-Quran secara klasikal adalah salah satu model pembelajaran yang dilakukan oleh Pak Guru Nine. |
[Jombang, Pak Guru NINE]
Istilah
pahlawan tanpa tanda jasa yang disematkan kepada guru muncul dan populer
mungkin karena sair hymne guru karya almarhum Sartono, guru musik SMP swasta di
Madiun. Di sana awalnya ada ungkapan sair, “Engkau patriot pahlawan bangsa
tanpa tanda jasa.” Kini sair itu telah diubah menjadi, “Engkau patriot pahlawan
bangsa membangun insan cendekia.”
Meskipun
sair itu telah diubah, namun dalam alam pikiran banyak orang telah melekat
bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Pernyataan itu pun sangat populer
diucapkan saat peringatan hari guru nasional atau saat acara pelepasan murid
kelas akhir. Apakah itu adalah ucapan serius ataukah basa-basi, penulis tidak
tahu pasti.
Memang
sejak disahkannya Undang Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
slogan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa seperti tidak cocok lagi disematkan kepada
guru, apalagi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Guru yang paling layak disebut
sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa adalah guru-guru Taman Pendidikan Al-Quran
(TPQ) yang ada di desa-desa atau guru-guru swasta yang belum tersertifikasi
namun sangat ikhlas menjalankan profesinya apalagi mereka mengajar di
daerah-daerah terpencil dan terluar.
Sebutan
pahlawan sebenarnya juga sangat berlebihan jika itu diucapkan oleh guru
sendiri. Jika yang menyebutnya adalah orang lain yang bukan guru sebagai bentuk
apresiasi terhadap guru maka hal itu adalah sesuatu yang tepat. Tapi jika hal
itu diucapkan sendiri oleh guru, tentu hal itu adalah tidak etis, apalagi orang
yang disebut sebagai pahlawan sepatutnya sudah meninggal dunia. Jika telah
meninggal dunia, maka yang teringat adalah kebaikan-kebaikan orang yang disebut
sebagai pahlawan. Guru juga manusia yang bisa saja berbuat salah selama masih
hidup. Sungguh ironi jika ada orang menganggap diri sebagai pahlawan namun
ternyata berbuat salah.
Secara
umum guru kini telah banyak mendapat tanda jasa. Tanda jasa itu berupa
Undang-Undang Guru dan Dosen yang memberikan tunjangan profesi pendidik sebesar
satu kali gaji pokok. Bagi guru PNS, satya lencana yang diberikan oleh Presiden
juga merupakan bukti adanya tanda jasa. Selain itu ada juga tunjangan lain yang
diterima oleh guru PNS. Meskipun secara kuantitatif pendapatan guru tidak
sebesar profesi-profesi lainnya, namun tanda jasa itu tetap ada diberikan
kepada guru.
Sekarang
yang paling penting bukanlah disebut orang lain apalagi menyebut diri sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa. Menjadi figur guru yang digugu dan ditiru adalah
hal yang paling utama dilakukan oleh siapa saja yang memilih profesi sebagai
guru. Ini adalah tugas utamanya yang paling mulia. Guru dengan muridnya laksana
nabi yang mengemban amanah nubuwah bagi umatnya. Ia menyampaikan pesan-pesan
ilahi untuk kebaikan murid-murid yang menjadi umatnya.
Berdasar
sisi kesamaannya itu maka tidak berlebihan jika disebut bahwa menjadi guru
adalah amanat kenabian (nubuwwah). Ini adalah pilihan hidup yang sangat
mulia, karena ia menjadi sarana bagi siapa saja untuk menggapai
kesuksesan yang dicita-citakan. Ia juga menjadi jembatan bagi siapa saja yang
bermaksud menjadi pribadi mulia baik menurut pandangan manusia maupun Allah
SWT. Sedemikian mulia tugas keguruan ini dapat diketahui dari sabda Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Abi Umamah.
إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ
سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ حُجْرِهَا وحَتَّى الْحُوْتَ
فِيْ الْبَحْرِ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مَعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ (رَوَاهُ
التُّرْمِذِي)
Artinya:
Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan para malaikatNya serta semua penghuni
langit dan bumiNya, hingga semut dalam liangnya dan ikan di dasar laut
sekalipun, niscaya senantiasa memintakan rahmat bagi orang-orang yang mengajar
kebaikan kepada manusia. (HR. Turmudzi)
Sedemikian
besar kemuliaan yang disandang guru dari perspektif iman mendorong banyak orang
yang telah belajar dan menguasai suatu ilmu untuk berlomba-lomba mengajarkannya
atau menjadi guru di berbagai lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta,
baik di sekolah maupun luar sekolah. Baginya mengajar adalah panggilan hati
sebagai konsekwensi adanya iman dalam hati mereka. Atas dasar inilah, mereka
tidak terlalu mempermasalahkan gaji yang rendah dari hasil mengajarnya. Mereka
rela tidak mencari gaji melalui aktifitas guru, namun melalui usaha lain. Hal
ini biasanya dilakukan oleh guru-guru swasta.
Dalam
konteks semacam ini maka guru membicarakan kemuliaan dirinya dalam slogan
adalah hal yang tabu. Sebaliknya, sangat lebih tabu bagi orang lain apalagi
pemangku kepentingan menyepelekan keberadaan guru. Guru harus berbuat untuk
meningkatkan kualitas dirinya sehingga pantas disebut murid-muridnya sebagai
guru. Inilah guru sejati, bukan sekadar guru profesi.
Sayangnya
pemberian tanda jasa kepada guru dalam beberapa kasus akhirnya mendegradasi
kemuliaan guru, karena guru hanya dianggap sebagai profesi. Padahal hubungan
guru dan murid tidak sekadar usaha penyampaian materi, tapi juga melibatkan
hati. Jika hubungan hati itu telah tergantikan oleh profesi, maka jangan harap
guru bisa digugu dan ditiru.
Jika
akhir-akhir ini ada beberapa kasus kriminalisasi yang dilakukan murid atau wali
murid kepada guru, maka guru haruslah introspeksi diri. Jangan-jangan bukan
karena kesadaran hati, guru masuk kelas mengajar murid-muridnya, tapi
semata-mata karena tuntutan profesi. Murid-murid pasti bisa merasakan apakah
gurunya mengajar dengan sepenuh hati ataukah tuntutan profesi, karena relasi
hati hanya bisa ditangkap atau dirasakan oleh hati pula.
Jika adanya berbagai tanda jasa itu ternyata semakin menjauhkan diri dari sifat digugu dan ditiru atau meniadakah relasi hati antara guru dengan murid, maka layakkah guru disebut, apalagi menyebut diri, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Biarlah penulis sendiri yang menjawab dalam hati dan perbuatan, karena penulis adalah seorang guru.[pgn]
0 Komentar